JAKARTA, DanauToba.org ― Berbagai persoalan di Kawasan Danau Toba (KDT) masih belum mampu diselesaikan secara tuntas oleh Pemerintah Daerah (Pemda), baik itu di tingkat kabupaten (ada 7 kabupaten di KDT) maupun di tingkat provinsi Sumatera Utara. Rakyat meragukan kompetensi para pejabat Pemda menuntaskannya. Bahkan satu persoalan pun belum tuntas diselesaikan, misalnya pencemaran lingkungan Danau Toba dan terakhir kekerasan di Sigapiton. Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Karena itu, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) pada Senin (16/9/2019) berinisiatif menyurati Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan tegas agar rakyat Indonesia di KDT didengar jeritannya dan kesakitannya.
Surat ke Presiden melalui Kementerian Sekretaris Negara telah dikirimkan pada Selasa (17/9/2019). Tembusan surat dikirimkan juga kepada Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman), Yasona H. Laoly (Menteri Hukum dan HAM), dan Moeldoko (Kepala KSP). Bukti Surat dan Tanda Terima Surat terlampir di bawah ini.
[Slideshow "surati-jokowi" not found]YPDT sebagai bagian dari pemerhati dan perhimpunan masyarakat luas yang peduli pembangunan Kawasan Danau Toba yang telah berdiri sejak 1995, mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kepedulian Presiden Joko Widodo terhadap pembangunan pariwisata Danau Toba sebagai salah satu destinasi utama pariwisata di Indonesia.
Namun demikian, pembangunan pariwisata Danau Toba tidak akan pernah berjalan baik dan benar sepanjang Kawasan Danau Toba masih belum bebas Keramba Jaring Apung (KJA). Padahal pada 2016, Rizal Ramli (mantan Menko Kemaritiman) sudah menginstruksikan kepada Pemda agar KDT zero KJA. Hal tersebut juga ditegaskan kembali oleh Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman yang menggantikan Rizal Ramli). YPDT memohon agar Danau Toba bebas KJA (zero KJA) dapat dilaksanakan secara tuntas.
YPDT juga menyampaikan informasi perkembangan pembangunan Kawasan Danau Toba yang cenderung abai terhadap kondisi dan aspirasi masyarakat, seperti kasus pembuatan jalan di Sigapiton yang ricuh dan berdampak adanya kekerasan dalam proses pembangunan kawasan ke depan. Hal ini perlu dihindarkan karena pembangunan bukanlah tujuan, tetapi sarana kesejahteraan rakyat. Untuk itu berkaca dan belajar dari proses pembangunan lain misalnya, di Solo pada waktu Bapak Presiden menjadi Walikota Solo yang memerlukan dialog dan makan siang hingga puluhan kali (lebih 50 kali) dengan warga pedagang terkait; tidakkah di Kawasan Danau Toba juga perlu berbagai dialog untuk membangun kawasan dan kesejahteraan rakyat? Pembangunan harusnya berjalan tanpa kekerasan, karena pembangunan adalah untuk kesejahteraan rakyat mulai dari awal, proses, dan akhir kegiatan pembangunan.
Terakhir, YPDT menyampaikan keinginan berdialog dengan Presiden Joko Widodo agar YPDT dan bersama dengan elemen masyarakat Kawasan Danau Toba dapat dilibatkan dalam proses pembangunan pariwisata KDT.
Selain surat yang dikirimkan kepada Presiden tersebut, YPDT juga melakukan pertemuan dengan organisasi-organisasi lain seperti Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI), Forum Peduli Bona Pasogit (FPBP), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Batak Center (BC), Naposo Batak Jabodetabek (NABAJA), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Pertemuan tersebut dilaksanakan pada Rabu (18/9/2019) dan berlanjut dalam sebuah Diskusi Kamisan pada Kamis (19/9/2019) di Jakarta.
Dalam Diskusi Kamisan, salah satu pembina YPDT, Prof Dr Ing K. T. Sirait menyampaikan bahwa rakyat Sigapiton dahulu turut memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan republik ini. Bahkan menurutnya, rakyat Toba termasuk Sigapiton menangkap tentara Belanda. Hal tidak sepantasnya jika perjuangan mereka dibalas dengan perlakuan kekerasan mengatasnamakan pembangunan pariwisata.
Baca juga: Ormas-ormas Batak Deklarasikan Kawasan Danau Toba yang Manusiawi dan Berkearifan Lokal
Humas YPDT