CIBUBUR, DanauToba.org — Mestinya maju, bukan mundur! Perenungan/refleksi ini pribadi, bukan dalam kapasitas saya sebagai Pengawas YPDT. Katakanlah sebagai refleksi awal tahun 2019 dari seseorang yang mencintai Danau Toba/DT.
Sesuai ketentuan konstitusi YPDT, pada 2019 akan terjadi periodeisasi kepengurusan. Masa bakti kepengurusan yang sekarang akan berakhir tahun 2019. Dalam hubungan itulah saya mengadakan perenungan. Itu yang saya maksudkan tadi, mundur ataukah maju?
YPDT sudah mengalami 2 (dua) keadaan itu: maju dan mundur (tidak maju-maju!) sejak YPDT didirikan pada duapuluhan tahun yang lalu oleh alm Prof Dr Midian Sirait, Gubsu Raja Inal Siregar, dan kawan-kawan.
Pada akhir periode ini, muncul pertanyaan: apakah pada periode berikut, YPDT akan mundur (maaf!) atau maju?
Pertanyaan itu muncul berdasarkan pengalaman YPDT selama ini. YPDT pernah maju dan berjaya, tetapi pernah juga “mundur” tidak berbuat apa-apa. YPDT pernah pula dideskreditkan orang tanpa disadari YPDT. Pernah lunglay seakan-akan tidak berbuat. Namun, YPDT tahan uji. Walau begitu besarnya cobaan yang dialami, toh YPDT tetap eksis, berkarya dan berjuang.
Bayang-bayang ke arah sana muncul dalam angan-angan. Ke arah “mundur” tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Prediksi itu muncul setelah menyaksikan dan mengalami keadaan riel YPDT selama satu masa bakti yang akan berakhir ini. Apa itu?
- luar biasa berat tugas dan tanggung jawabnya tetapi memang YPDT tetap mampu bertahan;
- tidak banyak yang bertahan “sampai akhir” mengurus YPDT, tetapi loyalis yang “masih tinggal” justru lebih dari cukup;
- cost yang dibutuhkan mendanai YPDT tidaklah kecil sementara yang peduli untuk menangani cost besarnya tidaklah banyak, kalau bukan mengatakan hanya itu ke itu saja, tetapi dalam realitasnya program/kegiatan YPDT tidak pernah jadi hambatan;
- YPDT menyadari kekuatan besar yang dihadapinya, tetapi YPDT melalui tim advokasinya tetap mampu beperkara merealisasikan perjuangan di atas jalur hukum, ada begitu banyak advokat yang mau mendampingi YPDT tanpa harus memperoleh honorarium;
- walau dana tidak tersedia sebelumnya tetapi 4 kali GCDT dapat terlaksana tanpa terkendala oleh dana.
Oleh sebab itu saya menganjurkan:
- volume kerjanya “diperingan” (mesti lebih fokus!);
- mengajak lebih banyak orang yang setia berprakarsa dan mengambil bagian dalam gerakan ini sebagai gerakan peradaban dan kemanusiaan;
- perlu ketersediaan “pundi-pundi” untuk mendanai kebutuhan sekretariat dan perjuangan YPDT;
- GCDT dilanjutkan dengan persiapan matang dan dengan pendekatan partisipatoris. Ya, begitulah supaya tidak mundur.
Karena memang tugas dan tanggung-jawab YPDT berat nian memperjuangkan Danau Toba: 1) danau yang indah (tao na uli); 2) air yang jernih (aek na tio); 3) air kehidupan (mual hangoluan) menuju Kota Berkat di Atas Bukit. Sungguh!
Oleh sebab itu, selain catatan di atas, apabila YPDT akan terus maju dan berhasil lebih baik lagi maka YPDT mesti menyadari bahwa “dalam kesendirian”-nya YPDT tidak kan berhasil. Menjadi berpeluang berhasil apabila YPDT membangun jejaring dan kerjasama dengan Pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya termasuk pemangku kepentingan pada semua aras. Pengalaman menunjukkan bahwa perjuangan tulus YPDT begitu saja dipatahkan “pihak kawan yang menjadi lawan” di lembaga peradilan hanya karena berapa “rupiah” – yang nilai nominalnya (entah berapa puluh miliar) saya tidak tahu. Jejaring dan kerjasama menjadi lebih penting.
Maju apabila Negara mahfum begitu mulianya perjuangan YPDT dan serta merta segera bertindak memperjuangkannya. YPDT cukup sebagai mitra mengembalikan kejayaan Danau Toba, bukan penanggung jawab utama seperti tampaknya selama ini. Selanjutnya YPDT lebih tepat menjadi mitra kritis Pemerintah agar kekuasaan itu tidak cenderung diselewengkan, dengan tetap menempatkan masyarakat KDT sebagai subyek pembangunan KDT.
Ya, bila Pemerintah konsisten, maka jadilah perubahan itu. Pemerintah sudah mendengar laporan Bank Dunia yang mengatakan Danau Toba (DT) kotor, bahkan sangat kotor, demikian rilis Menteri Koordinator Luhut Binsar Panjaitan (YPDT mengatakan kotor tokh tidak didengar Pemerintah!) maka mestilah Pemerintah segera bertindak! Idealnya memang demikian, Pemerintah yang “turun tangan” karena atas nama Negara, hal itu adalah tanggung-jawabnya.
Saya khawatir bilamana Pemerintah tega menyaksikan (hanya) YPDT yang memperjuangkannya, cepat atau lambat, akan menimbulkan masalah baru, antara lain menjadi komoditi politik. Lebih parah dari itu akan menjadikan “perang horizontal” tidak sekedar “bahan permainan antar elit”. Itu lho!
Saya berangan-angan kiranya muncul pejuang-pejuang yang ksatria seperti Raja Sisingamangaraja XII untuk memperjuangkan DT dan KDT keluar dari kehancuran yang diexpose Bank Dunia – yang sudah lebih awal diumumkan YPDT. Adakah?
Lebih daripada itu Pembina YPDT mesti bekerja keras mencari pengganti Ketua Umum YPDT yang sekarang, Bapak MS, paling tidak sama dengan MS baik dari segi “hati”nya mau pun kesediaan memikul pendanaannya – yang tidak kecil. Syukur-syukur kalau MS masih mau sekali lagi. apabila masih bersedia menakhodai perahu perjuangan ini, YPDT.
DT akan menjadi destinasi pariwisata yang berskala puluhan tahun (tidak hanya beberapa tahun) apabila DT benar-benar dibersihkan dari sumber kekotoran itu. Untuk itu, benar kata Bapak Menko LBP, keramba jaring apung ditiadakan dan sumber-sumber kekototoran lainnya dibereskan. Ternasuk peternakan babi yang konon kabarnya turut berandil mengotori DT. Kegiatan Kemenpar dan ketujuh Pemda di lingkungan KDT pun mestilah ramah lingkungan dan pengundulan gunung pun segera dihentikan. Segala “pemerkosaan” DT dan lingkungan perlu segera disudahi. Perlu pertobatan ekologis bagi semua pihak terkait.
Satu lagi. Pembangunan DT mestilah berbasis budaya Batak serta dengan keindahan dan kebersihan yang (kembali) mempesona, menakjubkan dunia. Perlu menggali-temukan kearifan lokal yang dahulu turut menjaga dan memelihara keindahan Danau Toba – yang adalah raja ni sudena tao (Danau rajanya danau di seluruh dunia. Ya, apabila “kepingan sorga yang jatuh di Tano Batak” (kata A.M. Fatwa ketika mengunjungi DT semasa beliau menjabat Anggota DPR RI puluhan tahun yang silam) kembali seperti “kepingan Sorga”, bukan seperti sekarang ini: kotor dan kotor!
DT mesti dikembalikan sebaga “teater pemujian kepada TUHAN Allah” (teaterium gloriae Deo).
Selamat Tahun Baru 2019.
Cibubur, 1 Jan 2019
Jerry Rudolf Sirait