JAKARTA, DanauToba.org — Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) menginginkan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) keluar dari Kawasan Danau Toba (KDT). “Sebaiknya TPL keluar saja. TPL tidak ada manfaatnya bagi masyarakat di KDT,” tegas Drs Maruap Siahaan, MBA (Ketua Umum YPDT) pada Senin (7/5/2018) di Sekretariat YPDT.
Hal ini disampaikan Ketum YPDT dalam menanggapi Pernyataan Pers pada Kamis (3/5/2018) yang dikeluarkan Delima Silalahi (Direktur KSPPM) dan Manambus Pasaribu (Sekretaris Eksekutif BAKUMSU) tentang PT TPL Menunda Penandatangan Kesepakatan Penghentian Konflik dengan 5 Komunitas Masyarakat Adat.
Lebih lanjut Maruap Siahaan mengatakan: “TPL telah menyengsarakan masyarakat di KDT dan telah merampas kekayaan masyarakat Batak dengan menebang jutaan kubik pohon yang diwariskan kepada masyarakat sekitarnya. Tangkapan air di KDT semua rusak, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air.”
Di Kawasan Danau Toba makin parah terjadi kekeringan karena anak sungai terus berkurang dari ratusan anak sungai sekarang tinggal hanya belasan anak sungai yang mengalir ke Danau Toba. Faktor berkurangnya anak sungai tersebut karena makin berkurangnya hutan.
Salah satu yang berkontribusi merusak hutan di KDT adalah TPL. Semuanya sudah mengetahuinya, baik pemerintah maupun masyarakat lokal. Wajar saja masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat yang notabene pemilik kawasan hutan di KDT, berteriak memaksa TPL bertanggung jawab mengembalikan fungsi hutan mereka yang telah dirusak TPL.
Dalam kesempatan terpisah, Andaru Satnyoto, S.IP, M.Si (Sekretaris Umum YPDT) juga mengatakan sesuatu. “Koq bisa segelintir orang atau perusahaan menguasai tanah apalagi hutan yang notabene bukan tanah atau hutan milik ompungnya (nenek-moyangnya),” cetusnya menggelitik kita.
Apa yang dikatakan Andaru menandaskan bahwa agar pemerintah mencabut hak penguasaan hutan yang jumlahnya puluhan ribu hektar. Ini adalah warisan pemerintah Orde Baru yang tidak peduli lingkungan dan keadilan rakyat.
Baru-baru ini saja pemerintah pusat memberi perhatian kepada masyarakat adat di KDT setelah terjadi benturan yang makin parah antara masyarakat adat dan TPL. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan memfasilitasi forum perundingan antara lima (5) komunitas masyarakat adat dengan TPL di Hotel Santika Dyandra Medan, Kamis (3/5/2018).
Hasil dari forum tersebut, pihak TPL menolak untuk menandatangani dokumen perjanjian hasil rumusan secara musyawarah. Masyarakat adat sangat menyayangkan sikap penolakan pihak manejemen TPL. TPL memberi alasan keberatan antara lain terkait ketentuan pelarangan penanaman eukaliptus kembali di atas lahan obyek konflik selama belum ada keputusan penetapan hutan adat sebagaimana disebutkan dalam Bab 5 Pasal 5 ayat 3 tentang penyelesaian penanganan konflik. Bentuk penolakan dengan dalih butuh konsultasi internal tersebut dinilai merupakan bentuk kurangnya itikad baik dalam menyelesaikan konflik yang sebenarnya telah menjadi prioritas pemerintah pusat tersebut.
Irmansyah Rachman, Direktur penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK, menyatakan bahwa forum ini dalam rangka percepatan realisasi prioritas pemerintahan pusat tentang penyelesaian konflik kehutanan dan pengembalian hak-masyarakat adat atas wilayah adatnya yang berada di kawasan hutan.
Hal ini menjadi sorotan karena lambatnya realisasi pembuatan peraturan (regulasi) daerah tentang pengakuan masyarakat adat oleh pemerintahan kabupaten. Padahal regulasi tersebut sangat dibutuhkan dalam memastikan pengembalian tanah adat sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Forum yang dipimpin Irmansyah Rachman ini dihadiri beberapa unsur masyarakat adat. Turut hadir 15 perwakilan pimpinan adat dari komunitas masyarakat adat Naga Hulambu dari Kabupaten Simalungun, masyarakat adat Ama Raja Medang Simamora dari Kabupaten Humbang Hasundutan, masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria dari Kabupaten Humbang Hasundutan, masyarakat adat Oppu Bolus Simamora dari Kabupaten Tapanuli Utara dan masyarakat adat Onan Harbangan dari Kabupaten Tapanuli Utara.
Selain itu, turut hadir organisasi pendamping yakni Delima Silalahi yang merupakan Direktur KSPPM dan Manambus Pasaribu, Sekretaris Eksekutif BAKUMSU. Sementara itu, manajemen TPL yang hadir antara lain Mulia Nauli. Adapun unsur pemerintah, yakni hadir Sondang Purba, mewakili Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Minrod Sigalingging mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup Humbang Hasundutan Oswald Damanik mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup Simalungun, Viktor Siagian mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tapanuli Utara, M. Jandi Pinem mewakili kepala BPHP Wilayah II Medan.
Kelima komunitas masyarakat adat tersebut merupakan sebagian dari komunitas adat yang selama ini berkonflik dengan TPL dan KLHK atas areal hutan yang secara sepihak ditetapkan menjadi Kawasan Hutan Negara. Adapun total luasan wilayah adat yang menjadi obyek konflik sekitar 6.131 Ha yang melibatkan 5 komunitas adat, yakni masyarakat adat Naga Hulambu seluas 399 ha, masyarakat adat Ama Raja Medang Simamora seluas 148 ha, masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria 1762 ha, masyarakat adat Oppu Bolus Simamora seluas 2602 ha, masyarakat adat Onan Harbangan seluas 1074 ha. (BTS)