JAKARTA, DanauToba.org — “Tao Toba, unang ho marsik” (Danau Toba jangan kau kering), salah satu bentuk keprihatinan Robert Marbun dalam lagu ciptaannya. Lagu tersebut menggambarkan keprihatinan atas keadaan Danau Toba yang ikan mujahir pun tidak ada lagi, apalagi ihan (ikan khas yang hidup di Danau Toba) sudah punah. Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) bangga terhadap konsistensi Robert Marbun atas karyanya yang banyak berbicara tentang Danau Toba dan Bona Pasogit (kampung halaman atau tanah kelahiran di Tanah Batak).
“Jika lagu tersebut diciptakannya puluhan tahun lalu, nyata-nyata Danau Toba tidak saja semakin kering, tetapi sudah amat kotor dan sudah rusak sekali. Melalui lagunya, secara tidak sengaja Robert Marbun mendukung YPDT dalam perjuangannya mengembalikan Danau Toba sebagai raja ni sudena tao (Red.: raja semua danau) dan sebagai Tao Na Uli, Aek Na Tio, Mual Hangoluan (Red.: danau yang indah, airnya jernih, sumber air kehidupan) dalam kerangka visi YPDT, yaitu: Kawasan Danau Toba Menjadi Kota Berkat di Atas Bukit,” ungkap Drs Jerry Rudolf H. Sirait (Sekretaris Pengawas YPDT).
Hal tersebut disampaikan Jerry Sirait saat menyerahkan tanda apresiasi YPDT kepada Robert Marbun pada acara Apresiasi 33 Tahun Robert Marbun Berkarya pada Minggu (23/9/2018) di Toba Dream, Jakarta Selatan.
Jerry Sirait yang adalah salah seorang dari ratusan pendiri Pusat Habatakon (Batak Center) termasuk di dalamnya Robert Marbun (RM), mengatakan bahwa dalam lagu-lagu ciptaannya yang berbahasa Batak, RM betul-betul menunjukkan keseriusannya menggali-temukan dan mensosialisasikan sejumlah nilai-nilai luhur habatakon dalam berbagai aspek dan sekaligus mengajak pendengarnya mengaktualisasikan dalam hidup dan kehidupan ini. Nilai-nilai luhur habatakon itu selalu dikaitkannya dalam hubungan dengan nilai-nilai suci Kekristenan. RM juga mampu menghubungkannya dengan nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Satu dengan lainnya “masitumpakan“.
Dari lagu tersebut ada sisi lain, yaitu: tersurat kerinduan orangtua agar dalam keadaan “terminal”nya berharap agar anaknya menyaksikan sampai kepulangannya menuju Sang Khalik, serta anaknya/borunya yang “menutup mata”-nya. Di sana RM mengedukasi dan mencerdaskan generasi muda. Itu salah satu contoh yang diceritakan Sirait.
Sirait menilai di dalam lagu tersebut derajat penghayatan RM terhadap kekristenan dan habatakon sangat kuat. Umpasa ni natuatua (peribahasa nenek moyang orang Batak): “tinaba hau toras bahen tiang ni sopo di balian. Angka na burju marnatoras dapotan parsaulian” disenafaskan dengan Hukum Taurat kelima: “Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut usiamu di tanah yang Tuhan berikan kepadamu”.
Terhadap kesiapannya memenuhi panggilan Pemilik Kehidupan bila waktunya ia menghadap Sang Khalik, RM “siap sedia”. RM menyatakan hal itu melalui lagunya “Au Na Ma”. Di antara kita mungkin ada yang takut menghadapi kematian, bahkan membicarakannya pun “ogah”. Namun RM tidak demikian. Mujijat yang dialaminya mendorong RM memiliki emosi keagamaan yang luar biasa. RM sungguh-sungguh percaya dan bersandar pada Tuhannya, Yesus Kristus.
RM Sudah banyak berkarya selama 33 tahun di bidang musik. Layaklah RM si multi talenta ini memperoleh HKBP Awards sebagai 20 besar komponis besar yang dimiliki orang Batak selama ini (termasuk di dalamnya Alm. Nahum Situmorang). “Boleh kita katakan kekuatan dimensi religiositas dalam beberapa lagu rohaninya “sebanding” dengan lagu-lagu di Buku Ende HKBP dan suplemennya, seperti lagunya ‘Sidumadang Ari’ yang menjadi juara pada Lomba Cipta Lagu Batak HKBP 2017,” seru Sirait.
“Atas nama YPDT dan Batak Center serta sebagai aktivis Gerakan Cinta Danau Toba (GCDT), saya menyampaikan selamat kepada Amang Robert Marbun dan Inang Martina Marbun br. Lumban Batu beserta anak satu-satunya pahompu Asido Romulus Lumban Gaol, yang suatu ketika akan meraih prestasi dan prestise lebih dari ayahnya jika Tuhan berkenan,” tutup Sirait.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan