JAKARTA, DanauToba.org — Keseriusan pemerintah untuk mengembangkan Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai destinasi pariwisata nasional maupun internasional dilakukan dengan menggandeng para investor berinvestasi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan di beberapa media menyatakan ada enam investor (konglomerat asal Indonesia) yang akan ikut menanamkan modal untuk pengembangan wisata di danau vulkanik tersebut. Rencananya, “KDT akan dibangun balai pertemuan dan resor seperti di Nusa Dua, Bali.” ujar Luhut di kantornya, Jakarta, Selasa (20/9/2016), sebagaimana dilansir CNNIndonesia.com.
Menanggapi rencana Menko tersebut, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) menilai bahwa rencana tersebut berbeda dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat melalui jajak pendapat (polling) yang pernah dilakukan oleh YPDT pada Maret 2016 lalu (baca: Jajak Pendapat: Harapan Masyarakat untuk Pembangunan di Kawasan Danau Toba).
Berdasarkan polling tersebut dan interaksi langsung dengan masyarakat di kawasan Danau Toba, 3 (tiga) hal prioritas pembangunan yang dibutuhkan masyarakat di Kawasan Danau Toba adalah infrastruktur, pemulihan kerusakan lingkungan hidup baik air maupun hutan di kawasan Danau Toba, dan Sumber Daya Manusia.
“Kehadiran investor tentu dibutuhkan, tetapi perlu diingat bahwa masyarakat setempat juga merupakan investor atau pemilik modal yang perlu didukung oleh Pemerintah”. Ujar Maruap Siahaan menjelaskan harapan masyarakat di kawasan Danau Toba.
Maruap melanjutkan bahwa masyarakat adalah investor sesungguhnya karena mereka pemiliki tanah. Tanah yang dimiliki masyarakat adalah modal utama untuk investasi. Seharusnya pemerintah memfasilitasi kerjasama investasi antara masyarakat sebagai investor pemilik tanah dengan investor pemilik dana.
“Untuk itu, secara berimbang, Pemerintah seharusnya memperhatikan pula kepentingan masyarakat di kawasan tersebut, sebab konsep pembangunan negara kita sudah jelas yaitu menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan”, terang Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT).
Lebih lanjut, Maruap Siahaan yang berprofesi sebagai pengusaha dan juga pendukung Jokowi ini menyatakan bahwa pembangunan kawasan Danau Toba jangan sampai memarjinalkan masyarakat dan menjadikan mereka hanya sebagai penonton di kampungnya sendiri. Industri pariwisata yang cenderung tidak mempertimbangkan lingkungan hidup, budaya masyarakat setempat, kearifan lokal, maupun keberadaan masyarakat itu sendiri, maka industri pariwisata tersebut akan berpotensi destruktif, bukan konstruktif. “Pembangunan yang demikian, tentu tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Nawacita yang ditekankan oleh Presiden Jokowi,” tegas Maruap Siahaan.
Bukan itu saja, dalam pembangunan KDT, kita patut memahami apa itu Danau Toba? Jerry R. H. Sirait (Pengawas YPDT) menambahkan bahwa Danau Toba adalah raja dari semua danau (raja ni sudena tao). Falsafah orang Batak menyatakan bahwa Danau Toba sebagai TAO NA ULI, AEK NA TIO, MUAL HANGOLUAN (danau yang indah, air yang jernih, sumber air kehidupan). Danau Toba adalah anugerah Tuhan dan warisan (herritage) budaya Batak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tugas dan tanggung jawab menjaga warisan budaya tersebut dipikul bersama-sama, baik Pemerintah maupun masyarakat, termasuk di dalamnya gereja-gereja.
Hal senada diungkapkan oleh Pendeta Rasthol Hasibuan, M.Th, seusai pertemuan dengan Pengurus YPDT membahas rencana sosialisasi visi “Kawasan Danau Toba Menjadi Kota Berkat di Atas Bukit” kepada masyarakat asal kawasan Danau Toba yang bermukim di Amerika Serikat pada November 2016 yang akan datang.
Pendeta Rasthol Hasibuan, M.Th yang saat ini melayani jemaat HKBP Indonesian Lutheran Church of California berpendapat bahwa masyarakat di kawasan Danau Toba lebih membutuhkan infrastruktur dan tidak harus dibangun hotel, tetapi sebaiknya masyarakatlah yang harus didorong menyediakan hotel atau tempat penginapan bagi wisatawan yang mengunjungi Danau Toba.” Kalau mau diberdayakan, maka masyarakatlah yang sebaiknya diberdayakan, termasuk memfasilitasi masyarakat dengan pihak lain” ujar Pendeta Rasthol Hasibuan, M.Th. bersemangat.
Pengembangan wisata kawasan Danau Toba harus menjaga kealamian dan kekhasan kawasan tersebut. “Alaminya itu yang perlu dijaga, karena justru di situlah ketertarikan banyak orang untuk mengunjungi Danau Toba. Kalau sudah tidak alami maka orang tetap akan lebih tertarik ke Monaco, sebagaimana slogan Monaco of Asia yang selama ini selalu disosialisasikan pemerintah,” lanjut pendeta yang mengikuti Sidang Raya Sinode HKBP (Sinode Godang) di Sipoholon, Tarutung baru-baru ini.
Masyarakat kita belum siap kalau kawasan Danau Toba menjadi Monaco. “Belum ada persiapan masyarakat, bisa shock dan kebingungan menghadapi perubahan yang drastis. Perlu dipersiapkan mental masyarakat,” pungkas Pdt. Rasthol Hasibuan, MTh. (BTS dan JM)