JAKARTA, DanauToba.org ─ Kecaman di masyarakat hingga di media-media sosial kepada Jautir Simbolon (JS) makin gencar. Pasalnya, hingga saat ini JS belum ditahan pihak kepolisian karena perbuatannya bersama anak buahnya telah melakukan pemukulan, pengeroyokan, ‘penahanan’, hingga pelecehan seksual kepada Sebastian Hutabarat (SH) dan Jhohannes Marbun (JM). Keduanya adalah aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT).
Dalam sebuah pertemuan rapat, YPDT didukung Perkumpulan Pabayo (Parsadaan Batak Alumni Yogyakarta), Perkumpulan Sipartogi (Silalahi, Paropo, Tongging), Protection International Defender, maupun beberapa orang mewakili individu yang hadir dalam pertemuan tersebut sepakat membentuk Tim Hukum tangani kasus 2 (dua) korban pemukulan dan pengeroyokan di Desa Silimalombu, Kabupaten Samosir. Rapat tersebut dilaksanakan pada Selasa (29/8/2017) sore di Sekretariat YPDT, Jakarta. Tim Hukum tersebut akan dikoordinasi dan dipimpin oleh Sandi Ebenezer Situngkir, SH, MH (Kepala Departemen Hukum dan Agraria YPDT).
Kasus pemukulan terhadap SH dan JM tersebut sudah lebih dari 2 (dua) minggu, namun belum ada tersangka yang ditetapkan oleh pihak kepolisian. Karena itu, pertemuan rapat tersebut merekomendasikan pembentukan Tim Hukum dengan mengambil langkah hukum yang konkret dan perencanaan strategis. Demikian disampaikan Andaru Satnyoto (Sekretaris Umum YPDT) sebagai pemandu membuka pertemuan rapat.
Dalam kaitan tersebut, Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) menghimbau agar tindakan Tim Hukum tersebut harus mengikuti koridor yang ada. “Perspektif Kota Berkat di Atas Bukit yang menjadi visi YPDT perlu menjadi kerangka aksi dan kerangka pikir (mindset) kita agar kita tidak gaduh,” tambah Siahaan.
Tim Hukum yang akan bekerja ini diharapkan dapat bekerja secara profesional. Mereka bebas dari isu-isu yang memprovokasi, sehingga tidak mudah diadu-domba, khususnya antarmarga Batak, dan diperalat.
Selain Tim Hukum yang notabene berkaitan dengan urusan litigasi, di bawah koordinasi YPDT akan dibentuk juga tim lain yang lebih mengurusi hal-hal non-litigasi, misalnya: komunikasi dengan berbagai pihak, publikasi pemberitaan (jurnalistik), membangun jejaring, penggalangan massa, hingga penggalangan dana.
“Kami siap di bagian hukum maupun non hukum,” seru Happy SP Sihombing (Kepala Bidang Hukum Pabayo) dan juga disetujui Witarsa Tambunan (Ketua Umum Pabayo).
Jerry R.H. Sirait (Pengawas YPDT) memberi catatan bahwa peristiwa yang menimpa dua sahabat kita, SH dan JM, tentulah sangat melukai kemanusiaan baik kepada bangsa ini dan juga kepada pemerintah. Kita setuju bahwa keadilan itu harus ditegakkan. Ini tentu tidak lepas dari konsep lama Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) yang menyuarakan keadilan (justice), perdamaian (peace), dan keutuhan ciptaan (integrated creation) yang disingkat JPIC.
Kita berjuang untuk JPIC yang kita sebut Kota Berkat di Atas Bukit itu (visi YPDT). Kita berjuang agar Danau Toba terus menjadi simbol raja ni sude na tao (raja semua danau yang ada di dunia) dan kembali menjadi tao nauli, aek na tio, mual hangoluan (danau yang indah, airnya jernih, sumber mata air kehidupan semua makhluk). Hal itulah yang kita perlu terus didengungkan, karena tujuan Joe dan Sebastian dalam rangka visi dan misi itu.
Sirait juga menggarisbawahi bahwa yang kita cari adalah hamonangan na marolop-olop (kemenangan karena sukacita dengan bersyukur dalam kerendahan hati dan menjaga kebersamaan), bukan hamonangan na marsurak-surak (kemenangan berhura-hura dan masa bodoh dengan perasaan orang lain). Seringkali orang Batak terjebak pada hamonangan na marsurak-surak. Maksudnya adalah tidak pada target berhura-hura, tetapi kemenangan yang seutuhnya.
“Saya tidak setuju kalau kita sebatas membela SH dan JM belaka. Ada baiknya kita bawa persoalan tersebut sampai ke aras nasional dan internasional. Banyak permasalahan tidak terekpos,” seru Sirait.
Sirait sepakat dengan Ketum YPDT untuk membentuk Tim Hukum tersebut dan menegaskan bahwa Tim Non-litigasinya pun sama penting dengan Tim Hukum yang mengurusi litigasi. Tim Non-litigasi inilah yang mengurusi ketersediaan amunisi bagi Tim Hukum.
Secara filosofis, Maruap Siahaan, Jerry R.H. Sirait, Witarsa Tambunan, dan Happy SP Sihombing, sudah membangun dasar dan kerangka falsafatinya. Selanjutnya kita harus membuat dan mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk bangunan tersebut. Dengan kata lain, langkah pikir, langkah aksi, dan strategi.
Alfra Girsang, SH (Tim Departemen Hukum dan Agraria YPDT) menyatakan bahwa kita butuh strategi, karena JS juga telah membuat strategi dengan melaporkan balik SH dan JM ke Polres Samosir. Jadi kita membuat strategi dan simpul jejaring.
Di sini sudah ada YPDT, Pabayo, Sipartogi, dan Protection International Defender. Kita kembangkan strategi dan memperbanyak simpul jejaring. Kita dapat membangun jejaring, misalnya dengan perkumpulan asal kampung halaman, marga-marga di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) atau dengan Naposo Batak. GMKI sebenarnya turut mendukung kita, tetapi dalam pertemuan rapat ini tidak hadir.
Strategi memang sangat penting dalam menjalankan suatu aksi. Namun demikian, kita perlu memperhatikan situasi lokal masyarakat. Samsir Simanjuntak menyatakan bahwa masyarakat perlu diedukasi terkait pentingnya kelestarian lingkungan.
Hojot Marluga berkomentar bahwa kita salut dengan kepemimpinan Jokowi di Pemerintahan Pusat. Namun sangat disayangkan, di daerah-daerah masih banyak penguasa daerah yang bertangan jahil. Hojot berharap pemerintah pusat yang luar biasa ini, bisa dipakai mengontrol dan menindaklanjuti kasus ini.
Victor S Nadapdap (Sekretaris Pusat Komisi Pengawas Advokat PERADI) dalam menanggapi pelaporan balik yang dilakukan JS hanya bisa tersenyum. “Kalau memang SH dan JM melanggar memasuki area yang dilarang, lalu mengapa kedua orang tersebut dipukuli, disekap, dan dianiaya? Jelas sekali di sini JS salah. Toh JS bisa bertanya secara sopan?” cibir Nadapdap.
Nadapdap menambahkan bahwa dalam hukum ada istilah:Biar langit runtuh, hukum tetap ditegakkan. Kalau orang Batak untuk istilah itu mengatakan: Pajolo uhum papudi gogo. Sekarang kita ketahui bahwa JS sudah melaporkan balik dengan tuntutan: dilarang masuk, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan. “Itu biasa, jangan takut. Kita harus maju terus. Memang jangan diumbar dulu, jangan mempermalukan siapa-siapa. Memang perlu dimasukkan terus ke pers. Jika tiba saatnya kita press (tekan), baru kita press,” sahut Nadapdap.
Damairia Pakpahan (Protection International Defender) menyampaikan bahwa Human Right Defender, di Indonesia belum terlalu mainstream (menjadi arus utama). Saya diskusi dengan kawan-kawan di kantor. Pertanyaan saya adalah bagaimana advokasinya itu tidak terbatas pada kelompok Batak, sehingga tidak lokalitas.
Apakah kawan-kawan di sini sudah mengontak LSM dan kawan-kawan gerakan di Sumatera Utara? Begitu juga di tingkat nasional, apakah sudah mengontak YLBHI dan Walhi. Ini penting karena ini juga berbicara lingkungan.
Menanggapi Damairia Pakpahan, Andaru Satnyoto (Sekum YPDT) menyatakan bahwa kerjasama dan sinergitas dengan kawan-kawan pergerakan sosial sudah lama dilakukan YPDT, baik di daerah (khususnya Sumut) maupun di aras Nasional. “Kita akan tingkatkan lagi dan diperkuat,” ujar Andaru.
Damairia melanjutkan bahwa Kawan-kawan (Organisasi Masyarakat Sipil- Red) di tingkat Nasional, baru saja bertemu dengan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Ada salah satu pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang PPLH, berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Ainun (Protection International Defender) menambahkan bahwa selain pasal 66, kita bisa merujuk juga pasal 65 ayat (5) dan 67. Pasal 65 ayat (5) berbunyi: “Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.” Pasal 67 berbunyi: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
Karena itu, aktivis lingkungan hidup dijamin oleh Undang-Undang, yaitu: tidak boleh dipidana maupun diperdata, termasuk tidak boleh dipukuli karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kalau dikatakan tidak boleh takut, memang tidak boleh takut karena Undang-Undangnya sudah dikatakan demikian. Komnas HAM bisa juga dihubungi. Kalau hal itu ditarik ke persoalan HAM, bisa juga.
Dalam pertemuan rapat tersebut, Jhohannes Marbun (JM) sebagai salah satu korban ikut hadir juga. JM pada dasarnya bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih atas solidaritas teman-teman semua yang sudah membantu dan memberi perhatian. Bahkan Witarsa Tambunan (Ketum Pabayo dan juga Ketua Bidang Pariwisata KPPS HKBP) bercerita bahwa dia membatalkan berangkat ke kawasan Danau Toba untuk kegiatan sosialisasi Pariwisata yang diselenggarakan KPPS HKBP tanggal 25 Agustus lalu demi menghadiri pertemuan rapat ini. Witarsa memberi alasan bahwa pertemuan ini sangat penting, karena bisa saja kasus ini terjadi pada siapapun di kawasan Danau Toba dengan adanya perubahan mindset terutama dalam konteks pembangunan pariwisata nasional.
Di akhir pertemuan rapat, Sandi E. Situngkir yang ditunjuk sebagai Ketua Tim (Litigasi dan Non Litigasi) mengharapkan kepada peserta yang hadir dapat mengusulkan nama-nama yang dapat bergabung dengan Tim yang dibentuk ini. Pengurus YPDT akan mengeluarkan Surat Keputusan untuk Tim ini dan secara teknis akan dikoordinasikan melalui Sekretariat YPDT. “Tim akan segera bekerja berdasarkan catatan maupun mandat yang telah diberikan. Nama Tim ini adalah Tim Advokasi Perlindungan Danau Toba (TAPDATU),” pungkas Sandi Situngkir. (BTS)