JAKARTA, DanauToba.org ─ Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dan Lokus Adat Bangso Batak (LABB) sepakat menyatakan bahwa Tanah Batak (Tano Batak) adalah tanah adat yang harus dijaga oleh Bangso Batak (Bangsa Batak). Tanah adat yang dimaksud adalah Tano Batak di Kawasan Danau Toba (KDT) atau bonapasogit.
Hal tersebut disampaikan YPDT dan LABB setelah adanya diskusi bersama dalam rangka undangan LABB kepada Ketua Umum YPDT, Maruap Siahaan, pada Sabtu (10/10/2019) di Universitas Mpu Tantular, Jakarta. Ketum YPDT ini diundang untuk mempresentasikan Pariwisata dan Permasalahan Danau Toba.
Di awal presentasinya, Maruap menegaskan bahwa identitas Bangso Batak terletak pada tanah, Danau Toba (airnya), dan adat/budayanya. Tiga hal ini tidak dapat dilepaskan dari Bangso Batak karena melekat dalam dirinya. Ketiganya juga saling terkait. Kalau salah satu atau bahkan ketiganya hilang, maka hilanglah Bangso Batak itu. Inilah yang harus dipahami, dijaga, dan dilestarikan Bangso Batak kalau masih mau exist (ada).
Persoalan utama yang bergejolak di KDT adalah masalah pencemaran air Danau Toba, masalah kerusakan hutan, masalah penyerobotan (klaim sepihak) tanah adat/marga, dan masalah adat/budaya Batak yang mau disingkirkan. Persoalan utama tersebutlah yang terus-menerus diperjuangkan YPDT sejak berdirinya pada 1995.
YPDT mengajak Bangso Batak melihat secara jernih dan jelas terhadap persoalan utama tersebut. YPDT sudah berbuat sesuatu dengan tindakan nyata yang tegas dan jelas tanpa kompromi dengan siapapun yang berusaha mengambil keuntungan dan memanfaat bahkan mengekplorasi KDT untuk kepentingan sendiri (pribadi maupun kelompoknya) dengan mengorbankan Bangso Batak yang berada di sana dan merusak lingkungan hidup.
Berikut gambaran persoalan utama yang disampaikan YPDT:
Pertama, pencemaran air Danau Toba yang diakibatkan oleh budidaya ikan dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) oleh perusahaan besar seperti PT Aquafarm Nusantara (anak perusahaan Regal Springs dari Swiss melalui Penanaman Modal Asing) dan PT Suri Tani Pemuka (anak perusahaan Japfa Comfeed). Pencemaran air tejadi karena penggunaan pellet (pakan) ikan yang merusak kualitas air Danau Toba sebagai air Kelas Satu dalam baku mutu air (Peraturan Gubernur Sumatera Utara Pasal 5 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001).
Bagi Bangso Batak, air Danau Toba adalah Air Emas sebagaimana istilah ini dimunculkan YPDT dalam sebuah Diskusi Kamisan pada Kamis (18/10/2018) di Sekretariat YPDT, Cawang, Jakarta Timur. Istilah lain yang juga dijunjung tinggi Bangso Batak adalah Tao Toba nauli, aek natio, mual hangoluan (Danau Toba yang indah, airnya jernih, sumber mata air kehidupan).
Baca juga: Air Danau Toba Adalah Air Emas
Kedua, PT Inalum juga menimbulkan masalah pada kualitas dan kuantitas air Danau Toba melalui megaproyek pembangkit listrik tenaga airnya di Asahan. Ada penurunan tinggi permukaan air Danau Toba tiap tahun. YPDT sempat mencermati penurunan tersebut pada 2015-2018.
Ketiga, PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah menimbulkan perusakan hutan yang sangat berdampak terhadap Danau Toba. Dalam hal ini, Sonny Keraf (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup) pernah mengatakan: “Sejak awal kegiatan PT IIU (berubah nama menjadi TPL) sudah menimbulkan pertentangan karena lokasinya yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan dan dampak negatifnya sulit ditanggulangi. Semakin disadari sekarang bahwa lokasi dan kegiatan PT IIU (PT Indorayon Inti Utama) itu telah melanggar peraturan dan undang-undang.”
Keempat, TPL juga merampas dan menyerobot areal Tanah Adat/Hutan Adat berupa Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan) seluas + 4.100 Ha milik masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta (700 KK masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kab. Humbang Hasundutan, Sumut, Juni 2009).
Kasus terkait masalah tanah adat/marga belum lama ini juga dialami masyarakat adat di tiga lokasi Kabupaten Toba Samosir, yaitu Sibisa, Sigapiton, dan Motung, di mana ada masalah dengan tanah 600 Ha yang diklaim Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT).
Kelima, dalam pengembangan pembangunan pariwisata di KDT, BOPKPDT terkesan tidak mengindahkan keberadaan masyarakat adat dan menghormati budaya/adat Batak beserta dengan kearifan lokal masyarakat adat Batak yang sudah melekat kuat sejak mereka menduduki tanah mereka di KDT sebelum negara Indonesia berdiri.
Keenam, YPDT adalah salah satu organisasi masyarakat yang memberi masukan kepada Presiden Jokowi dalam rangka penetapan KDT sebagai kawasan pariwisata unggulan dari 10 destinasi wisata yang ditetapkan pemerintah. Melalui masukan YPDT tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2016 Tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT).
Namun demikian, sejak dikeluarkannya Perpres tersebut pada Juni 2016 sampai saat ini Oktober 2019, BOPKPDT belum mampu merumuskan Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba, sehingga dipertanyakan keberadaan BOPKPDT tersebut oleh masyarakat Batak.
Baca juga:
- Peraturan Presiden RI Nomor 49 Tahun 2016 Tentang BOPKPDT
- Jelang Tiga Bulan Kinerja Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba
- Membangun Kepedulian Pemulihan Danau Toba
Jika kita daftar masalah-masalah yang terjadi di KDT, maka kita akan memiliki daftarnya sangat panjang. Setidaknya, YPDT mengusulkan agar masalah kerusakan perairan Danau Toba, kerusakan hutan, konflik tanah adat/marga, dan pengakuan keberadaan masyarakat adat Batak secepatnya diselesaikan.
YPDT sudah bergandeng tangan dengan beberapa organisasi masyarakat lainnya, antara lain Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI), Forum Peduli Bona Pasogit (FPBP), BATAK CENTER, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Naposo Batak Jabodetabek (NABAJA).
Ketujuh organisasi ini bertekad dan berkomitmen akan berjuang menyelamatkan Tano Batak dan Danau Toba agar tidak dikuasai pihak lain. Bangso Batak adalah pemilik sah Tano Batak dan Danau Toba yang dianugerahkan TUHAN sejak ompung-ompongnya (nenek moyangnya) menduduki, tinggal, dan mengelolanya hingga diwariskan kepada generasi penerus keturunannya.
Ketujuh organisasi masyarakat Batak ini masih membuka pintu kepada organisasi-organisasi Batak lainnya dan bahkan individu (perorangan) untuk bergabung bersama memperjuangkan Tano Batak dan Danau Toba serta mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat Batak.
Dalam Diskusi tersebut, YPDT telah meminta LABB sebagai lembaga pemersatu budaya Batak untuk ikut serta memperjuangkan usulan YPDT.
Brigjen TNI (Purn) Berlin Hutajulu (Ketua Umum Dewan Mangaraja LABB) dan Drs. Martua Situngkir, Ak (Wakil Ketua Dewan Mangaraja LABB) menegaskan bahwa Visi LABB, yaitu: mewujudkan Bangso Batak Bersatu, Beriman, Cerdas, Sejahtera, Beradat, Beradab, dan Beridentitas (Bernas Teratas), dengan cara menuntaskan salah satu misi utamanya: Melindungi segenap Bangso Batak dan tanah airnya mendukung sepenuhnya dan berada dalam satu barisan dengan YPDT memperjuangkan keberadaan masyarakat hukum adat Bangso Batak dan kelestarian ekosistem Kawasan Danau Toba demi mewujudkan kesejahteraan Bangso Batak.
Hal ini bukan berarti Bangso Batak anti pembangunan, tetapi justru mendukung pembangunan dalam artian luas (Pariwisata, infrastruktur, sarana, dan prasarana) yang berwawasan lingkungan untuk kesejahteraan Bangso Batak khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya kini dan kemudian.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan