JAKARTA, DanauToba.org ─ Wawasan kebangsaan kita tidak kuat, sementara radikalisme makin menggilas kita. “Dengan memperkuat wawasan kebangsaan, radikalisme dapat kita antisipasi. Pancasila adalah filternya,” demikian disampaikan Dr Chontina Siahaan (Dosen Universitas Kristen Indonesia) dalam Diskusi Kamisan (4/5/2017) di Sekretariat Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dengan tema: ‘Pendidikan Lokal Versus Kapitalisme’.
Apa itu radikalisme? Saat ini radikalisme dipahami negatif. Kata dasarnya adalah radix (terjemahan harafiahnya “akar”). Pengertian semantiknya bermakna positif, namun karena ada isme (paham) cenderung negatif. “Jadi sesungguhnya yang terjadi saat ini bukan radikalisme, tetapi pemahaman yang salah atas penafsiran pengertian mendasar dari Kitab Suci. Namun karena dalam praktek yang terlihat sangatlah buruk, maka radikalisme dipahami negatif,” tegas Jerry R.H. Sirait (Pengawas YPDT).
Radikalisme sudah masuk ke dunia pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, wawasan kebangsaan menjadi penting dan dimulai dari pendidikan, dan pendidikan itu dimulai dari desa. Wawasan kebangsaan dan pendidikan budi pekerti melalui institusi pendidikan menjadi kekuatan melawan radikalisme. Apakah pendidikan di Indonesia sudah melakukan hal tersebut?
Jangan dulu bicara pendidikan tersebut di Indonesia. Coba kita persempit cakupannya pada Kawasan Danau Toba (KDT). Pada cakupan tersebut pun nyaris tidak ada.
“Kita sebatas baru merasa memiliki Danau Toba. Kita belum mempunyai tanggung jawab bagaimana mengelola Danau Toba secara keseluruhan,” tegas Chontina. Adakah pendidikan atau kearifan lokal yang membuat masyarakat di sekitar Danau Toba menjaga dan memelihara Danau Toba?
Mungkin ada, tetapi sudah hampir punah. Karena kita sebatas masih merasa saja, maka terjadi pembiaran. Orang Jakarta bilang: “Emang gue pikirin (EGP)?” Dari sikap EGP itulah masuk para kapitalis dan mereka melihat masyarakat di KDT tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Bukti bahwa kaum kapitalis sudah menggerogoti masyarakat dapat dibaca dari cara berpakaian. Sebagai contoh, di kawasan pariwisata di Pulau Samosir (Tuktuk, Tomok, dll) dan Parapat, banyak dijual baju Batik asal pembuatannya dari Yogya, walaupun tulisannya Parapat, Tuktuk, Tomok, dll. Begitu juga dengan gaya hidup masyarakat sudah tergerus. Di manakah pendidikan dan kearifan lokal budaya Batak? “Di sinilah kita, orang Batak, punya andil turut melegalkan kepunahan tersebut,” ungkap Chontina.
Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) rupanya tertarik apa yang dikatakan Chontina bahwa kita sebatas baru merasa memiliki Danau Toba, tetapi belum mempunyai tanggung jawab. “Kita selalu mengatakan ingin menyelamatkan dunia, dll, tetapi tidak mau berkorban,“ ungkap Maruap.
“Ketika YPDT menggugat PT. Aquafarm Nusantara dan PT. Suri Tani Pemuka melalui jalur hukum, sedikit orang mau berkorban dan ikut ‘berperang’ bersama YPDT,” seru Maruap.
“Saya cenderung mengatakan bahwa radikalisme terjadi karena ketidakadilan (kebodohan dan kemiskinan). Untuk itu perlu dicerdaskan (dicerahkan),” lanjut Maruap.
Globalisasi mempunyai andil mempercepat faham radikalisme dan kapitalisme menyebar ke ruang-ruang kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat di KDT. Kapitalisme dituding sebagai penyebab meningkatnya kemiskinan di masyarakat. Sementara, kemiskinan tersebut menjadi makanan “lezat” bagi kaum radikal haluan kiri menyerang kaum kapitalis.
Kita dapat membaca hal tersebut sudah terjadi di KDT. Kasus yang mudah dibaca adalah jual-beli tanah. Masyarakat miskin yang hanya memiliki satu-satunya tanah leluhur (warisan) nenek moyangnya (ompungnya) dengan mudah tergiur tawaran para kapitalis dan konglomerat untuk harga tanah yang tinggi. Kalau hal tersebut dibiarkan, maka dalam hitungan tahun yang tidak terlalu lama lagi, masyarakat KDT tersingkir dari tanah warisannya. “Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengedukasi masyarakat tano (tanah) Toba untuk mengelolanya,” ajak Chontina.
Lantas dari mana kita harus bergerak menyelamatkan KDT? Kita mulai bergerak dari desa. Desa merupakan jantung pemerintahan kita, mulai dari RT, RW, dan dusun. Gerakan radikalisme pun dimulai dari desa ke desa. Karena itu, kita pun harus melawan gerakan radikalisme tersebut dengan memperkuat wawasan kebangsaan, nilai-nilai kearifan dan pendidikan lokal secara berkesinambungan dari desa ke desa. Gereja juga seharusnya memiliki peran penting memperkuat hal tersebut, tetapi dalam kenyataannya gereja tidak berfungsi sebagaimana yang dimaksudkan. Para pemimpin Gereja perlu introspeksi diri.
“Kearifan lokal berpengaruh dalam memperkuat kepemimpinan nasional. Pemimpin harus tuntas dengan budayanya dan mau mengembangkan budayanya,” demikian komentar Freddy Pandiangan. Kita mengetahui banyak orang Batak yang berada dalam tampuk kepemimpinan. “Apakah mereka mau melirik kembali daerahnya, dan mau mengembangkan budayanya?” harapan Freddy.
Menyoal Gereja, Mardongan Sigalingging berbagi pengalamannya. Sebagai seorang penganut Katolik, Mardongan menyatakan bahwa di Gereja Katolik sudah tersedia modul Bina Iman. Modul tersebut selain mengandung ajaran Gereja Katolik, juga ada muatan nilai-nilai budaya lokal dan pemahaman Pancasila. Buku praktis ini mengajak kita bagaimana hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda, mempererat persaudaraan, dan berbelarasa.
Memperjelas Chontina Siahaan, Jerry Sirait menyatakan bahwa pendekatan berwawasan kebangsaan (nasional) itu baik, tetapi mewujudkannya dengan bertindak lokal. “Jadi untuk KDT, Habatakon, Keindonesiaan, dan Kekristenan adalah 100% sebagai sumber nilai,” imbuh Jerry Sirait.
Mengenai pendidikan nilai Habatakon, sayangnya orang di kampung justru lebih suka berbahasa Indonesia daripada bahasa Batak. Oleh karena itu, YPDT perlu mendorong para Bupati di KDT untuk menjalankan kembali pemakaian dwi bahasa tersebut (bahasa Batak dan bahasa Indonesia).
Bapak Pengawas YPDT ini pun menambahkan bahwa ada tiga (3) hal yang harus disediakan negara dalam menguatkan pemahaman kepada peserta didik, antara lain: pendidikan nilai, pendidikan karakter, dan pendidikan perdamaian.
Pendidikan nilai berperan penting sebagaimana sudah dibahas di atas. Pendidikan karakter juga sama pentingnya seperti pendidikan nilai. Baru-baru ini, Mendikbud, Muhadjir Effendy, telah menggagas pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Satu lagi yang tidak boleh dilupakan adalah pendidikan perdamaian yang digagas oleh Pdt. Judo Purwowidagdo.
Susi Rio Panjaitan, salah satu pendidik anak, menyampaikan bahwa persoalan pendidikan di Indonesia adalah anak Indonesia jarang diberikan tentang pendidikan keberagaman. Hal tersebut untuk membiasakan anak belajar menerima orang yang berbeda-beda dari dirinya sendiri. Mengajarkan keberagaman kepada anak-anak harus dimulai dari rumah. “Saya belajar dari pengalaman di mana sejak kecil kami sudah diajarkan orangtua kami memahami kebatakan dan keberagaman melalui marga-marga Batak,” kata br. Panjaitan yang baru menyelesaikan studi master psikologinya dari Unika Atma Jaya Jakarta.
Berbeda dengan pengalaman Susi, Toga Silitonga (orang Batak yang sudah lama tinggal di Jerman dan warga negara Jerman) bercerita soal pendidikan di Jerman. Di jerman tidak ada lagi soal pendidikan etika dan agama karena sejak kecil sudah dididik di dalam keluarga. Kalau pun ada pendidikan etika dan agama, itu adalah pilihan. Bahkan simbol-simbol agama pun saja sudah dikurangi di sekolah-sekolah.
Sekolah-sekolah di Jerman sudah menerapkan penjurusan minat sejak kelas 4 SD. Seorang wali guru melalui rapat para guru dan kepala sekolah memutuskan apakah anak-anak tersebut masuk ke jalur universitas atau sekolah kejuruan. Jadi yang menentukan masa depan anak-anak tersebut akan masuk ke jalur mana bukan anak itu sendiri maupun orangtuanya. Penilaian prestasi belajar anaklah yang menentukannya dan diputuskan melalui rapat para guru kelas dan kepala sekolahnya.
Di Jerman sendiri tersedia begitu banyak sekolah kejuruan dibandingkan universitas. Ada sekitar 8.900 sekolah kejuruan di Jerman yang siap terjun ke dunia kerja. Pendidikan kejuruan justru menjadi kekuatan dan sokoguru Jerman. Ketika Eropa Barat mengalami krisis ekonomi dan moneter, Jerman justru mampu bertahan menghadapi krisis tersebut.
“Ketika saya berkunjung ke daerah Girsang, Parapat di sana ada 17 Kepala SD, dan dibagi 2 penilik sekolah. Ada yang mengampu 9 sekolah dan penilik lain mengampu 8 sekolah. Dalam hal penggajian, guru honorer hanya digaji 500ribu/kepala. Dalam hati saya bertanya, bagaimana bisa mereka membiayai keluarganya?”, diceritakan Toga Silitonga.
Rupanya setelah ditanya lebih lanjut, penambahan pemasukan gaji tersebut diperoleh dari pengadaan barang-barang kebutuhan sekolah, seperti kapur tulis, misalnya. Bagaimana mungkin seorang guru mempersiapkan pengajaran yang baik dan berkualitas kalau urusan “perut” saja belum beres? Tanya Toga Silitonga.
Pendidikan di KDT yang perlu dikembangkan adalah perubahan revolusioner di bidang pendidikan, di mana ada sekolah-sekolah kejuruan yang menerapkan masa magang. Misalnya, siswa selama 3 hari belajar di kelas dan 2 hari praktek (magang). Dalam 3 tahun nantinya ia sudah siap kerja.
Diakhir Diskusi Kamisan yang dipandu Jhohannes Marbun ini, forum sepakat bahwa paham kebangsaan kita perlu diperkuat. Ketidakadilan sudah seharusnya diminimalisasi sampai nol dengan mencerdaskan dan memberdayakan masyarakatnya. Upaya tersebut bisa dimulai dari pendidikan di tengah-tengah keluarga, pendidikan usia dini, maupun pendidikan formal dan informal lainnya secara berjenjang. Materinya adalah menginternalisasi budaya lokal dan keberagaman (multikultur) sebagai upaya pengenalan terhadap diri, keluarga, lingkungan dan masyarakatnya maupun sebagai dasar pengetahuan untuk mengenal kebudayaan dan/atau peradaban lainnya yang berkembang dengan tetap mengacu pada Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu, forum merekomendasikan pembentukan Tim yang akan mengimplentasikan apa yang sudah dibicarakan dalam Diskusi Kamisan tersebut. Ketum YPDT telah meminta kesediaan Jerry R.H. Sirait menjadi formatur Tim kecil tersebut. (BTS/JM)