JAKARTA, DanauToba.org — Masyarakat di Kawasan Danau Toba (KDT) masih tergolong rendah SDMnya. Tidak mengherankan jika tingkat kemiskinan di KDT tinggi, padahal kekayaan alam di KDT melimpah. Salah satu strategi untuk meningkatkan SDM di KDT adalah dengan membangun “Universitas Negeri” di KDT sebagaimana disampaikan dalam paparan makalah yang ditulis Andaru Satnyoto dan Jhohannes Marbun.
Keterdesakan membangun “Universitas Negeri” di KDT menjadi topik diskusi dalam Diskusi Kamisan yang rutin dilaksanakan oleh Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) pada Kamis (12/5/2016) di Sekretariat YPDT. Salah satu problem pokok kawasan ini adalah masih minimnya kajian–kajian kawasan, dan lemahnya SDM pariwisata dan berbagai bidang yang terkait dengan teknik, gunung api, geologi dan pertanian-perkebunan, kehutanan, dan limnologi. Namun hingga saat ini belum ada perguruan tinggi negeri yang secara berkelanjutan ada dan dikembangkan di kawasan Danau Toba.
SDM di tingkat lulusan SMA/SMK cukup banyak di kawasan dan di seluruh wilayah propinsi Sumatera Utara. Para siswa atau pemuda-pemudi ini, setelah melewati SLTA di Kawasan Danau Toba, banyak yang melanjutkan studi perguruan tinggi di luar daerah dan tidak jarang menetap di daerah perantauan atau ke pusat-pusat ekonomi lainnya. Pada akhirnya, di Kawasan Danau Toba masih membutuhkan banyak SDM yang berkualitas dan memiliki hati atau perhatian (passion) untuk pengembangan kawasan. Di samping itu kawasan ini juga memerlukan banyak penelitian dan konservasi untuk pelestarian dan pengembangan wilayah. Untuk itu, pembentukan perguruan tinggi negeri di Kawasan Danau Toba merupakan keharusan dan keniscayaan yang wajar, untuk keberlanjutan (sustainability) pembangunan secara komprehensif. Dengan demikian, potensi dan permasalahan yang ada di kawasan dapat dikelola menjadi kekuatan pembangunan kawasan Danau Toba.
Ronsen Pasaribu menyatakan bahwa sejauh mana universitas negeri tersebut urgensinya? Jika kita melihat masalah kemiskinan di kampung halaman kita (bonapasogit), itu karena petani-petani di sana sekarang sudah tua-tua. Anak-anak muda di sana tidak ada lagi yang mau bertani. Kita tidak kekurangan orang Batak yang lulus S1, S2, S3, tetapi persoalanannya banyak yang tidak mau kembali ke Kawasan Danau Toba (KDT) dan bekerja di sana. Masih begitu suasananya.
Bagi Pasaribu, ia tidak menolak dibangun universitas negeri Danau Toba, tetapi jangka pendek yang kita butuhkan adalah Politeknik untuk menghasilkan tenaga-tenaga terampil siap pakai. Karena merekalah yang akan siap pakai. Kalau sudah matang, maka dipersiapkan menjadi universitas.
Kerdid Simbolon (dari FKIP UKI) berpendapat bahwa dalam membangun universitas negeri Danau Toba kita harus melihatnya dari visibility dan kemauan politik. Keduanya ini sama kuatnya, masing-masing saling membutuhkan. Menyoal universitas negeri di Danau Toba atau Samosir, yang pertama perlu disiapkan adalah SDM di bidang pariwisata. Inilah dulu yang akan dilakukan pertama kali, setelah itu baru pertanian. Jadi tidak dibalik. Kalau pariwisata sudah jalan, maka dia otomatis akan menumbuhkan sektor-sektor lainnya termasuk pertanian.
Arta Sinamo menyambut baik ide universitas negeri di Danau Toba, bahkan ia sendiri menyatakan sudah punya ide untuk pendidikan di KDT, namanya Institut Pertanian Nusantara, tetapi modalnya belum ada. Dengan adanya konsep ini, maka kami dengan berbesar hati siap meleburkannya. Kami dari Dairi/Pakpak siap untuk itu.
Carlos Melgares lebih melihat bahwa yang dibutuhkan adalah training pemberdayaan masyarakat sesuai dengan sektor masing-masing. Potensial alam di sana perlu dikembangkan dengan memberdayakan masyarakatnya. Yang perlu adalah kembali pada asal mulanya. Setelah itulah baru ujung tombak pariwisata itu dikembangkan. Pemberdayaan tersebut diawali dengan potensi sektor-sektor yang ada dan akan lebih baik jika ada orang yang berjiwa pengusaha dari bawah dan diperkuat.
Carlos sangat menyayangkan bahwa saat ini kita melihat tradisi orang Batak sudah terputus, diputus hubungan orang Batak dengan alam, alam dilihat sebagai ancaman. Yang tidak sesuai dengan agama diputus (red: misalnya pembakaran ulos dari kelompok fundamentalisme agama). Ini harus dikembalikan ke tradisi luhur Batak karena alam juga ciptaan Tuhan.
Kita mengakui bahwa tradisi/budaya Batak mampu menjaga kelestarian alam karena leluhur orang Batak pada masa lalu sangat menghargai peran alam bagi keseimbangan kehidupan semua makhluk hidup.
Bambang Herutomo bertanya: “Mengapa tidak universitas swasta dulu? Kalau reputasinya baik maka didorong ke negeri. Saat ini Pemerintah sedang menggalakkan program pariwisata di Danau Toba, jangan sampai nanti sudah masuk, kita tidak siap SDMnya.
Menjawab Bambang Herutomo, Andaru mengatakan bahwa universitas negeri lebih pada aspek anggaran dan keberlanjutan. Perguruan tinggi negeri ini akan menjadi pusat pertumbuhan kawasan. Kalau di Indonesia yang kuat adalah negeri supaya bisa menjangkau rakyat kecil. Kalau negeri, maka diprioritaskan mendaftar di rayon setempat.
Merespons hal tersebut, Jerry RH Sirait berpendapat: “Jangan dulu kita berbicara universitas negeri, tetapi berbicara tentang kebutuhan adanya perguruan tinggi. Saya gembira adanya gagasan Universitas Negeri Danau Toba, tetapi untuk itu perlu dibuat tim sendiri yang memperdalam suatu kajian pembentukan perguruan tinggi. Pusat kajian Danau Toba itu perlu dibuat. Jadi sebelum ke Universitas itu, perlu dibuat dulu prakondisi, yaitu pusat studi–pusat studi. Setelah kuat baru masuk ke Perguruan Tinggi.”
Ana Sianipar sepakat dengan Jerry RH Sirait dan ia sendiri kagum kalau orang Batak itu pintar-pintar, sehingga hampir tidak ada konflik manajemen. Br. Sianipar menyatakan siap membantu kalau dibangun lembaga pendidikan di Kawasan Danau Toba, tetapi kalau bisa misi kristianinya harus ada.
Dalam diskusi ini turut hadir juga Pdt Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI sekaligus Pengawas YPDT. Gomar Gultom mengomentari bahwa Universitas ini merupakan ide menarik, tetapi harus kita pikirkan sejak awal, latar belakang ekonomi masyarakat yang saat ini apakah mampu mereka mengakses universitas tersebut. Yang dibutuhkan dan sekaligus dihidupkan kembali adalah Universitas Rakyat atau Pargodungan yang memang sudah ada di masyarakat. Sebetulnya YPDT melalui GCDTnya ini sebenarnya cikal-bakal universitas rakyat itu. Bisa saja siapapun akan menjadi eksekutornya.
Selanjutnya Pak Sekum PGI mengingatkan ulang tentang sejarah bahwa Tapanuli sebelum adanya otonomi-otonomi, sebetulnya sudah ada ide mendirikan universitas ini. Sebagai contoh, KM Sinaga memiliki ide mendirikan Universitas Nehemia di Muara. Meskipun Pak Sinaga sudah lama meninggal, saya kira anaknya masih menyimpan ide itu. Ide tersebut muncul berawal dari gempa bumi di Tapanuli tahun 1987, yaitu: justru mereka membuat itak gurgur, apa yang terjadi dengan masyarakat? Maka timbul keinginan untuk mencerdaskan masyarakat dan kuat imannya. Ada juga TP Arjuna, dan juga IT Del yang bekerjasama dengan ITB. Universitas Nomensen sebenarnya bisa juga mendirikan kampus dengan fakultas tertentu di sekitar Danau Toba. Hal-hal seperti ini perlu dikembangkan dan diajak berkolaborasi semuanya. Biarlah ide ini bergulir dan ditangkap oleh semua pihak karena pekerjaan YPDT sudah cukup banyak.
Menurut Pdt Gomar, dalam sejarah Gereja di Indonesia, gereja mampu membawa perubahan dan pembaruan (reformasi). Namun demikian kondisi saat ini gereja-gereja di KDT tidak sedang membawa harapan. Gereja hanya berkutat pada doa dan ibadah, tetapi tidak melihat realitas sosial. Hampir semua sekolah-sekolah yang didirikan missionaries, kualitasnya menjadi rendah. Ini menjadi refleksi kita sebagai pengikut Kristus (dalam menanggapi respons Jerry RH Sirait tentang kondisi Perguruan Tinggi Kristen yang sangat rendah mutunya)
Itu yang membuat orang Batak menjadi kehilangan identitas, dan terjadi keterputusan, sebagaimana dikatakan
Carlos Melgares (asal Spanyol yang sudah diberi marga Simbolon). Untuk itulah perlu dialog antara Kekristenan dan budaya.
Terbersit tentang ide Universitas (Sekolah) Rakyat, Mardi F.N. Sinaga mengatakan bahwa ia bersama kawan-kawannya sudah membuat Sekolah Rakyat versi digital, yang sudah dapat diunduh melalui Play Store (Google Android) dengan nama aplikasi Be Smart (lihat gambar di kanan). Dengan teknologi digital dan internet, semua anak-anak kita dari SD, SMP, SMA/SMK, dapat belajar gratis tanpa bayar. Kita miris karena sekarang banyak anak-anak kita tidak mampu masuk ke perguruan tinggi favorit. Bahkan dalam persaingan kerja, mereka kalah bersaing karena tidak sekolah sampai perguruan tinggi. Nantinya, kata Mardi Sinaga, Be Smart dapat saja menjadi tempat belajar bagi anak-anak atau orangtua di Kawasan Danau Toba secara gratis. “Kami sedang mengupaya free wifi di berbagai kelurahan di KDT,” kata Pak Sinaga.
Menutup percakapan Dikusi Kamisan, Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) merangkum percakapan antara lain:
Pertama, Ada sesuatu yang hilang dari kita. Cinta kasih itu hanya pada level kulitnya. Sepertinya Bangsa Batak seolah-olah terbuang.
Kedua, ide Sekolah Rakyat Digital dari Mardi F.N. Sinaga adalah ide yang sangat bagus, tetapi sayang yang menikmati adalah orang di luar KDT. Supaya masyarakat di KDT, khususnya anak-anak, maka, kita minta Telkomsel supaya disediakan infrastruktur, dan saat ini sedang dikerjakan.
Ketiga, orang Batak harus dibebaskan dari kegelapan. Karena itu, perlu dibuat Universitas Rakyat terlebih dahulu.
Keempat, kami masih punya harapan terhadap gereja, walau gereja telah mengakui kehilangan legitimasi seperti yang disampaikan Pdt Gomar Gultom. (Red: kita adalah Gereja. Orang Batak yang masih memiliki passion harus menjadi terang dan garam dunia).
Kelima, Danau Toba Tanpa Keramba adalah azas keadilan, jangan yang satu mencemari dan yang lain merasakan dampaknya. Orang sakit harus disembuhkan. Kadang pahit dan sakit kalau ingin menyembuhkan.
Berdasarkan usulan Jerry R. H. Sirait (Pengawas YPDT) untuk membentuk Tim tersendiri yang akan memikirkan pembentukan Bidang Pendidikan bagi masyarakat di KDT, maka forum telah memilih:
Anggota TIM:
- Arta Peto Sinamo (koordinator)
- Laspinta Lumban Batu
- Fredy Pandiangan
- Kerdid Simbolon
- Carlos Melgares Simbolon
- Tionar Sitanggang
- Susi Rio Panjaitan
Penulis: Boy Tonggor Siahaan