JAKARTA, DanauToba.org — Dua puluh lima Mei, adalah ulang tahun PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). Pada 25 Mei 1950, DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) yang kemudian menjadi PGI dalam Keputusan Sidang Raya DGI di Ambon, 1984, didirikan di Jakarta oleh belasan Pimpinan Sinode Gereja seluruh Indonesia yang kemudian secara formal organisatoris berhimpun di dalam wadah DGI. DGI didirikan dengan tujuan “Gereja yang Esa”. Setahun sebelumnya, yakni 1949, sudah ada pertemuan pendahuluan untuk mempersiapkan persidangan tanggal 25 Mei 1950, yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Mr. Todung Sutan Gunung Mulia Harahap (T.S.G. Mulia) dkk. Prof T.S.G. Mulia adalah Menteri Pendidikan RI dalam Kabinet Syahrir I dan Wakil Menteri Pendidikan RI dalam Kabinet Syahrir II pada masa awal Kemerdekaan RI (1945-1946).
Berdirinya DGI tidak dapat dipisahkan dari komitmen Pimpinan Sinode-sinode Gereja untuk segera menyiapkan cerdik cendekia dalam kerangka mengisi Kemerdekaan RI. Bahkan pada persidangan tahun 1949, sudah ada percakapan serius dan komitmen “menghadirkan Gereja dalam pembangunan nasional di negara RI yang baru saja merdeka”. Secara khusus dalam penyiapan SDM. Persidangan itu memandang perlu mendirikan Universiteit Christen (Universitas Kristen).
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah sejak lama ada di seantero nusantara dan telah memiliki wadah berhimpun secara nasional sejak tahun 1932 – yang kemudian menjadi MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen) pada 1950-an dan disempurnakan pada 2000-an menjadi Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK). Sekolah-sekolah Kristen dan Sekolah-sekolah Swasta lainnya (termasuk Madrasah-madrasah dan Seminarium-seminarium) sudah menjadi pusat-pusat pergerakan memperjuangkan kemerdekaan. Sewaktu penulis bertugas sebagai Sekretaris Umum MPK, Sekolah-sekolah Kristen ada di lebih setengah dari jumlah provinsi di Indonesia.
Periksalah para aktivis pada momentum yang terkenal itu, Gerakan Budi Utomo pada tahun 1908 yang kemudian terkenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Begitu juga pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ya, para alumnusnya pun tidak sedikit yang turut terlibat secara aktif di sekitar 17-18 Agustus 1945. Mereka, yang beragam suku dan agamanya itu, beberapa di antaranya menjadi menteri, anggota DPR RI, DPD RI, MPR RI dan pejabat birokrasi lainnya, sampai sekarang.
Kelanjutannya, pada persidangan 25 Mei 1950, selain mendeklarasikan berdirinya DGI, peserta persidangan pun bersepakat dan berketetapan hati untuk mendirikan apa yang disebut ketika itu Christelijke Universiteit (Universitas Kristen). Tidak lama setelah itu, Sekretaris Umum DGI, Ds. W.J. Rumambi mengeluarkan semacam resolusi berdirinya Universiteit Christen/Universitas Kristen. Ketua Umum perdana DGI adalah Prof. T.S.G. Mulia. Menanggapi resolusi dimaksud, Gereja-gereja di seluruh Indonesia mengumpulkan persembahan/kolekte dan mengirimkannya ke DGI. Suatu ketika almarhum Pdt. Tjakraatmadja bercerita kepada Penulis bahwa persembahan yang terkumpul itulah yang dijadikan “modal awal” mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Di sisi lain dari itu, DGI membentuk tim/panitia, yang dipimpin oleh Prof. I.P. Simanjuntak – yang memusatkan perhatian pada kegiatan mempersiapkan Universitas Kristen itu dengan membuka kursus-kursus yang dibutuhkan para kaum muda pada masa itu.
Tidak hanya sampai di situ, pada tahun 1953, Badan Pekerja Lengkap DGI (BPL DGI) melanjutkan kerinduan itu dan menetapkan berdirinya Yayasan Universitas Kristen Indonesia (Yayasan UKI). Selanjutnya menugasi 3 (tiga) orang pengurusnya, Prof. T.S.G. Mulia, Drs. Benjamin Tomas Philips Regar dan Mr. Yap Thiam Hien (dalam kapasitas sebagai mandataris Gereja-gereja melalui BPL DGI; bukan pribadi lepas pribadi), untuk mendaftarkan Yayasan UKI kepada Notaris R. Kadiman. Terbitlah Akte Notaris No. 117, Juli 1953. Kemudian pada 15 Oktober 1953, UKI resmi dibuka dengan beberapa fakultas dengan 38 orang mahasiswa yang terdiri dari beragam etnis/suku dan agama, dari wilayah Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia.
Prof. T.S.G. Mulia, Drs. Philips Sigar dan Mr. Yap adalah aktivis gerakan oikumenis yang melegenda sepanjang sejarah. Seorang di antara mereka bertiga berasal dari Indonesia bagian Barat, seorang dari Indonesia bagian Timur dan seorang dari Jakarta. Perpaduan yang sungguh-sungguh oikumenis dan nasionalis.
Universitas Kristen Indonesia (UKI) didirikan dengan tujuan: 1) mencerdaskan kehidupan bangsa; 2) membangun dan membarui keesaan Gereja, sebagaimana tercantum dalam AD-nya yang pertama. Sampai tahun 1990-an, dalam struktur organisasi Yayasan UKI selalu ada representasi DGI/PGI. Namun kemudian, setelah itu, Yayasan UKI “tidak ada hubungan lagi” dengan PGI. Tentu apa pun yang terjadi fakta historis yang diuraikan di atas tidak begitu saja dilupakan. Jika Tuhan berkenan, Tuhan yang adalah Pemilik PGI dan UKI, pastilah ada waktu “menoleh ke belakang” dan mempercakapkan ulang tentang tali-temali kedua lembaga itu. Karena itu, sudah saatnya kepemilikan Yayasan UKI dikembalikan kepada PGI dan Sinode Gereja-gereja yang mendirikannya. Bagaimana caranya tiba pada pengembalian itu, adalah “pekerjaan rumah” bagi MPH/MPL PGI dan Yayasan UKI?
Motto UKI adalah “Melayani Bukan Dilayani” sebagaimana dirumuskan oleh Pdt. Dr. R. Soedarmo pada 1962. Motto itu memandu dan memadu UKI sepanjang sejarah. Motto itu menciptakan common-grace bagi Keluarga Besar UKI dalam hubungan dengan.Gereja-gereja, Pemerintah, dan masyarakat umum lainnya. Tentu ada masa di mana UKI dibilang jaya, dan ada pula yang disebut tidak lagi sejaya dahulu, walau harus diakui masih ada fakultas-fakultas yang dimilikinya yang dinilai unggul. Jika berkata jujur, “adik-adik” UKI (perguruan-perguruan tinggi Kristen yang lahir kemudian) kini sudah jauh lebih jaya daripada UKI. Beberapa di antaranya yang bernaung di dalam wadah BK-PTKI (Badan Kerjasama-Perguruan Tinggi Kristen di Indonesia) sudah diakui sebagai perguruan tinggi Kristen yang terpercaya, berwibawa dan admired, ada yang tergolong 50 perguruan terbaik di Indonesia. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, UKI pun dapat tergolong 10 besar perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Ya, terbaik!
Sebagaimana diungkapkan di muka, pada kedua persidangan itu, tahun 1949 dan tahun 1950, mengenai Universiteit Christen/Universitas Kristen sudah dibicarakan. Dihitung dari sejak persidangan tahun 1949, embrio berdirinya UKI, UKI sudah berumur 70 tahun. Pada perayaan ulang tahun ke-70 pada tahun 2020 nanti, UKI pun, dalam kebersamaan dengan PGI, akan merayakan ulang tahun ke-70. Begitu juga semua perguruan-perguruan tinggi Kristen di Indonesia. Itu tadi, pada persidangan tahun 1950 DGI dimaksud embrio lahirlah Universiteit Christen / Universitas Kristen. Dies Natalis UKI ditarik dari pembukaan perdana UKI, 15 Oktober 1953.
UKI sebagai perguruan tinggi swasta tertua di Indonesia (tertua, demikian almarhum DR. T.B. Simatupang, Ketua Yayasan UKI berkali-kali menegaskan) mestinya sudah seperti UI (Universitas Indonesia) – yang kelahirannya tidak terlalu jauh berbeda dari UKI. Seperti UI dalam perkembangan dan nama baiknya. UI dan UKI sama-sama produk Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD Negara RI Tahun 1945. Bedanya adalah UKI adalah UI yang di tengahnya ada K. Bahasa okemnya UI adalah “anak kandung negara” sedangkan UKI lahir dari rahim kebangsaan dan kekristenan. Maaf, seandainya saya Pak Jokowi, pada periode kedua sebagai Presiden RI, saya dalam kebersamaan dengan PGI akan mendukung UKI untuk bangkit membangun dirinya menjadi sama seperti UI. Semoga!
Setelah UKI didirikan, Universitas Kristen lainnya pun berdiri, antara lain UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga (pada awalnya perguruan tinggi pendidikan guru) dan Universitas HKBP Nommensen di Medan/Pematangsiantar. Sewaktu penulis bertugas sebagai Direktur Eksekutif BK-PTKI pada 1990-an, anggota BK-PTKI sudah hampir 40 yayasan perguruan tinggi Kristen, antara lain di Medan, Palembang, Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, Kupang, Palangkaraya, Tomohon, Ambon dan Jayapura. Sekarang jumlahnya tentu lebih banyak lagi. Semoga semakin banyak baik secara kuantitas maupun secara kualitas!
PGI pun berjuang untuk mewujudkan tujuan DGI didirikan, Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Tentu tidak lagi bentuk keesaan itu, tetapi terutama implementasi keesaan itu, gerakan oikumenis itu dalam implementasi kekiniannya. Tanpa mengurangi hormat pada para pendahulunya, prestasi MPH PGI pada periode ini yang dinakhodai Pdt Dr Henriette Lebang sebagai Ketua Umum dan Pak Gomar Gultom, M.Th sebagai Sekretaris Umum patutlah dikenang sepanjang masa melalui Grha Oikumene yang berdiri megah di jantung ibukota. Tentu menyusul kemudian prestise lainnya sebagai lembaga gerejawi aras nasional dan pusat pengkaderan warga Gereja, PGI yang mencerdaskan kehidupan bangsa!
Benar apa yang menjadi feeling Ds. G.H.M. Siahaan, ketika itu sebagai Ompu i Ephorus HKBP, bahwa keesaan Gereja bukan harus dalam bentuk “kesatuan mangga” (satu sinode), tetapi bisa keesaan Gereja dalam bentuk “kesatuan jeruk” (beragam sinode dalam satu semangat keesaan). Maka Ds. G.H.M. Siahaan mengatakan dalam salah satu Sidang Raya PGI: “HKBP berterimakasih atas kesepakatan bentuk keesaan Gereja (semacam satu sinode; penulis), tetapi kami/HKBP akan membicarakannya lebih dahulu dalam Sinode Godang HKBP”. Jadi bukan bentuknya, tetapi hakikat dan makna kehadirannya, itu yang terpenting.
Jadi setiap kali PGI merayakan ulang tahunnya-seperti hari ini, menurut penulis, hari ulang tahun PGI dimaksud adalah juga hari ulang tahun perguruan tinggi Kristen di Indonesia, yakni UKI beserta saudara-saudaranya.
Spirit yang mendorong berdirinya UKI (dan perguruan tinggi Kristen lainnya) adalah spirit yang dimiliki para Pimpinan Sinode yang bersidang tahun 1949 dan tahun 1950, yakni spirit kekristenan yang oikumenis dan Injili (berpusat pada Tuhan Yesus Kristus, berdasarkan Alkitab dan inti ajarannya Kasih Agape) dan spirit kebangsaan Indonesia yang nasional dan patriotis (mempertahankan dan setia pada NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan dalam semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Komitmen awalnya adalah menyiapkan para cendekiawan untuk mengisi kemerdekaan RI dan hal itu nyata sampai sekarang. UKI adalah perguruan tinggi swasta tertua yang sejak awal kemerdekaan sudah mendedikasikan dirinya untuk Indonesia Raya dan peradaban manusia. Berapa ribu, berapa puluh ribu, berapa ratus ribu atau berapa juta para alumnus perguruan tinggi Kristen di Indonesia yang telah hadir di republik ini? Pertanyaan ini merupakan hal yang patut digumuli terus-menerus. Alumninya berasal dari berbagai agama, suku dan bangsa. Puan dan tuan! Apakah sudah ada penelitian akurat tentang hal itu? Sebelumnya sudah ada perguruan tinggi Kristen di Nusantara ini. Sangat disayangkan bahwa kehadirannya tidak dicatat oleh negara sebab kita tidak menemukannya dalam buku Sejarah Nasional pada Bab IV/V. Barangkali para cendekiawan Kristen harus mengajukan koreksi terhadap isi buku sejarah tersebut dalam kerangka akurasi fakta dan data dan demi kesinambungan pemikiran bagi generasi penerus.
Merayakan dan menghayati bertambahnya usia PGI juga patut diisi samadhi tentang visi, misi, dan hakikat perguruan tinggi Kristen di Indonesia agar tidak terbelenggu oleh rutinitas semu akibat regulasi dan globalisasi.
Sembari menyuarakan pekik Dirgahayu PGI, dirgahayu pula UKI dan perguruan-perguruan tinggi Kristen di Indonesia, saya mencatatkan kesaksian Alkitab, I Korintus 12:31 “Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama (excelent way) lagi”. Kesembilan karunia itu sudah dimiliki, tetapi jalan yang lebih utama itu perlu dimiliki dan diterjemahkan dalam praxis di lapangan dan dalam manajemen organisasi, yaitu Kasih!
Jakarta, 25 Mei 2019
Syalom/Horas!
Jerry Rudolf Sirait,
Warga HKBP, Aktivis gerakan oikumenis, pensiunan UKI.
Kini Ketua Pengawas Nasional BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta), aktivis Batak Center dan Sekretaris Dewan Pengawas MUKI (Majelis Umat Kristen di Indonesia).