JAKARTA, DanauToba.org – Tutup TPL. Itulah slogannya. Hari-hari terakhir ini menguat desakan publik untuk menutup pabrik pulp dan mencabut hak penguasaan hutan PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk. Hal itu terpicu dari tindakan kekerasan yang dilakukan karyawan TPL terhadap masyarakat adat Natumingka.
TPL, dulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) sudah 30 tahun lebih. Sudah banyak konflik pertanahan dan konflik sosial yang terjadi. Sepanjang waktu itu banyak desakan agar perusahaan ini ditutup. Terutama karena kasus perampasan tanah ulayat dan kerusakan ekologis (hutan) yang ditimbulkan.
Sejak dari awal memang pemberian ijin terhadap perusahaan ini sudah bermasalah. Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dan ahli lingkungan Prof. Otto Sumarwoto sangat menentang. Alasannya, hutan di kawasan Toba itu hutan alam yang berada di tebing-tebing dan lembah curam, yang mudah kritis dan mengancam lingkungan Danau Toba. Namun, Menristek B.J. Habibie mendukung. Habibie mendukung tentu karena petunjuk atasannya. Siapakah yang bisa menentang Soeharto saat itu?
Ada kesalahan fatal lain yang tidak disadari. Hutan di tanah Batak bukan luasan hutan kosong seperti di Riau, Jambi, Kalimantan, dan daerah lain. Banyak bagian dari hutan, atau sekitar hutan merupakan tanah ulayat marga-marga, bagian dari huta-huta (kampung), yang sudah dikuasai dari generasi ke generasi. Hak tenurial (pertanahan) ini merupakan hukum positif dalam masyarakat adat Batak, bahkan diakui juga oleh pemerintah Belanda.
Tak heran kalau terjadi banyak konflik. Tetapi sayang, nasi sudah jadi bubur, dan bubur harus dimakan. Indorayon terpaksa melakukan segala upaya untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi. Biaya sosial Indorayon/TPL pasti sangat tinggi, karena banyaknya konflik itu. Sukanto Tanoto dan anak-anaknya pasti tahu dan sadar hal itu.
Baca juga: Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL Siap Menyelamatkan Tanah Batak
Jadi, saya berharap, semua pihak yang sekarang menyatu kembali mendesak penutupan TPL mengemukakan alasan-alasan rasional itu sebagai dasar tuntutan. Ada kesalahan yang harus dikoreksi. Hutan-hutan di Tanah Batak perlu dikembalikan untuk pemulihan lingkungan dan menyelamatkan Danau Toba. Jadi bukan sekadar berseru-seru dengan kalimat sloganistik. Pakai akal sehat, data/fakta, dan alasan-alasan (reasons) yang rasional.
Anak-anak Sukanto Tanoto yang sekarang memimpin grup perusahaan Garuda Mas/Golden Eagle generasi lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi. Mestinya mereka lebih bisa menimbang untung rugi dan salah benar dengan rasional juga.
Ketika saya mempos tulisan tentang rencana 3 teman berjalan kaki dari Porsea ke Jakarta untuk meminta Presiden Jokowi menutup TPL, seorang teman FB yang mantan Direktur BUMN dan Komisaris Independen salah satu BUMN mengatakan TPL tidak membayar pajak karena rugi, sambil membagikan link Annual Report TPL 2019.
Nah, marilah berusul dengan akal seperti ini. Para ahli keuangan dan saham cobalah jelaskan, bagaimana perusahaan yang sudah go public, sudah berjalan 30 tahun lebih, laporannya bisa rugi dan tidak membayar pajak? Kayaknya sederhana ya? Bisa aja biaya-biaya dialihkan ke kegiatan (rekayasa) yang non-obyek pajak. Kalau mayoritas saham dimiliki perusahaan (single majority) dari luar negeri, Indonesia tidak bisa apa-apa. Padahal perusahaan luar negeri itu mungkin punya pemilik TPL juga. Bagaimana persisnya? Ayolah, para ahli keuangan, coba jelaskan.
Cobalah, para ahli lain, menjelaskan kerugian jalan raya yang tiap hari dilalui truk pengangkut kayu yang overload. Cobalah teman-teman LSM membuat daftar konflik sosial dan kriminalisasi masyarakat adat yang terjadi sejak 1990-an. Mari berbicara dengan akal, dengan alasan salah dan benar, serta untung dan rugi. Jangan dengan okol, dengan ngotot dan mengencangkan urat otot. Tak akan terlawan! Perusahaan raksasa memiliki uang tak berseri, dan didukung kuasa-kuasa tingkat dewa. Itu akal juga.
Ketika Togu Simorangkir mengumumkan ke publik akan melakukan aksi jalan kaki, seseorang bermarga Sitorus memposting di medsos 5.000 orang akan jalan kaki mendatangi Togu. Togu mengirim screenhot postingan itu ke saya (lihat gambar di atas). Togu sih orang gila (bukan karena dia mengurusi orang dengan gangguan jiwa/ODGJ di kota Siantar). Dia bilang akan menyambut 5.000 orang itu dengan tuak takkasan. Dasar Togu.
Bagaimana akalnya? Seorang teman yang bekerja di pabrik pulp & paper besar seperti TPL di Riau mengatakan, tidak mungkin karyawan TPL 5.000 orang. Sebab, setahunya pabrik TPL cuma 1 line. Di pabrik yang 11 line di Riau, karyawannya sekitar 6.000 orang. Jadi logisnya, karyawan TPL itu sekitar 500-600 orang.
Ini akal. Perkiraan dan alasan rasional. Jadi kalau marga Sitorus itu bilang ada 5.000 orang yang akan jalan kaki ke tempat Togu, itu bohong. Nanti tuak takkasan yang disediakan Togu bisa tidak habis. Itulah akal, bukan? Jadi, marilah menyampaikan aspirasi dan alasan dengan akal. Jangan dengan okol.
Penulis: Nestor Rico Tabun