Danautoba.org — TPL (PT Toba Pulp Lestari, Tbk) melaporkan seorang petani buta huruf atas tuduhan merampas lahan tanah konsesinya ke Pengadilan Negeri Balige. Siapa sebenarnya yang maling? TPL-kah atau petani miskin yang buta huruf? Jangan-jangan TPL cuma berteriak maling teriak maling.
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) sangat heran melihat kelakuan TPL yang makin merajalela. Koq TPL suka-sukanya menindas rakyat kecil dan miskin. Tidak kali ini saja TPL berteriak maling teriak maling, sudah banyak korban akibat ulah TPL. Masih saja TPL berteriak maling teriak maling. Lagu lama ia mainkan lagi.
Ketua Umum YPDT Maruap Siahaan meresahkan kehadiran TPL di Kawasan Danau Toba (KDT) seperti penjajah baru yang menggunakan negara merebut milik rakyat. Masyarakat resah karena ada dugaan negara merampas milik masyarakat dan menyerahkannya kepada TPL.
“Tim YPDT akan terus menggalang kekuatan pubik untuk menghentikan TPL yang merusak lingkungan hidup,” pungkas Maruap.
Baru-baru ini, berita dari Kanal YouTube Toba TV menyiarkan liputan persidangan seorang petani buta huruf bernama Dirman Rajagukguk di Pengadilan Negeri Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Kamis (6/10/2022). TPL telah melaporkan Dirman merampas atau menyerobot lahan tanah konsesi TPL kepada pihak berwajib.
Dirman Rajagukguk merasa bahwa lahan tanah tersebut adalah tanah milik keluarganya yang sudah mereka kelola puluhan tahun sebelum ada TPL (dulu Indorayon), bahkan sebelum ada negara Indonesia. Kebanyakan tanah di KDT adalah tanah masyarakat hukum adat. Tanah tersebut biasanya turun ke tangan ahli waris marga.
Dirman Rajagukguk adalah salah satu yang mendapatkan kepercayaan dari marganya untuk mengelola lahan tanah warisan mereka untuk pertanian. Rata-rata masyarakat Kecamatan Habinsaran di mana Dirman tinggal, hidup dari lahan tanah warisan dari keturunan marganya.
Wajar saja Dirman dan seluruh keluarganya mempertanyakan TPL. Mengapa TPL ngaku-ngaku bahwa tanah warisan mereka sudah beralih penguasaannya ke TPL? Apalagi TPL mengaku bahwa mereka pengelola lahan tanah tersebut karena pemerintah sudah mengonsesikan tanah tersebut. TPL terkesan sok jagoan dan tidak mau ambil pusing ribut-ribut soal tanah konsesi tersebut. Sebenarnya Pemerintah Pusat harus turun tangan mengatasi masalah ini.
Akibat pelaporan TPL terhadap kasus lahan tanah tersebut, Majelis Hakim memvonis Dirman Rajagukguk kena hukuman kurungan 3 tahun dan denda Rp1,5M. Jika Dirman tidak mampu membayar denda tersebut, ia mendapat tambahan kurungan 3 bulan.
Terhadap keputusan tersebut, masyarakat adat dari Kecamatan Habinsaran dan keluarga terdakwa menduga TPL telah menyuap Majelis Hakim. Hal tersebut jelas dapat kita dengar dari rekaman video di Kanal YouTubenya. Bahkan Elfida Rajagukguk, puteri (boru) dari Dirman Rajagukguk, menganggap Majelis Hakim tidak adil memutuskan perkara ini. Malah secara emosional Elfida berteriak: “Mereka melebihi si Sambo, sedangkan isteri si Sambo saja tidak mereka tahan.” Ini sebuah luapan kekecewaan Elfrida atas kerja Majelis Hakim yang tidak profesional.
Lebih lanjut, Elfrida berkomentar bahwa bapaknya tidak pernah merampas atau menyerobot tanah siapapun. Bapaknya hanya bertani di lahan tanah warisan dari ompungnya (kakeknya) bukan merampas atau menyerobot tanah orang lain apalagi tanah konsesi yang TPL ngaku-ngaku. Dengan tegas dan jelas, Elfrida Rajagukguk berteriak: “TPL mengkriminalisasi masyarakat.” Jadi Elfrida bukan berteriak maling teriak maling seperti TPL.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Topan Ginting menyatakan akan banding terhadap putusan Majelis Hakim. Menurut Topan, kliennya hanya mempertahankan tanah miliknya dari warisan orangtuanya seluas 5 rante. Justru pihak TPL yang telah merampas tanah mereka menurut pengakuan pihak keluarga terdakwa. Jadi sekali lagi siapa sebenarnya yang maling?
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan