DanauToba.org – Surat Terbuka ini isinya sebagai berikut:
Assalamualaikum, Bapak Presiden!
Horas!
Pertama sekali, saya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Bapak Presiden. Panjang umur, Bapak Presiden. Semoga Allah Maha Pengasih memberi kesehatan kepada Bapak Presiden dan keluarga. Bapak diberi kejernihan hati dan pikiran, serta kekuatan dalam memimpin Pemerintahan negara yang kita cintai ini. Amin.
Saya seorang wartawan yang sudah purnatugas dari instansi media. Alhamdulillah, meski cuma wartawan bersahaja, memegang kartu Wartawan Utama dari Dewan Pers. Pasca purnatugas, dipercaya jadi dosen kompetensi jurnalistik di Jurusan Tekonologi & Grafika, di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), di Kampus UI, Depok.
Ini kedua kali saya menulis surat terbuka kepada Bapak Presiden. Pertama, ketika terjadi konflik berdarah di Tolikara, Papua, beberapa tahun lalu. Sejak lama saya memberi perhatian pada jurnalisme advokasi dalam persoalan toleransi, minoritas, disabilitas, dan konflik masyarakat adat. Saya selalu amat sedih jika terjadi insiden yang menelan korban jiwa di negeri kita tercinta ini.
Surat kedua ini menyangkut persoalan lingkungan dan konflik sosial di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, tempat asal leluhur saya. Saya, dan masyarakat di Kawasan Toba sangat berharap Bapak Presiden bisa memberi perhatian, ditengah kesibukan dan tanggung jawab kenegaraan yang banyak dan berat.
Hari ini merupakan hari ke-8 tiga aktifis lingkungan Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung, Irwandi Bang Rait melakukan aksi jalan kaki dari Balige (Toba) menuju Jakarta. Mereka ingin menemui Bapak Presiden, untuk meminta perusahaan pabrik pulp Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup.
PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), dulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU), adalah perusahaan pabrik pulp yang mendapat hak penguasahaan hutan (HPH) sekitar 170.000 hektar (awalnya 260.000 hektar) di Kawasan Danau Toba (KD). Sejak awal masyarakat KDT menilai pemberian ijin pabrik dan HPH itu sebuah kekeliruan dan menentang, karena:
1. Hutan di Kawasan KDT adalah hutan alam yang berada di bentukan alam bergunung berlembah (bukan hamparan datar) di sekitar Danau Toba, yang sangat rawan gundul dan longsor.
2. Hutan-hutan tersebut sangat dibutuhkan untuk sumber air bagi kehidupan, pertanian, dan suplai air untuk Danau Toba.
3. Hutan-hutan dan tanah di Kawasan Danau Toba mayoritas tanah ulayat milik huta-huta (kampung) dan marga-marga yang sudah menjadi hukum positif tenurial (pertanahan) dalam masyarakat Batak selama puluhan generasi, beratus-ratus tahun.
4. Pemberian HPH kepada TPL tidak melalui pemetaan dan penetapan batas-batas.
5. Industri pubrik pulp adalah jenis industri “kotor” yang tidak seharusnya berlokasi di hulu.
Operasi Inti Indorayaon Utama mendapat tentangan dari banyak kelompok masyarakat adat (marga) yang hutan dan tanah ulayatnya ditebangi kemudian ditanami eukaliptus. Tentangan itu sempat menimbukan unjuk rasa besar. Tapi kemudian mereda, menyisakan persoalan-persoalan kelompok masyarakat yang tak kunjung terselesaikan sampai sekarang.
Konflik terakhir terjadi antara masyarakat adat (marga) di Natumingka, Habinsaran, Kabupaten Toba dengan pekerja TPL yang ingin melakukan penanaman eukaliptus. Mereka saling lempar batu. Sedih rasanya, kejadian “primitif” seperti itu terjadi di negeri kita yang berdasarkan hukum dan ajaran Pancasila ini.
Tiga saudara kita aktifis merasa konflik sosial dan kerusakan ekologis yang ditimbulkan TPL di Kawasan Danau Toba sudah saatnya dihentikan, demi lingkungan dan kehidupan masyarakat Kawasan Danau Toba saat ini dan dimasa mendatang. Karena itulah Togu Simorangkir dan dua temannya berkeras hati menemui Bapak Presiden.
Bapak Presiden Joko Widodo yang baik,
Bapak Presiden sudah mengenal Togu Simorangkir. Bapak pernah mengundangnya ke Istana Negara bersama aktifis-aktifis rumah belajar (literasi). Togu Simorangkir adalah pendiri dan penggerak Yayasan Alusi Tao Toba, yang mendirikan sopo-sopa belajar di pelosok-pelosok Pulau Samosir. Bapak Presiden menyumbangkan satu sopo belajar berupa bangunan bambu bertingkat (dan 2 bangunan homestay) untuk Alusi Tao Toba, di Pusat Pelatihan Lingkungan Hidup (PPLH), di Lumban Sitiotio, Lontung, Samosir.
Bapak Presiden pastilah sudah mendengar informasi tentang integritas cicit Pahlawan Nasional Raja Si Singamangaraja XII ini (neneknya, ibu dari bapaknya, Poernama Rea Boru Sinambela, adalah putri bungsu Raja Si Singamangaraja XII). Dia 2 kali merenangi Danau Tona untuk mencari dana bagi sopo-sopo belajar di Samosir. Ia berjalan kaki 300 kilometer lebih, mengelilingi Danau Toba untuk mencari dana operasi untuk 2 kapal belajar. Ia menyantuni dan mengurusi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di kota Pematang Siantar. Juga berbagai kegiatan sosial dan lingkungan yang lain.
Togu Simorangkir orang biasa yang berjiwa besar. Sementara dua yang menemaninya adalah aktifis sosial dan lingkungan yang terharu dan ingin menemani Togi Simorangkir.
Bapak Presiden yang baik,
Menurut saya tak seharusnya orang-orang biasa, orang baik, kita biarkan “menyiksa diri” menemui Bapak untuk tujuan baik seperti ini. Ada DPRD-DPRD dan DPR, ada pimpinan-pimpinan pemerintahan, dari Bupati hingga Menteri. Tak seharusnya, begitu banyak orang, seperti dikatakan orang-orang tua (maaf): bermata tapi seperti tidak melihat, bertelinga tapi seperti tidak mendengar, dan memiliki mulut tapi tidak mau berbicara.
Karena itu, Bapak Presiden Joko Widodo, HENTIKANKANLAH aksi jalan kaki untuk menemui Bapak Presiden itu. Bapak Presiden TEMUILAH, atau SURUH ORANG YANG TEPAT untuk menemui mereka dan mendengar apa yang ingin mereka sampaikan. Selebihnya, keputusan ada di tangan Bapak Presiden. Tapi yang terpenting Bapak Presiden sudah melakukan tindakan empati yang MANUSIAWI.
Sekedar sumbang pemikiran dari saya yang sederhana ini, barangkali Bapak Presiden perlu menyuruh untuk mencek kebenaran beberapa hal berikut ini:
1. Tanaman ekaliptus adalah tananam monokultur yang menghilangkan flora dan fauna endemik Kawasan Danau Toba. Banyak tanaman endemik, anggrek hutan, dan sebagainya yang hilang. Sementara bahkan burung dan monyet pun tidak bisa hidup di hutan ekaliptus.
2. Tanaman ekaliptus menghisap air tanah dengan rakus untuk pertumbuhannya. Karena itu sungai-sungai di kawasan yang ada hutan ekaliptus mengecil, bahkan mongering. Sementara kalau curah hujan tinggi jadi banjir (belum lama terjadi di Parapat).
3. Pemerintah RI sudah menetapkan Kawasan Danau Toba sebagai Kawasan Destinasi Wisata Unggulan. Selain sarana dan prasarana pariwisata, Danau Toba membutuhkan hutan alam yang luas untuk menyuplai air. Permukaan air Danau Toba yang terus menyusut seperti yang terjadi dekade terakhir ini akan mengurangi keindahan Danau Toba dan membahayakan PLTA Sigura-gura dan Tangga, pembangkit listrik milik Inalum.
4. Dalam kondisi perubahan cuasa bumi yang tidak menentu dan kehadiran pandemic Covid-10 masyarakat Kawasan Danau Toba membutuhkan tanah untuk menjamin kedaulatan pangan (bukan sekedar ketahanan pangan) dan menyerap tenaga kerja.
5. Menurut analis keuangan, Laporan Akhir Tahun 2019, PT Toba Pulp Lestari Tbk. merugi, atau tidak untung. Berarti tidak membayar pajak. Menurut laporan tersebut juga tenaga kerja tetap TPL sekitar 600 orang dan tenaga lepas tetap 400-an orang. Perusahaan yang merugi, dengan jumlah pekerja sedikit, tapi menimbulkan kerugian ekologis dan sosial besar, akal sehatnya rasanya perlu dihentikan. Lepas dari suka atau tidak suka.
Bapak Presiden Joko Widodo,
Itu semualah yang ingin saya sampaikan. Terimakasih atas perhatian Bapak Presiden. Mohon maaf telah mengganggu waktu dan kesibukan Bapak Presiden. Semoga Allah selalu menyertai
dan memberi kekuatan kepada Bapak Presiden dalam mengemban tugas pemerintahan yang diamanatkan rakyat. Amin.
Salam hormat,
Nestor Rico Tambunan
Depok
Foto:
1. Presiden Joko Widodo dan Togu Simorangkir, ketika Presiden mengundang para pegiat literasi/rumah belajar ke Israna (koleksi Togu).
2. Bangunan sopo belajar hadiah Presiden Joko Widodo untuk sopo belajar Alusi Tao Toba di PPLH Lontung (koleksi Nestor).
3. Togu dengan kaos bergambar Raja Si Singamangaraja XII (koleksi Togu)
4. Togu dan teman berjalan kaki dari Balige menuju Jakarta (koleksi Tim 11)