SAMOSIR, DanauToba.org ― Sidang ketiga Kasus Penganiayaan (baca: Pengeroyokan) dua aktivis lingkungan hidup Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) digelar pada Kamis (21/2/2019) di Pengadilan Negeri (PN) Balige Cabang Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kasus penganiayaan di lokasi tambang batu Silimalombu, Samosir, milik terdakwa JS tersebut masuk pada agenda mendengarkan keterangan Saksi Korban, Jhohannes Marbun (Sekretaris Eksekutif YPDT).
Majelis Hakim menyidangkan 1 (satu) orang terdakwa berinisial JS. JS didakwa karena telah menganiaya Sebastian Hutabarat (Pengurus YPDT Perwakilan Toba Samosir) dan Jhohannes Marbun (JM). Kasus Penganiayaan tersebut terjadi pada 15 Agustus 2017 lalu atau 1,5 tahun setelah kejadian.
Menurut keterangan Saksi Korban JM bahwa pelaku penganiayaan bukan hanya 1 orang, yaitu: JS. Pelakunya lebih dari 1 orang ujar Saksi Korban saat memberi keterangan di hadapan Majelis Hakim. Sangat disayangkan, sepertinya keterangan tersebut tidak dikembangkan oleh Majelis Hakim dan sebaliknya malah membatasi satu terdakwa saja, yaitu: JS.
Tentu hal tersebut tidak memuaskan Saksi Korban karena keterangannya tidak dipertimbangkan Majelis Hakim. Ditemui secara terpisah, Sandi Situngkir, SH, MH, Kuasa Hukum YPDT dalam Tim Advokasi Perlindungan Masyarakat Danau Toba (TAPMADATO) yang menangani kasus penganiayaan 2 orang aktivis tersebut menegaskan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa JS kena Pasal 170 KUHP jo Pasal 351 KUHP. Pasal 170 KUHP sangat jelas menyatakan tindak pidana dilakukan secara bersama-sama, yang mengandung makna tersangkanya ada 2 orang atau lebih, sementara dalam perkara ini Jautir Simbolon hanya seorang diri.
“Sidang ini layaknya Melodrama. Ada dugaan sandiwara Hukum antara Jaksa, Pengacara Terdakwa, dan Majelis Hakim. Dalam perkara ini Jaksa sengaja bertindak tidak profesional karena membuat Dakwaan Pasal 170 KUHP sementara Terdakwa hanya satu orang yaitu, JS. Pengacara sengaja tidak mengajukan Eksepsi atas Surat Dakwaan, meskipun mengetahui ada ruang yang salah untuk membatalkan surat dakwaan,” ujar Sandi.
“Andaikan Pengacara mengajukan demi hukum pasti dikabulkan dan JS akan keluar dari penjara. Hakim selalu beralasan Pengadilan hanya mengadili sesuai Berkas Perkara yang sudah diserahkan penuntut umum. Sementara korban dan pengacara korban hanya bisa teriak-teriak. Kata Krimonolog Mulyana W Kusuma, Hukum dan Keadilan hanya miliki orang yang dekat dengan uang dan kekuasaan. Jadi kalau pengacara terlihat seperti mengatur dan memaksa dapat diduga itu bagian dari melodrama,” lanjut Sandi.
“Jaksa Agung Muda (Jamwas) Kejagung dan Komisi Kejaksaan RI harus memeriksa JPU dalam Perkara ini. Kalau Jamwas dan KomJak RI juga tidak menindak, itu pertanda semakin menipisnya keadilan bagi rakyat. Dari awal penanganan kasus ini sejak dari Kepolisian ada dugaan ada Sutradara yang mengatur. Karena bagaimana mungkin Polisi menerapkan Pasal 170 KUHP, sementara Tsk hanya satu. Kemudian Jaksa menyatakan Berkas Lengkap atau P21,” tambah Sandi.
Di sisi lain, pengacara terdakwa terkesan lebih ‘berkuasa’ atas sidang tersebut dibanding Majelis Hakim. Bahkan untuk dokumentasi video/foto yang dilakukan oleh wartawan tidak diperkenankan, termasuk anggota YPDT yang hendak mendokumentasi guna kepentingan yayasan. Ada apa dengan sidang tersebut?
Sidang dengan Nomor 10/Pid.B/2019/PN Blg ini dipimpin Majelis Hakim, antara lain: Paul Marpaung, S.H (Ketua), Azhary Prianda Ginting, S.H (Anggota), dan Hans Prayugotama (Anggota), S.H serta Rafika Surbakti, S.H sebagai Panitera Pengganti. Sementara, JPU yang hadir adalah Juleser Simaremare, S.H.
Pewarta: Humas YPDT