JAKARTA, DanauToba.org — Suku Batak sejatinya tidak mengenal jual-beli tanah, apalagi makelar tanah. Mengapa? Karena tanah bagi mereka sesuatu bangat, erat kaitannya dengan generasi. Orang batak jarang memikirkan diri-sendiri, tetapi lebih banyak dicurahkan untuk masa depan anak dan keturunannya.
Mereka bukannya tidak mampu makan enak, tetapi sengaja tidak makan daging atau ayam demi uang sekolah anaknya. Supaya anaknya dapat bersekolah (marsikkola).
Tidak adaya istilah jual tanah menjadi bukti aksioma ini.
Meskipun suatu keterpaksaan, pelepasan hak digunakan.diksi (istilah/pilihan kata) menerima “pagopago“, sebagai bahasa eufanisme dari peralihan hak atas tanah.
Peralihan di antara keluarga, karena adat tidak membolehkan tanah buat boru hasian, disebutlah “indahan naso ra buruk” atau istilah lainnya sesuai lokasi tanah.
Nah, jika ada justru orang Batak yang jadi makelar, secara keperdataan makelar dikenal di KUHP atau KUHD. Makelar dapat upah (fee).
Bagaimana dengan mafia tanah? Yang satu ini adalah pekerjaan tanpa bentuk. Ia tidak tampak mata, tetapi ada. Biasanya mafia tanah, ikut.campur dalam memperlancar transaksi hanya bisa membenarkan yang salah, atau menyalahkan yang benar. Pemerintah memerangi mafia ini. Pemalsuan surat, jadi lazim.
Kembali ke istilah orang Batak: jadi makelar, perlu dikritik dan dicermati. Jangan mengarah ke mafia. Contoh, ada tanah pertanian di atas Danau Toba, si Pinsur misalnya. Tanah 1 Ha sudah 5 Milyar dan dikuasai orang Jakarta. Entah siapa? Tidak jelas. Saya dengar sendiri.
Ini makelar atau kerjaan Mafia?
Referensinya bahwa menjual tanah pertanian dilarang UU. Absentee. Dilarang menjual tanah pertanian kepada orang di luar kecamatan. UU itu ingin memastikan ketersediaan tanah untuk kesejahtraan masyarakat kecamatan itu.
Yang dibolehkan menjual tanah adalah di tataruang pemukiman. Boleh saja orang Batak punya perumahan di Wamena misalnya. Kecuali KTP sudah ada di Kecamatan berkebumian, baru memenuhi syarat.
Demikian penjelasan ysng saya bisa disampaikan. Hal yang sama sudah pernah saya sampaikan di Kamisan YPDT tahun lalu dengan jargon jangan jual tanah (pertanian) di Kawasan Danau Toba.
Penulis: Ronsen Pasaribu (pemerhati pertanahan)
Editor: Boy Tonggor Siahaan