JAKARTA, DanauToba.org — Kehadirannya seolah melampaui “negara” dan “pemerintah”. Setelah kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk dengan “entitasnya” yang baru, kehadirannya dan karakternya “sama”. TPL sangat dominan dan seolah-olah bebas melakukan kehendaknya dengan label yang dipampang di depan pintu masuk areanya “Industri Strategis Nasional Dilindungi Pemerintah”. Mereka seolah terlindungi melebihi rakyat. PT TPL “lebih utama” dari sekitarnya, alam, dan manusia dan makhluk lainnya.
Jika PT TPL terlihat sebegitu kuat dan besar, sehingga dapat diibaratkan seperti identik dengan “Aparat”, “Politisi”, “Pemerintah setempat” bahkan “akademisi”. Karena semua mereka dianggap bagian yang melindungi PT TPL.
Selama 35 tahun lebih ada yang hilang dari diri kita semua. Masyarakat menjadi takut memberi pilihan obyektifnya dan tidak mampu membuka bibirnya menyuarakan isi hatinya. PT TPL mampu membisukan semua elemen termasuk pimpinan agama dan salah satunya Pimpinan Gereja, sehingga kehilangan kekuatan teologisnya menyuarakan Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan.
Ini adalah kebisuan dan kehilangan pengharapan. Ini adalah kegelapan dan kegagalan berekspresi. Ini kematian masa depan.
Pembunuhan bagian utama dari keindahan itu sendiri, yakni: Kemerdekaan dan kemampuan bersyukur atas karunia Tuhan dan sekaligus menandakan kemunduran derajat manusia. Hal itu tidak lagi mampu membuat pilihan dan tidak lagi memiliki keyakinan akan hal-hal yang baik dan benar. Bukankah ini kejahatan kemanusiaan?
Sejak berdirinya PT Inti Indorayon Utama (IIU) pada 26 April 1983, diawali tahun 1984 melaksanakan operasinya dan telah terbukti sarat dengan konflik dan kesalahan, mencemari lingkungan hidup, konflik sosial, dan penggembosan kekuatan adat-istiadat, sehingga pada 19 Maret 1999 Presiden BJ Habibie menutup sementara PT IIU.
Namun pada 10 Mei 2000, menteri Sony Keraf mengumumkan hasil sidang Kabinet 10 Mei 2000 yang memutuskan PT IIU dapat beroperasi kembali dengan hanya memproduksi PULP tidak dengan Rayon.
Prof Dr. Ir. Soemarwoto seolah tahu ini bakal menjadi musibah bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan. Ia menolak atas keputusan itu dan tidak bertanggung jawab atas akibatnya di kemudian hari.
Webinar kali ini akan membahas dampak kehadiran TPL sejak tahun 1984. Mari simak bersama. Apakah kita masih membisu?
Ketum YPDT
Maruap Siahaan