JAKARTA, DanauToba.org — Sebanyak 40 orang masyarakat adat tano Batak datang ke Jakarta meminta kepada Presiden Jokowi agar segera mencabut izin menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL). Mereka berasal dari Kabupaten Toba, Simalungun, Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, para korban dari TPL, dan gabungan organisasi masyarakat sipil di Provinsi Sumatera Utara dan seluruh Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) Tutup TPL. Mereka menyuarakan hal tersebut di kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Jakarta, Rabu (17/11/2021).
Komunitas adat berasal dari tano Batak kembali “berteriak” meneruskan “teriakan” nenek moyang (ompu) mereka atas tanah leluhur yang “dirampas” oleh pihak di luar mereka. Mereka melakukan perjalanan ke Jakarta untuk sekali lagi membawa dan menyampaikan aspirasi atas “penyerobotan” tanah leluhur mereka agar menjadi perhatian serius pemerintah. Selama puluhan tahun mereka menjadi korban dan mengancam kehidupan masyarakat adat di tanah mereka sendiri.
Sebelumnya aksi jalan kaki pada Agustus 2021 lalu belum ada respons aksi nyata pemerintah untuk menyelesaikan “perampasan” tanah sepihak terhadap tanah leluhur kami. Kami belum melihat komitmen dan keseriusan dari Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi untuk menyelesaikan konflik yang tengah kami hadapi selama puluhan tahun.
Kami adalah rakyat Indonesia yang sudah sejak lama nenek moyang kami menguasai tanah tempat kami hidup sebagai warisan tanah leluhur kami. Tanah Batak tersebut sudah ada sebelum Negara RI ada. Jadi kamilah yang berhak menguasai tanah leluhur kami bukan Pemerintah apalagi perusahaan seperti TPL. Sebaliknya, yang terjadi tindakan intimidasi dan teror yang terus dilakukan oleh TPL terhadap kami, warga pemilik dan penguasa tano (tanah) Batak.
Jadi kami meminta keseriusan Presiden Jokowi untuk segera menanggapi aspirasi kami, karena terlalu banyak kerusakan lingkungan dan praktek perampasan tanah dengan dalih klaim kawasan hutan yang telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat adat di tano Batak.
Kami mengenal TPL sejak bernama PT. Inti Indorayon Utama (IIU) yang dimiliki oleh pengusaha Sukanto Tanoto (Tan Kang Hoo). Sejak tahun 1982, perusahaan IIU telah masuk ke kampung kami dimulai dengan peta penunjukkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Hingga hari ini, yang kami tahu, dasar hukum TPL beroperasi telah dilakukan revisi sebanyak 8 (delapan) kali. Revisi kebijakan ini sangat berhubungan dengan luas area kerja TPL. Surat Keputusan terakhir yang mengatur TPL adalah SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020. Perubahan ini membuat luas area kerja TPL bertambah, menjadi 167.912 ha dan tersebar di kampung-kampung kami yang berlokasi di 12 kabupaten.
Selama kami amati, areal konsesi TPL merambah beberapa jenis kawasan hutan yang menurut kami sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum. Seperti area konsesi di dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar, dan di dalam Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar. Dari 188.055 hektar konsesi TPL, setidaknya 28% (52.668,66 hektar) adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK, dan APL.
Sebagaimana yang kami pelajari melalui UU Kehutanan sebelum terbitnya UUCK, bahwa TPL sesungguhnya memiliki 141.537 hektar area konsesi illegal karena berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), dan Area Penggunaan Lain (APL). Namun, yang sungguh membuat kami kecewa, pasca disahkannya UUCK, pelanggaran berat oleh TPL ini justru lolos secara hukum. Sebab, dalam UUCK telah mengubah aturan dimana Hutan Produksi Terbatas (HPT) digabungkan dengan Hutan Produksi Tetap (HP). Dengan kata lain, luas TPL menjadi bertambah secara legal. Padahal, hukuman atas tindakan ilegal sebelumnya belum dijatuhkan pemerintah.
Oleh karenanya, UUCK secara otomatis mengesahkan pelanggaran atas konsesi ilegal TPL. Dan kami sangat yakin sekali tentu ada banyak pelanggaran serupa yang dilakukan korporat di tempat lain yang kini menjadi benar secara hukum. Lebih parahnya, sudah jelas ilegal, TPL juga menebang kayu hutan alam seperti kayu kulim dan kempas dengan diameter lebih dari 30 cm di dalam HPT. Selain itu, sekitar 34.817 hektar konsesi TPL berada di daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) Danau Toba, dimana terdapat 55 sungai besar dan 3.039 anak sungai yang menjadi pemasok air untuk Danau Toba. Danau yang selama berabad-abad menjadi tumpuan kami hidup untuk anak cucu kami.
Sebagaimana pemaparan dan analisis di atas, kami dari Aliansi Gerak Tutup TPL menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk segera:
1. Menutup PT. Toba Pulp Lestari, karena sejak berdirinya korporasi ini tidak memberikan manfaat baik untuk Negara terlebih untuk rakyat sekitar area konsesi TPL. Pasalnya, TPL selalu melakukan pemangkiran pajak dengan melakukan pemalsuan pendapatan, seolah-olah mereka mengalami kerugian terus menerus.
2. Kami tidak menerima bentuk lobby atau negosiasi apapun terkait kasus ini, sebab hidup kami sudah susah, kami hanya ingin mengambil kembali hak hidup dasar yang telah terenggut.
3. Pemerintah atau pemilik perusahaan berhenti memanfaatkan Polisi dan Tentara untuk dijadikan alat kekerasan sehingga menciptakan citra buruk kedua institusi tersebut di mata masyarakat. Polisi dan Tentara seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan musuh rakyat.
4. Sudah saatnya pemerintah banting stir dalam model pembangunan yang terus merusak dan merugikan rakyat. Ini saatnya memikirkan nasib Indonesia ke arah yang lebih baik, bukan ke arah kehancuran.
5. Pejabat Negara (nasional dan daerah) sudah saatnya stop menggali kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa ada rasa puas dengan mengorbankan rakyat dan alam, sebab akan ada masanya segala kerusakan yang diciptakan oleh sikap yang tidak amanah akan dirasakan oleh semua umat manusia.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan