JAKARTA, DanauToba.org ― Pengurus Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) bertemu dengan Asisten Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Kemenko Maritim RI, Odo R.M. Manuhutu dan beberapa staf menyampaikan masukan terkait Sistem Keselamatan Transportasi di Perairan Danau Toba pada Rabu (28/11/2018) pagi, di Ruang Rapat Lt.7 Gedung Kemenko Maritim, Jakarta.
Ketua Umum YPDT, Drs. Maruap Siahaan, MBA dan Sekretaris Umum YPDT, Andaru Satnyoto, S.Ip., M.Si. mendelegasikan penyampaikan masukan YPDT tersebut kepada Ir. Alimin Ginting (Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional YPDT), Jhohannes Marbun, S.S., M.A. (Sekretaris Eksekutif YPDT), Laksma TNI (Purn) Drs. Bonar Leo Simangunsong, S.E., M.Sc. (Pengawas YPDT), Bindu Philip (Relawan AVI untuk YPDT, Tim Sadar Keselamatan Transportasi Air Danau Toba YPDT), Rio Batoan Pangaribuan, S.Kom (Tim Sadar Keselamatan Transportasi Air Danau Toba YPDT), Luhut Sagala (Tim Sadar Keselamatan Transportasi Air Danau Toba YPDT), dan Deacy Maria boru Lumbanraja (pemerhati Danau Toba). Alimin Ginting menginformasikan kepada pihak Kemenko Maritim atas ketidakhadiran Ketua Umum dan Sekretaris Umum YPDT karena pada saat bersamaan memiliki agenda lain di luar negeri dan di luar kota.
Pertemuan tersebut dilakukan merespons surat YPDT tentang pentingnya pembenahan menyeluruh terhadap sistem keselamatan transportasi air Danau Toba pasca tragedi tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun pada tanggal 18 Juni 2018 lalu dalam perjalanan dari Pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir menuju Pelabuhan Tiga Ras, Kabupaten Simalungun. JiKa kita melakukan kilas balik ke belakang, kecelakaan kapal transportasi di Danau Toba pernah selalu berulang terjadi pada tahun 1955 (korban meninggal 55 orang), 1986 ( korban meninggal 4 orang), 1987 (korban meninggal 23 orang), 1997 (korban meninggal sekitar 70 orang), 2013 (dinyatakan hilang 4 orang), dan 18 juni 2018 kapal motor sinar bangun tenggelam dengan korban 3 orang meninggal dunia dan 164 dinyatakan hilang. YPDT berharap peristiwa ini adalah peristiwa terakhir yang terjadi di kawasan perairan Danau Toba dan YPDT berkeyakinan bahwa sistem keselamatan transportasi yang handal di Danau Toba dapat diciptakan.
Mengawali pertemuan tersebut, YPDT telah menyampaikan pokok-pokok pikirannya mengenai keselamatan transportasi di Perairan Danau Toba diantaranya pertama, transportasi air menjadi bagian penting dan kata kunci Danau Toba sebagai destinasi pariwisata sebagai prioritas nasional. Oleh karena itu perlu didahului dengan memberdayakan kapal-kapal rakyat agar memenuhi standar keamanan dan keselamatan termasuk memberdayakan masyarakat di sekitar Danau Toba.
Kedua, membuat standarisasi untuk semua kapal angkut penumpang yang mengacu pada standar keselamatan secara nasional meliputidisain kapal, konstruksi, peralatan dan perlengkapan, pengoperasian, dankompetensi awak (kru) kapal.
Ketiga, memperjelas tanggung jawab dan aturan keselamatan di bidang pelayaran seperti ada satu badan nasional yang diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk pembuatan dan penataanstandar nasional otoritas keselamatan pelayaran. Demikian pula Instansi/Dinas/Badan/Lembaga lainnya di tingkat lokal/daerah dan nasional perlu diberikan alokasi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawabnya untuk menerbitkan izin, kepatuhan, dan penegakkan standar keselamatan pelayaran. Perlu adanya Syahbandar yang bertugas mengelola, mengatur, dan memberi izin otoritas perjalanan kapal termasuk di dalamnya tiket penumpang, kru, dan petugasyang diberi wewenang, termasuk tugas nahkoda dan awak (kru) kapal, serta hak dan kewajiban penumpang.
Keempat melakukan peningkatan Kepatuhan dan Penegakan Hukum atau aturan main, termasuk melakukan audit lokasi, pemberitahuan pelanggaran denda dan pinalti, pencabutan izin atau lisensi (kapal dan awak kapal), dan penuntutan. Pada era saat ini, teknologi informasi dapat dioptimalkan melalui penggunaan Online Single System (OSS) dalam hal perizinan/lisensi maupun kegunaan lain untuk alasan efektivitas dan efisiensi.
Kelima pentingnya melakukan kampanye sadar keselamatan untuk transportasi air di Kawasan Danau Toba yang dilakukan secara berkala dan tidak sekadar melengkapi segala fasilitas keselamatan, tetapi juga mengacu pada kearifan lokal masyarakat Batak seperti berperilaku sopan dan santun ketika berada di Danau Toba, termasuk dalam hal menjaga kebersihan dan keindahan Danau Toba sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup yang ada di sekitar Danau Toba sebagaimana menjadi filosofi lokal nenek-moyang orang Batak yang mengatakan Tao Na uli, Aek Natio, Mual Hangoluan atau danau yang indah, airnya jernih, sumber kehidupan.
Keenam, Perlunya pengelolaan ASDP yang selama ini dibawah tanggungjawab Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, direkomendasikan agar dibawah koordinasi dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk menghindari tumpang tindih kewenangan diantara keduanya.
Ketujuh pelibatan tokoh-tokoh marga di pinggiran Danau Toba dalam membangun infrastruktur pelabuhan/dermaga baik dengan cara menambah maupun memperbaiki yang sudah ada agar memenuhi standar keselamatan yang sama. Sebab pada umumnya, pelabuhan yang sudah ada berkaitan dengan tanah adat/ulayat.
Kedelapan perlunya pembuatan rambu-rambu keselamatan seperti rambu garis batas pantai yang dapat diakses oleh pengunjung wisata yang hendak mandi di danau dan rambu-rambu lain yang memberi informasi atau peringatan kepada pengunjung, demikian pula untuk perkapalan. Rambu-rambu tersebut menggunakan 3 bahasa utama, yaitu: Batak, Indonesia, dan Inggris.
Kesembilan mengenai Panggilan Darurat (Emergency Calls) sebaiknya dibuat satu nomor saja untuk seluruh permasalahan, misalnya: kecelakaan, perampokan, kapal tenggelam, penculikan, gempa, dan lain sebagainya.Tujuannya publik mudah mengingat 1 (satu) nomor tersebut. Banyaknya layanan Panggilan Darurat membuat publik bingung, dan pada akhirnya tidak ada niat untuk menyampaikan permasalahan yang sedang dihadapinya secara mendadak.
Kesepuluh Radio komunikasi wajib bagi setiap kapal penumpang agar tersedia informasi setiap saat (real time) dari yang berwenang, terutama dalam keadaan darurat (SOS), kondisi cuaca, dan lain-lain.
Pada kesempatan tersebut YPDT juga menyampaikan bahwa permasalahan ekologi seperti kualitas dan kuantitas air Danau Toba menjadi salah satu problem yang memiliki dampak serius terhadap sistem transportasi air Danau Toba. Adanya Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba menghambat sistem transportasi di perairan Danau Toba, sehingga perairan Danau Toba yang sebelumnya merupakan area publik dan bebas hambatan, saat ini tidak lagi bebas.
Selain itu, YPDT juga mengingatkan kembali dan mendukung komitmen pemerintah sejak 2 (dua) tahun lalu terhadap penutupan KJA yang telah mencemari Danau Toba.
Berkurangnya kuantitas air Danau Toba hingga surut mencapai sekitar 3-5 meter dari pemantauan YPDT pada 2015 dibandingkan dengan 2018 menjadi salah satu masalah dalam sistem transportasi di Danau Toba dan berdampak terhadap keselamatan penumpang dan kerugian material. Pada awalnya, masyarakat dengan leluasa naik turun dari kapal tanpa harus mendaki atau menuruni tangga kapal, saat ini harus menggunakan alat bantu dan dermaga tidak lagi berfungsi dengan baik. Kuantitas air tersebut, berkaitan dengan permasalahan ekologi yaitu penebangan hutan masif di Kawasan Danau Toba yang sebagian besarnya merupakan water catchment area atau daya tangkapan air dari pohon-pohon disekitarnya.
Alimin Ginting, mewakili Tim, mengatakan bahwa di zaman modern saat ini seharusnya kecelakaan kapal di perairan Danau Toba tidak seharusnya terus terjadi. “Seharusnya kalau ada kebersamaan dan komitmen maka apa yang terjadi selama ini tidak terjadi. Pada standar keselamatan kerja di bidang perminyakan, safety itu adalah segala-galanya dan ada filosofinya yaitu: do it right or not at all, lakukan dengan benar atau tidak sama sekali, karena memang nyawa seorang manusia sangat mahal sekali”. YPDT melihat perlunya kerjasama dan komitmen diantara pemangku kepentingan. Jika kita memiliki komitmen terhadap apa yang kita bicarakan dan ada niat untuk menghindari hal itu, YPDT berkeyakinan kita bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Semoga tidak terjadi lagi kecelakaan serupa di perairan Danau Toba.
Alimin Ginting menyarankan agar ada upaya pemerintah melakukan sosialisasi terkait standarisasi dan keselamatan transportasi air. YPDT memiliki jaringan yang cukup luas di Kawasan danau Toba (KDT) dan siap bekerjasama dengan pemerintah. Selain itu, fasilitas pemeliharaan (dooking) rutin dan pelayanan untuk menginformasikan standar keselamatan seperti di pesawat terbang, hal ini terlihat seperti kecil, tapi memiliki dampak luar biasa.
Bonar Simangunsong menyatakan bahwa keselamatan maritim menjadi perdebatan dan ini harus dijamin agar tidak mengurang daya pikat pariwisata Danau Toba. Menurut purnawirawan TNI AL berpangkat Laksamana Pertama ini bahwa di Danau Toba, Samosir, ada kapal polisi. Jadi YPDT memohon perhatian khusus dari pemerintah, dan perlu dibuatkan blue print (cetak biru) sistem keselamatan transportasi air di KDT.
Kebutuhan blue print sistem keselamatan transportasi air di KDT memang mendesak. Luhut Sagala, anggota Tim, menceritakan pengalamannya bahwa masih banyak kapal dengan kondisi buruk, misanya mesin kapal tiba-tiba mati. Pemberitahuan dan pemanduan dari awak kapal pun sama sekali tidak ada, belum lagi fasilitas keselamatan yang minim bahkan tidak tersedia.
[Slideshow "pokok-pokok-pikiran" not found]
Memperkaya masukan tim, Rio Pangaribuan menekankan bahwa kearifan lokal penting diperhatikan di mana air Danau Toba yang dulu jernih sekarang sudah kotor dan ini perlu dikembalikan asri. Banyaknya Keramba Jaring Apung (KJA) selain mencemari air Danau Toba jadi kotor, juga mengganggu transportasi air. Begitu juga masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, hampir tidak ada. Mereka tidak dapat lagi menangkap ikan karena adanya keramba jaring apung. Pemerintah perlu membuat pembibitan ikan yang dikembangkan di Danau Toba agar para nelayan dapat kembali berlayar mencari ikan.
Deacy Maria Lumbanraja, seorang ibu pemerhati Danau Toba menambahkan bahwa ketika penumpang kapal hendak turun kapal, tangganya sungguh memprihatinkan kondisi dan dapat membahayakan penumpang. Begitu juga kondisi dermaga yang minim dan bahkan hampir tidak tersedia dari setiap desa. Khusus kapal onan (pasar), ini perlu diperhatikan juga kondisinya.
Jhohannes Marbun, menyampaikan bahwa masalah keselamatan transportasi air ini tidak hanya di Danau Toba, tetapi hampir di seluruh wilayah transportasi perairan di Indonesia. Pada umumnya transportasi air itu adalah iniasiatif masyarakat karena akses tersebut menjadi kebutuhan mereka. Jika tidak ada transportasi air yang disediakan masyarakat, maka akses antar daerah di seluruh perairan di Indonesia tidak akan seperti sekarang ini. Ini patut kita apresiasi. Apa yang telah dimulai oleh masyarakat ini perlu didukung oleh pemerintah sebab mereka menjadi ujung tombak menyatunya antardaratan di seluruh perairan di Indonesia, terkhusus juga di perairan Danau Toba.
Di kawasan Danau Toba itu tidak ada otoritas yang mengelola sistem transportasi air Danau Toba, bahkan syahbandar tidak ada. Jika tidak ada otoritas pelaksana yang mengelola sistem transportasi air di Danau Toba, maka sistem pengawasannya juga akan parsial. Maka harus ada otoritas yang menangani di Perairan Danau Toba.
Bindu Philip menyampaikan masalah penurunan level air Danau Toba juga berdampak pada masalah transportasi air, khususnya dermaga dan pelabuhan. Ada perbedaan jarak yang cukup jauh antara sandaran di dermaga dengan kapal. Penurunan level air Danau Toba tersebut sangat terkait dengan masalah ekologi.
Merangkum semua percakapan tersebut, Odo R.M. Manuhutu, Asisten Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Kemenko Maritim RI, menyambut antusias pemaparan pokok-pokok pikiran YPDT tersebut Toba dan menyampaikan dua hal yang dapat ditindaklanjuti bersama, antara lain:
Pertama, sosialisasi perilaku untuk sadar keselamatan dalam transportasi air pada tahun 2019 mendatang, sehingga masyarakat memiliki kesadaran pentingnya mematuhi standar keselamatan yang sudah ditetapkan pengelola (otoritas) kapal, dermaga, dan awak kapal. Dalam sosialisasi ini, pemerintah menyambut baik kerjasama masyarakat, termasuk YPDT. Pemerintah juga akan berkoordinasi dan duduk bersama dengan Badan Otorita Danau Toba yang memperhatikan faktor keselamatan transportasi air ini karena hal ini menyangkut banyak aspek, misalnya aspek sosial budaya, ekonomi, pariwisata, ekologi, dan lain-lain.
Kedua, Khusus aspek ekologi, Asisten Deputi ini juga akan melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan berharap dapat bekerjasama dengan YPDT dalam membahas aspek tersebut karena aspek ekologi ini perlu waktu pembahasan tersendiri. (**)
Jakarta, 28 Nopember 2018
Narahubung: Jhohannes Marbun (Sekretaris Eksekutif YPDT)
Kontak email: yayasan.pencinta.danau.toba@gmail.com, HP: 0813 2842 3630