JAKARTA, DanauToba.org ― Persoalan hukum di Kawasan Danau Toba (KDT) tidak kunjung selesai. Masalah pelanggaran lingkungan hidup (kerusakan hutan, pencemaran air Danau Toba, dan kerusakan tanah), pelanggaran tanah adat, pelanggaran HAM, kekerasan, dan lain-lain terus dipertontonkan. Masyarat selalu menjadi korban. Sementara sedikit orang/kelompok yang berpihak kepada masyarakat.
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) menggagas Diskusi Kamisan untum membahas persoalan-persoalan di KDT. Acara tersebut berlangsung pada Kamis (19/9/2019) di Kantor Sekretariat YPDT, Jakarta Timur.
Isu yang seputar kasus Desa Sigapiton di KDT menjadi pembahasan yang dipercakapkan dalam dskusi ini. Sempat dibicarakan tentang pengerahan Brimob oleh pihak BPODT (Badan Pengelola Otoritas Danau Toba) untuk memuluskan kegiatan BPODT agar tidak ada perlawanan dari masyarakat setempat dan demi keamanan.
Motif tindakan seperti ini pun pernah terjadi dalam kasus Indorayon yang diceritakan Prof K. T. Sirait. Ketika itu terjadi perlawanan masyarakat terhadap pihak Indorayon yang menyebabkan Sitorus menjadi korban kekerasan.
“Masyarakat menjadi takut karena tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Hati masyarakat terlukai,” ujar Prof Sirait. Kasus Indorayon sepertinya terulang kembali di Sigapiton di mana tindak kekerasan kepada masyarakat melukai hati mereka.
Sebenarnya apa persoalan utama yang terjadi di Sigapiton, sehingga terjadi perlawanan masyarakat lokal?
Di Sigapiton ada 4 bius yang sudah lama tinggal di sana sebelum kemerdekaan RI. Bagi masyarakat Sigapiton, hutan adalah sumber air dan sangat mereka jaga. Di beberapa bidang tanah, mereka menanam kopi dan tanaman lainnya.
Menyoal status tanah yang mereka kelola setiap hari, selain tanah adat/bius/komunal, ada juga tanah yang dimiliki pribadi-pribadi.
Di sana ada 4 bius, antara lain Sirait, Manurung, Butarbutar, dan Nadapdap. Dalam kasus Sigapiton yang lalu itu, hanya Butarbutar menandatangani kesepakatan, bius yang lain tidak mau.
Ada beberapa kesepakatan yang tidak berpihak kepada masyarakat tersebut, misalnya kalau masyarakat kalah dalam persoalan tanah, maka aliran listrik ke tempat mereka akan dicabut. Belum lagi bicara soal kompetensi untuk merekrut bidang pekerjaan pariwisata, misalnya kemampuan berbahasa Inggris.
Sebenarnya dalam kesepakatan tersebut tidak ada pengakuan tanah adat. Meskipun dengan sistem HPL, tidak ada penyelesaian tanah adat di situ karena BPN sudah memberikan HPL. Mungkin BPN tidak salah memberikan HPL tersebut karena tanah tersebut dilihat sebagai kawasan hutan. Namun demikian, kita masih dapat mengkritik hal tersebut. Sebagai contoh, apakah di sana masih ada orang atau tidak?
Di sinilah masyarakat penting memahami sosiologi tata ruang. Bagi masyarakat, hutan (Batak: harangan) adalah sumber air. Karena itu, mereka membuat narasi bahwa di hutan tersebut ada hantunya. Hal tersebut wajar karena narasi budaya dipergunakan agar orang-orang tidak sembarangan masuk ke hutan dan merusaknya. Ada semacam ritual yang dilakukan bilamana mereka ingin mengambil kayu, berburu, atau mengambil hasil hutan lainnya.
Narasi budaya seperti ini adalah local wisdom (kebijakan lokal) untuk menjaga agar hutan tetap ada sebagai sumber penampung air bagi kebutuhan masyarakat lokal.
Maruap Siahaan seagai Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) menyampaikan beberapa hal dalam diskusi ini.
Pertama, ia mengatakan bahwa dari hasil pertemuan terbatas organisasi-organisasi Batak pada Rabu (18/9/2019) dicapai kesepakatan agar ditolak wisata halal di Kawasan Danau Toba (KDT) yang dilontarkan Kementerian Pariwisata.
Kedua, persoalan hukum terhadap perusakan lingkungan hidup di KDT harus ditegakkan secara adil. Siapa pun yang merusak lingkungan KDT harus diseret ke pengadilan dan dihukum.
Ketiga, Pembangunan KDT harus tanpa kekerasan dan pemaksaan.
Keempat, pengembangan wisata KDT yang berbasis kearifan lokal dan budaya Batak.
Kelima, pemberdayaan masyarakat Batak sebagai stakeholder utama dalam pembahasan masalah di Sigapiton.
Organisasi-organisasi Batak dan beberapa organisasi berbasis masyakarat akan mendeklarasikan: Bonapasogit adalah tano (tanah) Batak atau tanah adat. Konsekuensi hukumnya adalah bahwa setiap pelaku usaha dan pemerintah ingin mengelola tanah adat Batak, mereka harus bernegoisasi dengan masyarakat adat (komunal) sebagai pemilik sah tanah adat Batak.
Dalam rangka tersebut, YPDT telah membentuk Tim yang dipimpin oleh Sandi E. Situngkir, SH, MH. Tim inilah yang akan merumuskan dan bekerja, sehingga nantinya ada satu buku acuan mengenai tanah adat Batak yang akan dihasilkan, diproduksi, dan disebarkan kepada masyarakat lokal agar publik dicerahkan dan dicerdaskan. Masyarakat Batak tidak lagi mudah dibodoh-bodohi oleh pihak-pihak yang rakus dan korup. Selama ini, pihak-pihak tersebut telah merusak, memecah-belah, merampok, dan merugikan masyarakat Batak. “Ini menjadi kebangkitan orang Batak di tanah leluhurnya sendiri,” tegas Maruap.
Hadir dalam Diskusi Kamisan ini antara lain: Rio Batoan Pangaribuan, Dedy Boy Pangaribuan, Hank van Apeldoorn, Pdt Marihot Siahaan, Prof Dr Ing K. Tunggul Sirait, Dr Ronsen Pasaribu, Jerry R. H. Sirait, Jhohannes Marbun, Ralwin R. Lumbantoruan, Kariana Siringringo, Uya Pinta br Panjaitan, Samuel Lumban Tobing, Joyce S. Manik, Ramses Butarbutar, Maruap Siahaan, Ita Siregar, Mardi F. N. Sinaga, Raymond J. R. Sihombing, Andaru Satnyoto, Boy Tonggor Siahaan.
Pewarta: Humas YPDT