JAKARTA, DanauToba.org — Perempuan adalah mitra pembangunan KDT menuju Kota Berkat di Atas Bukit. Pernyataan tersebut menjadi percakapan yang hangat dalam Diskusi Kamisan yang dilaksanakan di Sekretariat Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) pada Kamis (20/4/2017).
Menjadi seorang perempuan dalam menjalani kehidupan ini tidaklah mudah. Ia lebih banyak berperan dalam membangun, mendidik, dan mendewasakan manusia sejak di dalam kandungan hingga bertumbuh menjadi manusia yang sesungguhnya. Perempuan adalah mitra laki-laki yang lebih banyak mengambil porsi peran dibandingkan laki-laki. Kedua insan manusia ciptaan Tuhan yang berbeda jender ini hidup saling melengkapi dan menyempurnakan.
Peran Perempuan dalam Pembangunan Kawasan Danau Toba (KDT) menjadi topik yang diangkat dalam Diskusi Kamisan ini. Diskusi ini juga untuk memperingati Hari Kartini. Sereida Tambunan, pemantik diskusi ini, mengemukakan bahwa perempuan Batak mempunyai peran sentral dalam masyakarat Batak, termasuk dalam pembangunan di KDT.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak, boru (perempuan Batak) mempunyai tugas dan peran yang tidak dapat diabaikan atau dianggap remeh. Artinya boru itu adalah unsur yang penting dalam keluarga. Budaya Batak memberikan tempat dan peran yang tepat bagi perempuan dalam kekerabatan masyarakat Batak. Hal tersebut dinyatakan dengan jelas dalam Dalihan na Tolu. Suara perempuan dalam Dalihan na Tolu didengar.
Di Kawasan Danau Toba, “Perempuan Batak mempunyai peran penting dalam pelestarian dan pariwisata Danau Toba,” ungkap Sereida. Perempuan Batak yang memakai sarung bermotif ulos atau gorga, misalnya, dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan ciri khas dan nuansa budaya lokal masyarakatnya. “Kita sudah sulit menemukan lagi hal tersebut dalam masyarakat Batak,” kata boru Tambunan yang masih aktif sebagai anggota DPRD DKI Jakarta ini.
Dalam bidang pariwisata, perempuan pun dapat memainkan peran sentral. Sebagai contoh, di Bali, banyak perempuan menjual kain bermotif seni dan budaya Bali yang dapat disematkan sebagai rok atau sarung. kain-kain seperti ini dijual di tempat-tempat wisata, misalnya di sekitar pantai dan pura.
Contoh lain masih di Bali, lanjut Sereida, setiap tamu yang datang selalu disambut dengan pengalungan bunga kamboja yang menjadi ciri khas Bali. Kita pun dapat mencontoh orang-orang Bali yang menyuguhkan ciri khas custom (pakaian) dan sambutan selamat datang. “Saya rasa perempuan Batak punya itu juga untuk pariwisata di KDT,” cetus Sereida. Persoalannya sekarang apakah mau perempuan Batak masa kini membiasakannya dalam kehidupannya di KDT?
Menjawab hal tersebut, Sereida menantang kita: “Ayo kita buat satu model di salah satu tempat di KDT. Kita buat desa wisata di mana perempuan Batak tampil dengan pakaian khas masyarakat lokal, menyambut dan melayani tamu (wisatawan) dengan ciri khas budaya lokal, dan menyediakan minimal 1 kamar di masing-masing rumah untuk penginapan wisatawan (home stay).” Kalau hal tersebut dapat dilakukan dengan baik dan benar, kita sudah membantu masyarakat tersebut meningkatkan perekonomian mereka.
Sereida menambahkan: “Dari hal-hal sederhana tersebut (Red: menggunakan pakaian khas lokal dan sambutan yang menjadi ciri khas masyarakat setempat), kita dapat melestarikan kembali budaya lokal yang sudah lama hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut. Harus dari kita yang memulai.”
Seorang perempuan layaknya seorang enterpreneur (pengusaha). Pengusaha yang dimaksudkan di sini jangan dibayangkan seperti para pengusaha yang punya modal (kapital). Maruap Siahaan (Ketum YPDT) menyatakan bahwa seorang pengusaha itu tidak lagi bicara soal uang, tetapi bagaimana ia berusaha menjadi berkat bagi orang lain.
Tampaknya apa yang disampaikan Ketum YPDT pas dengan ciri/karakter yang kental melekat di dalam diri seorang perempuan, khususnya perempuan Batak. Kita tidak dapat memungkiri bahwa seorang perempuan bekerja dan melayani untuk menjadi berkat bagi orang lain.
Dalam percakapan yang terpisah dari Diskusi Kamisan ini, ada pandangan menarik yang disampaikan seorang boru Batak bernama Susi Rio boru Panjaitan. Menurut Susi, peran perempuan bukan lagi persoalan kesetaraan jender karena di era masa kini kesetaraan jender bukan lagi menjadi isu yang menggelisahkan.
Kata Susi:” Saya melihatnya dari peran dan pengaruh perempuan pada pembangunan KDT menuju Kota Berkat di atas bukit. Bicara soal perempuan terkait KDT, artinya bicara soal peran sosialnya. Bicara soal peran sosial perempuan, maka itu juga bicara soal perannya sebagai istri dan anggota masyarakat. Apa pun yang terjadi di KDT, itu akan memengaruhi perempuan.”
KDT rusak, masyarakat kehilangan sumber nafkah, maka yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan (baca: ibu) karena dialah yang paling bertanggung jawab mengelola keuangan keluarga.
Danau Toba rusak, ikan mati sehingga masyarakat kehilangan sumber lauk pauk, maka perenpuanlah yang paling stres, karena perempuanlah yang paling bertanggung jawab atas gizi keluarga.
Jika KDT rusak, sehingga anak-anak kehilangan tempat bermain, maka in iuga akan membingungkan perempuan, karena tugas mengasuh anak-anak lebih banyak ditanggungkan kepada perempuan.
Jika KDT tercemari budaya lain yang tidak cocok dengan budaya lokal, maka seorang ibu iuga yang merana, karena itu tadi, berbagai jenis pendidikan, terutama anak, dibebankan pada ibu (tanpa mengecilkan peran bapak).
Selain hal-hal di atas, apa pun yang terjadi pada ibu akan sangat memengaruhi anak, keluarga, dan lingkungan.
Contoh: jika ibu sakit, maka anak dan keluarga ikut merasakan dampak negatifnya. Jika pengetahuan ibu terbatas, maka tentu sangat memengaruhi kecerdasan anak-anaknya.
Jadi, terkait KDT, pelestarian dan pembangunan budaya tidak boleh lupa mengedukasi dan melibatkan kaum perempuan.
Jika tingkat pengetahuan perempuan baik, besar kemungkinan tingkat kesadaran masyarakat baik. Jika kesadaran mereka baik, kemungkinan perilaku mereka akan baik.
Contoh: jika perempuan diedukasi dengan baik tentang kebersihan KDT, maka besar kemungkinan kesadaran masyarakat akan kebersihan membaik. Kesadaran ini akan mendorong perilaku hidup bersih, misalnya tidak membuang sampah dan limbah lainnya ke DT.
Jika pengetahuan perempuan tentang nilai budaya dan budaya itu sendiri (misalnya ulos, kuliner, tarian, nyanyian, dll) baik, besar kemungkinan kesadaran masyarakat untuk melestarikan budaya itu tinggi. Kesadaran ini akan mendorong perilaku mereka, misalnya menjadi lebih suka dan lebih bangga menggunakan ulos dan tenun Batak lainya dibanding dengan mengenakan pakaian adat lain.
Perempuan sebagai istri memiliki peran yang sangat signifikan untuk laki-laki (baca: suaminya). Banyak fakta menunjukkan bahwa kata-kata istri sangat didengarkan oleh suaminya.
Dalam adat, walaupun tidak lazim menjadikan perempuan sebagai kepala adat, tetapi perempuan bisa punya “pengaruh” melalui suaminya yang menjadi kepala adat.
Perempuan adalah stakeholder KDT. Dengan menggandeng dan menjadikan perempuan sebagai mitra pembangunan KDT, maka impian kita bersama bahwa KDT menjadi Kota Berkat di atas bukit dapat terwujud. (BTS)