JAKARTA, DanauToba.org — People driven adalah penggerak utama koperasi. Siapakah people driven tersebut? Mereka adalah para anggota koperasi dan/atau masyarakat itu sendiri.
People driven (digerakkan oleh masyarakat) berbeda dengan capital driven (digerakkan dengan modal/kapital). Capital driven biasanya dilakukan banyak perusahaan-perusahaan di mana mereka lebih mengutamakan profit (keuntungan/laba) ketimbang memberi manfaat bagi masyarakat. Sebaliknya, koperasi berada pada ranah people driven. Karena itu, koperasi adalah badan usaha non-profit atau nirlaba.
Meskipun koperasi dalam usahanya memiliki SHU (Sisa Hasil Usaha), tetapi SHU tersebut dibagi merata kepada para anggotanya sesuai kontribusi mereka, sehingga koperasi dapat dikatakan nirlaba. Karena itu, koperasi tidak terkena pajak. “Pajak”-nya sudah dibagikan langsung sebagai bentuk kesejahteraan kepada masyarakat atau para anggotanya. Sebaliknya, perusahaan harus bayar pajak dari labanya untuk kesejahteraan masyarakat. Inilah perbedaan signifikan antara koperasi dan perusahaan (korporasi).
Baca juga: PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENUJU KEMANDIRIAN DAN KESEJAHTERAAN DI KAWASAN DANAU TOBA
Koperasi merupakan kata yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat di Kawasan Danau Toba. Bahkan banyak usaha-usaha privat dilabeli sebagai Koperasi. Namun apakah hal itu tepat? Koperasi juga menjadi diskursus menarik dalam konteks Penetapan Danau Toba sebagai destinasi Pariwisata prioritas nasional. Agar tidak salah kaprah mengenai koperasi dan masyarakat dapat menempatkan Koperasi pada tempat yang semestinya, maka hal ini menarik untuk diketahui bersama.
Mengingat pentingnya koperasi untuk pembangunan Kawasan Danau Toba, maka Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dalam Diskusi Kamisan dilaksanakan pada Kamis (3/8/2017) mengangkat topik diskusi: Koperasi dan Pembangunan Kawasan Danau Toba. Topik diskusi tersebut diawali oleh pemantik diskusi, Suroto (Ahli Koperasi). Diskusi ini dimoderasi oleh Andaru Satnyoto (Sekretaris Umum YPDT).
Menurut Suroto, yang juga Ketua Asosiasi Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), memulai diskusi dengan mengatakan bahwa tema diskusi ini menarik karena berbicara Danau Toba dan Koperasi. “Begitu saya mendengar 10 destinasi baru dan badan baru atau istilahnya Bali baru, saya sebenarnya sudah khawatir juga karena melihat Bali. Ada problem ekologis maupun masyarakatnya terutama keadilan ekonomi. Belum lama ini juga saya diundang oleh Forum Wartawan Pariwisata. Pemerintah sekarang ini mengarahkan pada pariwisata untuk kepentingan jangka pendek agar dapat menutup bolongnya fiskal kita. Yang bisa menutup itu melalui sektor pariwisata, karena modal kecil tetapi bisa menghasilkan devisa yang besar,” ujar Suroto.
Lebih lanjut Suroto menegaskan bahwa koperasi cocok untuk keberlangsungan (sustainable) pariwisata dan memperhatikan ekologi (lingkungan dan masyarakat sekitarnya). Mengapa koperasi? Karena koperasi adalah people driven bukan capital driven. Kenyataannya pariwisata kita masih capital driven. Pengelolaannya seperti pengelolaan perusahaan di mana tujuannya hanya satu, yaitu: untung (profit). Kalau bicara partisipasi (people driven), maka hal itu nirlaba.
Ada masalah serius dalam pengelolaan capital driven, yaitu eksploitasi sumber daya alam (krisis ekologis) dan eksploitasi manusia terhadap manusia lain. Alat eksploitasinya adalah modal (capital). Jika kita ingin komunitas masyarakat, maka kita harus membangun masyarakat tersebut. Masyarakat harus jadi subyek atau primus dalam pembangunan tersebut. Di sinilah peran koperasi tersebut.
Namun, dalam kenyataannya koperasi ditempatkan pada posisi dipinggirkan dan ini mengkerdilkan koperasi itu sendiri. Mengapa koperasi dipersepsikan kerdil? Karena kementeriannya saja disandingkan dengan UKM, yang notabene dianggap kecil-kecilan. Selain itu, koperasi kita memang kontribusi ekonominya terhadap PDP hanya 2%. Jadi memang dikerdilkan. Padahal kita mengatakan koperasi sebagai sokoguru pembangunan. Harusnya minimal 51% kontribusinya. Kenyataannya hanya 2 %. Kalau di media dikatakan bahwa kontribusi koperasi 4 % maka itu data serampangan.
Jika berbicara people driven maka usaha yang mungkin adalah homestay. Kalau bicara hotel maka kacamatanya capital driven. Kalau membangun infrastruktur, maka jangan sampai pada orientasi laba belaka. Artinya pemerintah seharusnya lebih berorientasi pada people driven ketimbang capital driven.
People driven adalah penggerak utama koperasi untuk pembangunan, termasuk pembangunan Kawasan Danau Toba (KDT). Masyarakat Batak di KDT sudah memiliki kekayaan people driven tersebut. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat Batak membangun ikatan kehidupan bersama (bonnum komune) dan hidup berbagi. Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat Batak sebenarnya sudah menerapkan konsep koperasi. Dalam hal ini, kita harus menempatkan masyarakat di atas dan modal di bawah.
Bagaimana sebenarnya kita memulai koperasi? Suroto mengatakan: “Kita harus berangkat dari kebutuhan. Kalau masyarakat melihat bahwa homestay menunjang kebutuhan keberlangsungan hidup mereka, maka berangkat dari situ.”
Selain itu, koperasi juga bisa disambungkan dengan pihak lain. Koperasi ini yang disebut koperasi multi pihak. Peraturan Pemerintah (PP) RI no.33 tahun 1998, di mana pemerintah bisa memberikan penyertaan modal sejak hari pertama berdiri (asal berbadan hukum). Kalau multi pihak, maka hal ini setidaknya minimal saham masyarakat atau anggota 51% dan pihak lain 49%.
Paradigma perkoperasian di Indonesia, masih jauh dibandingkan dengan makna yang dikandung dalam konstitusi kita. Sebagai contoh, Medsa, salah satu koperasi besar di dunia yang mengelola lingkungan hidup di Finlandia; dan jaringan Retail NTUC Enterprise di Singapura adalah koperasi yang memiliki jaringan besar di mana semula berasal dari satu toko kecil yang diresmikan oleh Lee Kuan Yeuw, dan mencontoh dari Swedia, sehingga menjadi besar. “Saya berharap koperasi dapat menghidupkan pariwisata di KDT di mana jaringan retailnya justru masyarakat di sana dan pusat grosirnya bisa dikelola Koperasi,” kata Suroto mengakhiri pantikannya.
Dr. Ronsen Pasaribu (Ketua Umum Forum Bangso Batak Indonesia) memulai diskusi dengan pertanyaan. “Mengapa koperasi tidak berjaya baik di kota maupun di desa?”. Kuncinya memang di people driven bukan di capital driven sebagaimana sudah disampaikan Suroto.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk pembangunan KDT melalui Koperasi? Saya melihat di masyarakat Batak ada potensi gotong-royong, melalui kegiatan marsiadapari sebagaimana orang Batak menyebut. Tetapi sayang lama-kelamaan aktivitas demikian semakin sedikit,” ujar Pasaribu.
Mengapa Koperasi tidak berkembang? Ada persaingan tidak sehat sebab tidak ada kohesi antaranggota. Jadi bagaimana kiat kita menguatkan koperasi?
Khusus Danau Toba Perpres No. 49 Tahun 2016 tentang BPOPKDT mengatakan melibatkan budaya lokal. Artinya kita harus melakukan pemetaan di sana. Jika pariwisata menjadi yang dikedepankan, maka sektor pertanian dan peternakan dapat menunjang pariwisata yang terkait kebutuhan ekonomi yang bermacam-macam. Misalnya petani bawang merah, daging, kacang, dll, didorong meningkat sektor pariwisata. Ini potensi sejak jaman dahulu yang kurang dikelola dengan tepat.
Kalau kelompok tani atau koperasi bisa didorong menjadi kelompok yang berkesinambungan, maka mereka berhasil. Salah satu faktor kegagalan koperasi adalah hilangnya kepercayaan (trust) dari para anggotanya. Karena itu, perpaduan antaranggota kelompok menjadi penting. Demikian pula, apabila kontrol tidak ada, rapat tidak ada, maka bisa gagal. Ekonomi kita apabila single fighter (dikendalikan satu orang) bisa gagal.
Problem Koperasi di Indonesia ada 3 (tiga), antara lain: Pertama, paradigma masyarakat tentang koperasi salah karena Undang-undang tentang Koperasi juga ada yang keliru. Yang benar harus people driven bukan capital driven. Kedua, regulasi yang terkait koperasi tidak memperkuat koperasi itu sendiri. Ketiga, koperasi sebatas dimanfaatkan sebagai proyek dan menjual proposal.
Apakah ada kaitannya antara koperasi dan pembangunan KDT? Bicara Kawasan Danau Toba, maka budaya lokal harus berkontribusi dalam pembangunan KDT. Koperasi sesungguhnya sudah menjadi budaya lokal masyarakat Batak. Sekarang, bagaimana kita memaksimalkannya?
Ada 3 pelajaran yang dapat kita petik dari perkoperasian. Mardi F.N. Sinaga (Kepala Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif YPDT) memetik pelajaran penting dari Koperasi yang ada di perusahaan tempatnya bekerja, Telkomsel. Koperasi Karyawan Telkomsel dengan jumlah anggota 5.000 orang mampu meraup Sisa Hasil Usaha (SHU) setahun sebesar Rp60 M. “SHU sebesar itu bukan dari modal (capital) belaka, tetapi dari people (para anggotanya),” singkap Sinaga tentang kesuksesan Koperasi di tempatnya bekerja.
Kita melihat ada pelajaran di balik koperasi tersebut. Pertama, memaksimalkan anggota, jadi setiap anggota harus punya prestasi. Kedua, semua keputusan (jangka pendek, menengah, dan panjang) diputuskan bersama. Contoh dalam hal peminjaman uang, besaran dan jangka waktu ditentukan bersama. Maju mundurnya koperasi tidak ditentukan oleh Pengurus, tetapi oleh anggota. Ketiga, khusus Koperasi di Telkomsel, jajaran Direksi memiliki peran memberikan restu dan dukungan untuk keputusan-keputusan bisnis yang besar.
Ratnauli Gultom (salah satu Pengurus YPDT Perwakilan Samosir) melihat bahwa kegagalan koperasi yang ia lihat di Siantar dan beberapa tempat lainnya di KDT adalah ketidakpercayaan orang terhadap koperasi. Kepercayaan anggota koperasi terhadap pengurusnya menjadi sesuatu yang terpenting dan terutama.
Alfons Samosir berpendapat bahwa koperasi dapat digunakan sebagai instrumen untuk menyejahterakan masyarakat. Koperasi juga mampu menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan. Untuk sampai pada pertumbuhan tersebut, masyarakat harus dididik, terutama karakter mereka. Ini cocok dilakukan di KDT. “Credit Union (CU) sangat pas diterapkan di KDT, terutama untuk memberantas banyak tengkulak yang berkeliaran di sana,” kata Samosir.
Rikardo Marbun mengusulkan untuk membuat Koperasi Pencinta Danau Toba di Jakarta. Selanjutnya, koperasi ini dapat dikembangkan di Kawasan Danau Toba. “Kita dapat membangun koperasi dari yang kecil, lalu ke yang besar. Kita dapat berangkat dari YPDT untuk KDT, dan setelah besar: dari YPDT untuk Indonesia,” kata Suroto yang menyambung usulan tersebut.
“Bagaimana menjalankannya? Bagaimana pendekatan masyarakatnya? Pada sektor apa?” tanya Carlos Melgares Varon. Jadi semuanya itu perlu diinventarisasikan. Di KDT banyak yang mengidentifikasi diri, apa kelebihan dan kekurangannya, sehingga tidak bisa mengembangkan koperasinya. Oleh karena itu, kita perlu memahami situasi dan kondisi yang ada di sana. Karena ini sangat fundamental.
Gotong-royong adalah kata kunci untuk koperasi. Menurut Hasahatan Gultom, masyarakat Batak di KDT sudah sejak lama bergotong-royong. Ini artinya masyarakat Batak sudah memiliki modal utama dalam membentuk koperasi. Jadi hal itu sudah niscaya mudah bagi masyarakat Batak membentuk koperasi. Namun, sangat disayangkan pada masa sekarang kegotong-royongan tersebut hampir pudar di masyarakat KDT.
Berlin Situngkir juga menegaskan bahwa kegotong-royongan masyarakat kita telah memudar dan berhadap kedepan dapat dibangkitkan kembali. “Ada 30 hektar tanah di kampung kami, Silalahi Nabolak, yang dimiliki marga kami. Tanah tersebut hendak kami kelola dengan membuat koperasi. Melalui koperasi itu, kami berharap pengelolaan tanah tersebut dapat mengatur tempat berjualan, toilet, pengaturan parkir, tempat kemah atau camping, dll,” sambungnya.
Meskipun di kampung Situngkir kegotong-royongan sudah memudar, justru Rio Pangaribuan mendapati ada suatu tempat di daerah Tobasa arah ke Silimbat di mana masyarakatnya ramai-ramai membangun sebuah rumah dengan marsiadapari atau gotong-royong. Lebih tepat kalau pengembangan koperasi di KDT itu fokus pada pertanian, peternakan, dan perkebunan karena ini adalah matapencaharian utama masyarakat di KDT, saran Rio Pangaribuan yang juga mewakili suara naposo (kaum muda) Batak.
Mengakhiri percakapan diskusi, Suroto memberi rangkuman bahwa berbicara koperasi tidak selalu berbicara tentang omset besar. Masyarakat kita sering kehilangan antara off farm (di luar bidang pertanian) dan on farm (di dalam bidang pertanian). Ini tidak terjadi sinergi. Hal ini harus diintegrasikan melalui koperasi.
Peserta Diskusi Kamisan yang hadir adalah Suroto (pemantik), Dr. Ronsen Pasaribu, Andaru Satnyoto (moderator 1), Jhohannes Marbun (moderator 2), Berlin Situngkir, Samuel Gultom, Deacy Maria Lumbanraja, Rio Pangaribuan, Hank van Apeldoorn (relawan AVI untuk YPDT), Rikardo Marbun, Carlos Melgares Varon, Mardi F.N. Sinaga, Ratnauli Gultom, Hasahatan Gultom, Marias Harianja, Bonanja Harianja, Alfons Samosir, Ida Banjarnahor, Roslina Simangunsong, Edi Silaban, dan Boy Tonggor Siahaan. (BTS/JM)