JAKARTA, DanauToba.org — Hutan menjadi hal yang utama dan sangat penting dalam pembangunan Kawasan Danau Toba (KDT). Mengapa? Karena seluruh KDT pada awalnya adalah ekosistemnya ditopang oleh hutan-hutan dan pepohonan yang menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup di sekitarnya. Hilangnya hutan di KDT akan menyebabkan hilangnya keseimbangan alam atau ekosistem di kawasan tersebut. Karena itu, hutan menjadi penting diperhitungkan dalam pembangunan KDT yang lestari dan berkeadilan.
Martua T. Sirait (Presidium Dewan Kehutanan Nasional/DKN Periode 2012-2016) menyampaikan keprihatinannya kepada forum Diskusi Kamisan “Lake Toba Coffee Evening“) bahwa kondisi pengukuhan kawasan hutan di KDT tumpang-tindih. Ketimpangan penguasaan hutan sangat terlihat jelas. Belum lagi masih ada masalah dalam perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan kementerian kehutanan, dan keputusan menteri kehutanan. Kadangkala ada pihak-pihak tertentu memanfaatkan masalah-masalah di atas untuk kepentingan sendiri bukan kepentingan masyarakat di KDT.
Untuk mendukung pernyataannya, Martua Sirait memaparkan beberapa fakta, Sebagai contoh, pengukuhan kawasan hutan, Keputusan MK 35 tentang Hutan Adat masih tumpang-tindih dalam penguasaan hutan antara administrasi kehutanan di jaman Belanda, kawasan perdesaan, dan pengukuhan hutan di Sumatera Utara. Penunjukan kawasan hutan di setiap provinsi biasanya berdasarkan kepada RTRWP. Kawasan hutan tidak dibebani Hak (UUK 41/1999). Penunjukan tersebut diusulkan oleh Pemerintahan Provinsi, dengan kategori kawasan yang memiliki hutan maupun tidak memiliki hutan. Penunjukan kawasan hutan yang memiliki kekuatan hukum dalam Permenhut No. 50/2009, batal dengan adanya Keputusan MK No. 45/2011.
Mengenai Penataan Batas Kawasan Hutan, proses pembentukan Panitia Tata Batas (PTB) diketuai oleh bupati. Kementerian Kehutanan, Pemda, BPN(Badan Pertanahan Nasional), dan masyarakat turut dilibatkan bersama-sama melakukan penataan batas. Penataan ini dibuktikan dengan adanya BATB (Berita Acara Tapal Batas). Batas hutan yang dipetakan ditandatangani oleh PTB. Proses terakhir adalah Penetapan Kawasan Hutan Tetap (PKHT), sebagaimana dengan MK 45/2011. Jika PTB tidak mencapai kesepakatan selama 21 hari, maka BATB dapat ditandatangani oleh Ketua PTB, BPKH serta salah satu anggota PTB. Jika bupati tidak menerima hasil BATB selama 21 hari, maka atas nama Menteri Kehutanan, Dirjen Planologi Kehutanan dapat mengesahkan BATB. Kawasan hutan yang ditetapkan di sini dalam bentuk kelompok hutan. BATB bisa saja tidak ditandatangani oleh PBT dan ini dianggap sah.
Menurut Martua Sirait ada pengambilan keputusan sepihak yang dilakukan pihak-pihak lain tanpa sepengetahuan masyarakat. Karena itu, kita perlu mencermati prosedur Kontroversi Pengukuhan Kawasan Hutan berdasarkan: UU Kehutanan no 41/1999, Peraturan Pemerintah no 44/2004, Permenhut no 50/2011 dan no 47/2010. Diagram berikut perlu dipelajari publik agar tidak terjadi pengambilan keputusan sepihak.
Ada cara-cara keberatan akan penetapan atau penunjukkan tersebut, antara lain:
1. Tidak ada proses yang terbuka, berbeda dengan tata ruang. | |
2. Jika PTB (Panitia Tata Batas) tidak dapat mencapai kesepakatan dalam 21 hari kerja, BATB dapat ditandatangani oleh Ketua PTB, BPKH dan seorang anggota PTB lagi, maka BATB dianggap sah. | Poin 2 dan 3 ditetapkan secara sepihak |
3. Jika Bupati menolak hasil BATB, dalam 21 hari kerja, Dirjen Planology Kehutanan atas nama Menhut dapat mengesahkan BATB. | |
4. BATB dapat tidak ditandatangani oleh PTB dan dianggap sah. | Melanggar PP 44/2004 dan MK 45/2011 |
5. Kemenhut menetapkan kawasan hutan dalam bentuk kelompok hutan. |
Dari pembahasan di atas, kita melihat bahwa parah sekali kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan hutan.
Dalam proses Penataan Batas Kawasan Hutan (PBKH), kita mengajak masyarakat ikut terlibat dan mengawal proses tersebut, sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat lokal. Berikut diagramnya:
Sejak dikeluarkannya Keputusan MK 45/2011 yang membatalkan Permen-permen Kehutanan menimbulkan kepanikan di Kementerian Kehutanan. Mereka agak kaget dengan MK 45/2011 dikeluarkan. MK 45/2011 ini didaftarkan 2013, sehingga diberlakukan 2013.
Kita juga mengetahui ada Keputusan MK 35/2012 menggugat UU Kehutanan no. 41/1999 berkaitan dengan Hutan Adat. Ada baiknya kita melihat juga perbedaan di mana posisi Hutan Adat sebelum dan sesudah Keputusan MK 35/2012 ini. Sebelum MK 35 Hutan Adat dan Hutan Desa berada dalam domain Hutan Negara. Setelah MK 35 Hutan Adat dikeluarkan dari domain Hutan Negara dan berada dalam domain Kawasan Hutan. Sementara itu, Hutan Desa berada pada dua domain, baik itu Hutan Negara maupun Kawasan Hutan.
Selama ini secara sadar Kementerian Kehutanan mengklaim bahwa Hutan Adat adalah Hutan Negara, sehingga banyak sekali terjadi konflik-konflik antara masyarakat adat dan hutan, dan pemegang izin dan penambang, pemilik-pemilik kebun, dll. Sejak adanya MK 35, maka posisi Hutan Adat menguntungkan masyarakat adat karena diletakkan dalam perspektif kerakyatan.
Lihat diagram berikut untuk gambaran penjelasan di atas:
Terkait alokasi kawasan hutan saat ini, kita melihat terjadi ketidakadilan seperti pada diagram ini:
Kita memiliki 531 konsesi hutan skala besar, tetapi 35,8 juta ha dikuasai pihak lain bukan rakyat. Ada sekitar 57 ijin HKM, HD, HTR, 30.000 desa di dalam dan sekitar hutan, dan 40 jutaan ha hutan adat, tetapi rakyat hanya memperoleh 0,5 juta ha. Ini belum termasuk kawasan hutan konservasi. Presiden Jokowi dalam program Nawacitanya akan mengejar 0.5 juta ha mencapai 12,7 juta ha. Kita berharap hal tersebut dapat tercapai, meskipun masih belum mengatasi ketidakadilan tersebut. Yang terpenting bagaimana kita mengisi 12,7 juta ha tersebut untuk rakyat dalam bentuk perhutanan sosial.
Sebagai catatan kita, Menteri Kehutanan, Zukifli Hasan, satu hari sebelum turun dari jabatannya menerbitkan ijin alokasi 0,5 juta untuk masyarakat, tetapi 10 juta ha lagi kepada swasta. Ketika itu kami menggugat itu kepada Menteri yang baru dan ijin tersebut dicabut.
Kita juga memiliki perangkat lain, yaitu: tata ruang. Kita masukkan kembali akar rakyat ke dalam tata ruang karena tata ruang menjadi investasi. Kita kurang memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten. Mengapa Perlu Kawasan Perdesaan dalam RTRW Kabupaten? Proses dan hasil perencanaan tata ruang (kabupaten) saat ini, masih bermasalah, hanya membuka kesempatan kepada investasi skala besar, tanpa memberikan perlindungan kepada usaha pertanian, hutan keluarga, usaha skala rakyat yang mengakibatkan pembangunan boros karbon dan menghasilkan unsustainable biomass, serta konflik tanah berkepanjangan. Dengan kawasan perdesaan secara partisipatif, maka pembangunan di desa dapat menghasilkan kemandirian desa yang bertujuan pada pelayanan masyarakat desa.
Dari paparan di atas kita melihat betapa rapuhnya tata kelola hutan kita. Kita perlu mencerdaskan masyarakat dengan informasi di atas. (BTS)