JAKARTA, DANAUTOBA.ORG — Gerakan Cinta Danau Toba (GCDT) sepenuhnya adalah bentuk partisipatif dan gotong-royong. Hal ini disampaikan Andaru Satnyoto (Sekretaris Umum Yayasan Pencinta Danau Toba – YCDT) pada acara Konferensi Pers Gerakan Cinta Danau Toba yang digulirkan YPDT di Anjungan Sumatera Utara TMII, Selasa (15/12/2015).
“Melihat begitu banyaknya kegiatan yang terdapat dalam GCDT itu, banyak orang menduga hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Namun dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan berbagai pihak, maka YPDT mampu membuktikan bahwa hal itu dapat dilakukan karena semuanya berangkat dari apa yang ada di masyarakat. Tidak semua urusan dapat diselesaikan dengan uang tunai, tetapi masyarakat ‘tunai’ bekerja dan bergotong-royong. Bekerja dengan tulus dan bergotong-royong dengan melibatkan semua masyarakat berpartisipasi. Partisipasi dan gotong-royong masyarakat inilah yang dilihat beberapa pihak memiliki nilai yang positif, sehingga mampu membuka mata kita untuk ikut terlibat di dalamnya,” demikian tutur Pak Andaru.
Maruap Siahaan, Ketua Umum YPDT, dalam Konferensi Pers ini menambahkan bahwa Kawasan Danau Toba (KDT) dapat menjadi destinasi wisata berkelas dunia dan menjadi kawasan investor. Menyoal investor, Siahaan mengungkapkan bahwa kita harus mengawal antara masyarakat dan investor yang ada di KDT, karena investor ini bisa menjadi berkat, tetapi di sisi lain bisa juga sebaliknya.
Di KDT ini, pertama dan terutama, kita perlu mempertahankan nilai-nilai budaya lokal agar kita tidak tergerus oleh nilai-nilai lain dari luar yang negatif. Siahaan menegaskan: “GCD tidak hanya mencintai danaunya, tetapi juga bagaimana kita mencintai budaya kita yang diwariskan nenek moyang kita. Kita perlu mengembalikan KDT seperti dulu kala, terutama air Danau Toba itu yang dikonsumsi sebagai air minum atau untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian bagaimana menjaga hutan di sekitar KDT sebagai hutan reservoar untuk penyimpanan air tanah, sehingga tidak membuat air Danau Toba itu semakin surut.”
Berkaitan dengan kelembagaan pariwisata, YPDT mengusulkan bahwa kelembagaan kepariwisataan dari Pemerintah RI harus berbasis masyarakat dan menampung paritisipasi masyarakat. Menyikapi hal tersebut, GCDT inilah dapat menjadi model untuk kelembagaan pariwisata tersebut.
Mengapa bisa demikian? GCDT bukanlah gerakan yang bersifat perayaan, pesta atau hura-hura sebagaimana kebanyakan kegiatan yang dilakukan di KDT. GCDT sesungguhnya adalah gerakan kebersamaan yang berangkat dari keprihatinan dan doa.
Mardi F. N. Sinaga, Ketua Umum Panitia GCDT, menambahkan: “Kami menyentuh dan menggerakkan spirit masyarakat yang ada di KDT untuk peduli dengan dirinya dan kawasannya serta masyarakat yang berada di luar kawasan yang mencintai KDT, sehingga prinsip-prinsip partisipasi yang kami kembangkan dapat menggerakkan mereka. Ini bukan kekuatan dan kehebatan kami, tetapi pekerjaan dan kuasa tangan Tuhan. Mengapa hal ini dapat dilakukan? Karena semua yang ikut dalam GCDT ini memiliki ketulusan hati dan penuh sukacita. Saat ini GCDT sudah bergulir seperti bola salju. Semua kawasan di tujuh kabupaten sudah bergerak dan siap melaksanakan dan menyukseskan kegiatan GCDT. Apa yang diharapkan dari GCDT ini bermakna bagi masyarakat di KDT, dan juga menjadi pesan bagi pemerintah dan stakeholder (pemangku kepentingan) untuk membangun kawasan ini menjadi Kota berkat di Atas Bukit. (Boy Tonggor Siahaan)