DanauToba.org — Di sela-sela aktivitas kesehariannya, Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dan juga salah satu pendiri BATAK CENTER dan anggota Intellectual Think Tank BATAK CENTER, menyempatkan diri menulis pemikirannya untuk generasi muda Batak pada masa kini maupun masa depan.
Sekretariat YPDT menerima tulisan beliau untuk kami bagikan dalam situs resmi YPDT agar masyarakat Batak, baik di kampung halaman (bonapasogit) maupun yang berada di diaspora, dapat membaca dan meneruskan kembali (share di media sosial) pokok pikiran Prof. Payaman.
Prof. Payaman mengawali tulisannya dengan mengatakan bahwa masyarakat Batak atau Masyarakat Dalihan Natolu harus menyadari dirinya sebagai masyarakat yang terberkati karena mewarisi adat budaya dengan nilai-nilai luhur yang kondusif untuk membangun masyarakat yang berketeraturan dan terbuka untuk kemajuan.
Lebih tegas lagi Prof. Payaman menekankan bahwa Budaya Dalihan Natolu termasuk di antara budaya yang tertinggi di dunia, yang memiliki bahasa dan tulisan/aksara sendiri, adat istiadat, seni musik, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain.
Mengacu pada suatu definisi, budaya adalah satu sistem peradaban masyarakat yang mencerminkan tata kehidupan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Budaya tercermin dalam berbagai bentuk: Tata hubungan dan bahasa, adat istiadat, seni lukis, seni tari, seni suara, dan tulisan-tulisan. Dengan demikian budaya satu suku atau komunitas sangat memengaruhi sikap hidup dan sikap kerja atau etos kerja masyarakat tersebut.
Bagaimana dengan Budaya Batak? Menurut Prof. Payaman, Budaya Batak merupakan budaya yang tinggi di dunia karena mengandung nilai-nilai luhur dan pandangan hidup yang tinggi pula. Budaya Batak mengandung pedoman hidup yang berketeraturan dan beretika, yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Karena Budaya Batak adalah salah satu budaya yang bernilai tinggi, maka kita harus imani sebagai berkat dari Tuhan yang diberikan melalui nenek moyang kita jaman dahulu itu. Karena itu, generasi kita sekarang ini patut menyukuri warisan budaya dari nenek moyang kita yang begitu indah dan luhur, dan kita terpanggil untuk menerapkan dan melestarikannya.
Dengan demikian, “Setiap warga Dalihan Natolu perlu menyadari bahwa kita memiliki warisan budaya Batak Dalihan Natolu bukanlah kebetulan atau sekedar rekayasa manusia, akan tetapi merupakan kasih karunia dan rancangan Tuhan, yang perlu dipelihara dan diterapkan secara terus-menerus,” ungkap Prof. Payaman.
Di sini menarik apa yang Prof. Payaman sampaikan dan ada suatu diksi yang baru ia juga katakan, yaitu: warga Dalihan Natolu. Diksi ini memperkaya diksi anak-anak milenial zaman now, misalnya warganet (netizen: internet citizen). “Keren ini Prof. Payaman,” komentar BTS.
Ok, kita lanjut pada tulisan Prof. Payaman. Prof. Payaman melihat bahwa sampai sekarang ini masyarakat Batak masih konsisten memelihara dan menerapkan adat Dalihan Natolu, terutama dalam acara adat perkawinan dan acara adat kematian, termasuk di daerah diaspora di dalam dan di luar negeri.
Sebagaimana kita ketahui, di masa sekitar dua tahun pandemi Covid-19, pelaksanaan adat Dalihan Natolu sangat terganggu. Meskipun demikian, masyarakat Batak tetap mengupayakan dan melaksanakan adat tersebut dengan keterbatasan protokol kesehatan. Dengan penurunan intensitas pandemi korona dalam beberapa bulan terakhir ini, penerapan adat Dalihan Natolu sudah mulai mendekati kebiasaannya. Sekiranya pelaksanaan acara adat onsite (bukan online) dapat berlanjut.
Di beberapa daerah seperti di Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek, para Pengurus Marga-marga telah bersepakat melakukan beberapa penyederhanaan pelaksanaan adat, tanpa mengurangi esensi dari adat itu. Tujuannya, supaya lebih mudah dipahami para generasi muda dan dapat dilaksanakan secara sederhana dengan biaya yang terjangkau masing-masing keluarga pada umumnya. Dengan kebijakan seperti itu, generasi muda tidak apriori menolak pelaksanaan adat, dan adat Dalihan Natolu dapat terus lestari.
Sementara itu, di sisi lain, Prof. Payaman menyatakan kegelisahannya berikut ini. Sayang dalam kurun waktu 30-40 tahun terakhir ini semakin banyak masyarakat Batak yang tidak bisa lagi berbahasa Batak. Di daerah diaspora bahasa pengantar di sekolah dan masyarakat umum adalah bahasa Indonesia. Di rumah, kebanyakan keluarga tidak lagi menggunakan bahasa Batak, tetapi bahasa Indonesia. Acara ibadah di Gereja pada umumnya sudah diberi pilihan bahasa Batak dan bahasa Indonesia, dan di beberapa Gereja, jemaat yang mengikuti kebaktian bahasa Indonesia sudah lebih banyak dari jemaat yang mengikuti kebaktian bahasa Batak.
Demikian juga di bonapasogit, walaupun di lingkungan masyarakat masih menggunakan bahasa Batak, namun anak-anak dan generasi muda sudah mulai dominan menggunakan bahasa Indonesia, di sekolah-sekolah dan saat menonton TV, dan terbawa-bawa di lingkungan keluarga. Beberapa Gereja di bonapasogit juga sudah mulai memberikan pilihan kebaktian dalam bahasa Batak dan kebaktian dalam bahasa Indonesia.
Satu alasan yang brilian dari pikiran Prof. Payaman adalah dengan memahami bahasa Batak, kita akan lebih mudah memahami dan meresapi makna adat budaya Dalihan Natolu itu. Dengan memahami bahasa Batak, akan lebih mudah memahami makna dan nilai-nilai umpama dan umpasa, dan dapat diterapkan dalam perilaku sehari-hari, berhubungan di lingkungan keluarga dan berhubungan denga unsur-unsur Dalihan Natolu.
Selanjutnya Prof. Payaman mengajak siapa saja, khususnya orang keturunan Batak perlu melakukan gerakan massal untuk melestarikan bahasa Batak, antara lain:
- Mendorong sekolah-sekolah di bonapasogit, SD, SLTP dan SLTA memberikan kurikulum Adat Budaya Batak termasuk pelajaran Bahasa Batak sebagai muatan lokal;
- Mendorong keluarga-keluarga untuk menggunakan Bahasa Batak di rumah masing-masing;
- Perkumpulan Marga-marga terutama di daerah diaspora, memberikan pelajaran bahasa Batak kepada para generasi mudanya;
- Gereja-Gereja juga memberikan pelajaran bahasa Batak kepada generasi mudanya sebagai bagian dari pelayanan jemaat;
- Menerbitkan buku-buku pelajaran Bahasa Batak dan Adat Budaya Batak.
Terima kasih Prof. Payaman Simanjuntak atas gagasannya. Mungkin, satu hal lagi Prof, soal aksara Batak juga perlu kita lestarikan. Di lain kesempatan mungkin Prof. Payaman dapat juga menyampaikan pokok pikirannya menyoal aksara Batak.
Sumber tulisan: Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak
Editor: Boy Tonggor Siahaan