JAKARTA, DanauToba.org — Berbicara tentang Habatakon (arti harafiah: kebatakan) adalah berbicara tentang filosofi, budaya, tata-krama (praksis), tata-kelola adat-istiadat, relasi, interaksi dengan puak Batak lain, hubungan dengan lingkungan hidup (alam ciptaan Sang Mahakuasa), sesama, dan Sang Pencipta (lebih ke tanggung jawab).
Banyak orang Batak nyaris tidak mengenal lagi nilai-nilai luhur dan mulia dari habatakon. Begitu juga cukup banyak orang Batak kurang memahami adat, terutama dari generasi muda Batak. Bahkan yang sangat menyedihkan, ada orang Batak salah memahami adat Batak, sehingga ia bakar ulos Batak atau menghancurkan ukiran-ukiran gorga.
Bagi generasi Batak yang tidak dapat dikatakan muda lagi merasa prihatin melihat generasi muda saat ini kurang memahami habatakon. Dua lembaga yang peduli pada habatakon, yaitu: Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dan Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI) menyelenggarakan Diskusi Kamisan di Sekretariat YPDT, Jakarta Timur.
Pemantik diskusinya adalah Laksda (Purn.) Ir. Drs. Bonar Simangunsong, M.Sc (salah satu anggota Pengawas YPDT dan pernah menjadi Ketua Seminar Nasional mengenai Habatahon dan Nilai-nilai Pancasila pada 1995).
Sebelum kita membicarakan aspek habatakon, Simangunsong mengawali diskusi dengan pertanyaan: Apa yang kita fahami tentang budaya? Budaya (serapan dari bahasa Sangsekerta, yaitu: budhayah – tunggal atau budhi – jamak) secara harafiah berarti budi atau akal.
Menurut Koendjaraningrat, budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Pendapat lain, Suparlan mengatakan bahwa budaya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang selektif, kayakinan, dan nilai luhur yang dapat digunakan memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi serta untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Terkait dengan nilai habatakon, kita cukup banyak yang kurang faham. Secara harafiah nilai habatakon adalah nilai luhur suku Batak yang dipegang sebagai falsafah hidupnya (risa ngolu). Kita juga harus memahami apa itu falsafah? Falsafah adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, azas-azas, hukum, dan sebagainya dari segala sesuatu yang ada dalam alam semesta atau pun kebenaran dan arti “adanya” (being) sesuatu.
Bagaimana dengan adat Batak? Apakah kita cukup faham tentang adat Batak? Adat Batak itu sendiri mengandung beberapa hal, antara lain: budaya, wawasan, paradigma, dan adat-istiadat. Adat-istiadat itu sendiri merupakan kebiasaan atau kelaziman suatu komunitas melakukan ritual atau teknis pelaksanaan adat atau budaya.
Adat Batak sifatnya terbuka. Ketika Kekristenan masuk ke dalam komunitas Batak yang memegang adatnya, maka hal-hal yang bersifat magis kepada sesuatu yang tidak diketahui digantikan dengan ALLAH TRITUNGGAL (ALLAH Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus).
Catatan kita tentang falsafah habatakon, antara lain:
- Belum ada satu pun komunitas atau puak Batak yang memiliki pedoman khusus tertulis mendokumentasikan habatakon. Ini menjadi tantangan orang-orang Batak ke depan menyusun pedoman tersebut mumpung generasi yang lebih tua dari kita masih hidup untuk diekplorasi pemahaman mereka tentang habatakon.
- Nilai luhur habatakon banyak tertera atau terkandung di dalam perumpamaan Batak (umpasa). Lagi-lagi pendokumentasian dan pengeplorasian umpasa tersebut perlu dikerjakan oleh semua puak Batak.
- Dongeng (huri turian) nyaris tidak diceritakan lagi secara turun-temurun kepada anak-cucu generasi penerus bangso Batak. Tradisi mendongeng perlu dipertimbangkan kembali.
- Terpusat pada manusia Batak, sejauh ini tidak ditemukan yang terkait dengan alam.
- Terkait dengan kepercayaan, sebelumnya kepercayaan mulajadi na bolon, tetapi ada yang bertentangan dengan iman Kristiani.
- Terkait kepemimpinan.
- Terkait dengan musyawarah.
- Habatakon adalah falsafah terbuka.
- Disampaikan secara lisan.
- Cita-cita orang Batak: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon.
- Pendekatan antropologi: rahang besar dan otak besar.
- Hambatan: hotel
- Huta (desa/dusun) dikelilingi bambu (bulu). Filosofinya persaingan ketat dan melindungi dari ancaman dari luar, seperti ular dan binatang buas.
- Lingkungan alam di mana angin cukup keras dan tandus, sehingga harus kerja keras.
Bagaimana kita menghubungkan antara habatakon dan PerPres No. 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKDT)?
Kita bersyukur bahwa dalam PerPres tersebut pada pasal 17 budaya (suku Batak) diperhatikan dalam BOPKDT. Adat Batak dapat digunakan untuk memperlancar pengelolaan PKDT. Ini berarti suku Batak turut serta membangun pariwisata di Danau Toba dan justru tidak menghambat. Adat Batak dapat menjadi komoditas yang disajikan kepada para turis dalam negeri dan luar negeri. Karena itu, kita perlu mengkaji adat Batak yang disesuaikan dengan tujuan pariwisata di KDT. (BTS)
Maju terus bangso batak.
Proud be batak