JAKARTA, DanauToba.org — Apakah rumah tradisional (adat) termasuk bangunan tua yang perlu dilestarikan? Sejauh ini pemerintah lebih mengutamakan pelestarian bangunan-bangunan tua berarsitektur Indis peninggalan masa kolonial, misalnya Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang, Kota Baru Yogyakarta, dan beberapa peninggalan masa kolonial lainnya. Padahal di Indonesia sangat banyak bangunan-bangunan tua berupa rumah tradisional (adat) yang jauh lebih bermakna yang menunjukkan identitas dan integritas suku-suku bangsa di Indonesia. Karena sangat minimnya kepedulian dan perhatian kita terhadap bangunan-bangunan tua, khususnya rumah-rumah tradisional (adat), maka Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), Komunitas Seniman Tradisi Sumatera Utara (Kosentra Sumut), dan pengelola Anjungan SUMUT Taman Mini Indonesia Indah, menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema: Menyelamatkan Rumah Adat Batak (Save Batak’s House), pada Kamis (3/3/2016) pukul 14.30-18.00 WIB, di Anjungan Sumut, TMII, Jakarta Timur.
Pelaksanaan FGD dilatarbelakangi adanya peristiwa kebakaran empat unit rumah Batak Jangga Dolok yang telah berusia 200–250 tahun di Huta Lumban Binanga, Desa Jangga Dolok, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara pada Jumat (1/1/2016) lalu.
Forum FGD menghimpun pandangan dan pemikiran dari berbagai perspektif seperti arsitektur, sejarah, budaya dan tradisi Batak, kesenian, dan pemerintahan, untuk menyelamatkan rumah tradisional Batak yang semakin tergerus arus zaman dan modernisasi. Sebagai Pemandu FGD, Jhohannes Marbun mewakili YPDT yang selama ini juga dikenal sebagai pemerhati warisan budaya di tanah air memberikan informasi bahwa setidaknya ada 12 (dua belas) peristiwa kebakaran Ruma atau Sopo Batak dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir (2010-2016), termasuk Ruma Batak Jangga Dolok. Diduga peristiwa kebakaran sejenis jauh lebih banyak daripada yang diberitakan media selama ini.
Para peserta FGD membahas masalah-masalah semakin banyaknya rumah-rumah tradisional Batak yang terancam punah karena berbagai faktor, misalnya terbakar, rusak, dan tidak terawat. Tentu saja hal ini menjadi keprihatinan orang-orang Batak yang masih peduli akan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur bangso Batak
Dr. Bisuk Siahaan memiliki kepedulian yang kuat akan hal tersebut. “Orang Batak di masa sekarang hampir sudah kehilangan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur bangso Batak. Saya sangat terkejut ketika mendengar di Belanda ada pameran barang-barang leluhur peninggalan bangso Batak selama 3 (tiga) bulan. Mendengar hal itu, saya penasaran ingin melihatnya,” demikian kata penulis buku “Warisan Leluhur Batak yang Terancam Punah”. Karena hal itulah Bisuk Siahaan menyadari bahwa orang di luar Bataklah sekarang yang memiliki peninggalan leluhur nenek-moyang suku Batak. “Orang-orang Jerman dan Belanda masih menyimpan barang-barang leluhur tersebut,” ujarnya.
Menyadari bahwa warisan leluhur Batak suatu saat akan punah jika dari sekarang kita tidak melestarikannya, Dr. Cosmas Batubara mengatakan bahwa kami yang sudah senior-senior ini sangat mendukung upaya dan usaha kalian yang masih muda-muda ini untuk menyelamatkan dan melestarikan peninggalan leluhur bangso Batak, salah satunya dengan menyelamatkan rumah tradisional Batak.
Menanggapi Batubara, Drs. Jerry RH Sirait menyatakan bahwa dengan melestarikan rumah tradisional Batak (Ruma Batak dan Sopo Batak), maka kita sudah melestarikan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur bangso Batak. Mengapa demikian? Karena dalam rumah tradisional Batak, kita menemukan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur bangso Batak. Selain itu, kita juga perlu melestarikan warisan Habatahon. “Banyak harta warisan Habatahon hampir tidak ada lagi kita temukan. Padahal habatahon itu bukan sekadar budaya, tetapi di dalamnya ada filsafat Batak,” kata Sirait lebih lanjut.
Berbicara soal rumah tradisional Batak, Tatan Daniel menanggapi bahwa hilangnya rumah tradisional Batak berarti hilangnya kampung adat Batak. Kampung adat Batak adalah tempat di mana disimpan nyanyi-nyanyian, lak-lak, tonggo-tonggo, dan lain-lain. Di dalamnya ada filosofi Batak. Kalau kita serius, kita bisa membangun kembali kampung adat Batak dengan membangun kembali rumah tradisional Batak.
Dari perspektif kebudayaan dan sejarahnya, bangso Batak memiliki banyak kekayaan. Dari rumah tradisionalnya saja, kita sudah dapat melihat kekayaan tersebut. Gunawan Tjahjono menegaskan bahwa membangun rumah berarti membangun diri dari suatu komunitas. Jika kita melestarikan rumah tradisional berarti kita melestarikan pengetahuannya. Saat ini kita semakin kehilangan hal tersebut. Perlu tindakan penyelamatan rumah tradisional Batak.
Berdasarkan pengamatan bahwa problematika dilematis kehilangan rumah tradisional di seluruh nusantara adalah kebakaran. “Problem rumah tradisional rata-rata karena terbakar,” demikian kata Gregorius Antar. Selain itu, kita banyak mengalami kesulitan untuk melestarikan rumah tradisional karena kita ini sekarang hidup di budaya modern. Budaya modern identik dengan budaya tulisan. Sebaliknya, nenek-moyang kita dulu hidup dalam budaya lisan. Kadangkala untuk menyampaikan budaya lisan itu kepada komunitas untuk dapat diingat, mereka terjemahkan dalam wujud simbol-simbol berupa ukiran, pahatan, dan patung.
Menurut Gregorius Antar, “Orang yang mendapatkan pendidikan modern berpendapat bahwa Rumah tradisional dianggap zaman kebodohan. Orang-orang pada zaman tersebut masih percaya roh-roh orang yang sudah mati.” Akibatnya ketertarikan untuk melestarikan rumah tradisional tidak ada sama sekali. Padahal sebenarnya rumah tradisional itu memiliki kearifan lokal yang tidak tertandingi oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di masa modern. Sebagai contoh, rumah tradisional Batak adalah rumah yang didesain untuk tahan gempa secara vertikal dan horisontal karena memang kawasan mereka tinggal rawan gempa ketika itu. Bandingkan hal tersebut dengan rumah modern yang terbuat dari batu, pasir, dan semen. Gempa skala kecil saja sudah membuat rumah modern rusak.
Sesungguhnya kelebihan yang dimiliki rumah Batak dapat dipelajari dan kita mencoba mengusahakan membangun kembali rumah Batak atau memperbaiki rumah Batak yang sudah rusak dan rapuh sebelum rumah itu roboh dan hancur. Parlin Sianipar mengusulkan kepada peserta FGD untuk melakukan bedah rumah Batak.
Menanggapi usulan Parlin Sianipar, Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) mengajak forum untuk membentuk Tim untuk merevitalisasi Ruma Batak dalam rangka menyonsong Kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia melibatkan seluruh stakeholder dan masyarakat di Kawasan Danau Toba, bisa dimulai dengan pembangunan Ruma Batak Jangga Dolok. Selain itu penting dilakukan bedah Ruma Batak di kawasan Danau Toba untuk menggali kembali nilai-nilai dari sisi arsitektur, budaya, kearifan lokal, bahan material, dan teknologi konvensional pembuatannya. Gregorius Antar sepakat dengan usulan tersebut dan menyarankan untuk melibatkan mahasiswa untuk live in mengerjakan bedah rumah tersebut.
Hasil akhir dari FGD ini sepakat merekomendasikan pembentukan Tim Bedah Rumah yang akan berkoordinasi antara YPDT, Kosentra Sumut, dan lembaga-lembaga lain yang akan ditentukan kemudian.
FGD ini dihadiri para pakar di bidangnya masing-masing, tokoh-tokoh Batak, pemerhati budaya dan tradisi Batak, arsitek, maupun akademisi di antaranya: Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M.Arch., Ph.D. (Guru Besar Arsitek Universitas Indonesia), Dr. Ir. Bisuk Siahaan (tokoh Batak dan penulis buku “Warisan Leluhur Batak yang Terancam Punah”), Prof. Dr.-Ing. Ir. Uras Siahaan (Guru Besar Arsitek Universitas Kristen Indonesia), Ir. Galuh Widati, M,Sc. (Dekan Fakultas Teknik UKI), Dr. Cosmas Batubara (tokoh Batak/Mantan Menteri), Ir. Parlin Sianipar (Forum Masyarakat Balige), Tatan Daniel, S.Sos (Kepala Anjungan Sumut TMII), Ir. Joyce Sitompul br. Manik (Ketua Kosentra Sumut), Ir. Jesman Gultom (Ahli Aksara Batak/ Kosentra Sumut), Drs. Maruap Siahaan, MBA (Ketua Umum YPDT), Drs. Jerry RH Sirait (Tokoh Budaya dan Pendidikan, YPDT), Saut Poltak Tambunan (Sastrawan Batak dan YPDT), Jhohannes Marbun (YPDT, pemerhati warisan budaya di tanah air melalui komunitas Masyarakat Advokasi Warisan Budaya/ MADYA), Gregorius Antar (Arsitek dan pemerhati rumah-rumah tradisional nusantara), Dr. Ir. Parluhutan Manurung (salah satu pewaris Ruma Batak yang terbakar di Jangga Dolok), Mula Sinaga (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI), Hulman Tambunan (pemerhati rumah Batak dan YPDT), Boy Tonggor Siahaan (YPDT, teolog dan pemerhati isu-isu sosial, budaya, dan hubungan antarumat beragama dan lintas kepercayaan/agama). (bts)