DanauToba.org — Kita mengenang 114 tahun gugurnya Raja Si Singamangaraja XII, Pahlawan Nasional, raja dan pejuang dari Tano Batak. Raja Sisingamangaraja XII (RSSM XII) gugur di tangan para penjajah dari Belanda pada 17 Juni 1907. Perjuangannya melawan Belanda mungkin salah satu perang gerilya yang paling menggetarkan dalam sejarah Republik ini, bahkan untuk ukuran dunia. 29 tahun. Satu generasi.
Perang Batak adalah perang mempertahankan “jatidiri” dan “harga diri” orang Batak melawan pemerintahan kolonial Belanda. “Jatidiri” itu adalah pemerintahan sosial-spritual Bangso Batak yang tertata dalam sistem BIUS.
Pemerintahan Bius berpijak pada identitas hidup bangso Batak: huta na marmarga, marga na marhuta. Setiap huta adalah milik (unit-unit) marga, dan setiap (unit) marga punya huta.
Setiap huta memiliki Raja Huta yang memiliki otoritas di huta masing-masing. Raja-raja Huta bersatu dalam Horja, dipimpin Raja Paijolo, yang dipilih dari Raja-raja Huta. Horja-horja bersatu dalam Bius, dalam pemerintahan yang biasa disebut Raja Maropat, yang dipilih dari Raja-Raja Horja. Bius inilah pemerintahan sosial yang mengatur segala aspek kehidupan di Tano Batak. Semua Horja dan Huta merasa bagian dan patuh pada keputusan Bius. Eksistensi sebuah huta sah dan terhormat, kalau ia diakui dalam Horja dan Bius. Konon, ada 300-an Bius di wilayah Tano Batak.
Jadi, Bius adalah pemerintahan otonom yang demokratis. Tapi semua Bius berpatokan dan berorientasi pada pesan-pesan dan saran Raja Si Singamangaraja. Di situlah letak “Kerajaan” dari Dinasti Sisingamangaraja. Ia bukan Raja yang berkuasa secara fisik teritorial, tetapi lebih pada kuasa spiritual. Karena itu pemerintah kolonial Belanda dalam surat resmi menyebutnya “Priesterkoning” – Raja Imam.
Untuk melemahkan Tano Batak dan Raja Si Singamarangaja XII, pemerintah kolonial Belanda membubarkan Bius. Diangkatlah Raja Paidua, dan aparat pemeritahan baru, Demang, Kapala Nagari, dan unit-unit pendukungnya. Banyak orang Batak yang tergoda dengan jabatan-jabatan dan kekuasaan baru dari Belanda. Mereka umumnya orang-orang yang tidak mendapat tempat dalam pemerintan Horja dan Bius. Divide et impera, dipecah-belah agar bisa dikuasai. Begitulah konsep penjajah di mana-mana. Pemerintahan Bius buyar dan melemah. Dan itulah yang ingin dipertahankan Raja Si Singamangaraja XII.
Bius memang tetap dibolehkan ada oleh pemerintah Belanda, tetapi tidak lagi mengatur persoalan kehidupan sosial-ekonomi-spritual masyarakat. Bius hanya mengurusi persoalan adat. Jadi, kalau sekarang kita masih mendengar istilah bius, umumnya hanya mengurusi persoalan atau kesepakatan adat.
Di sisi lain, missionaris juga menginginkan Bius bubar, agar ajaran Kristen bisa masuk. Karena di dalam pemerintahan Bius ada Parbaringin, yang mengurusi persoalan spiritual dan ritual-ritual kehidupan Batak asli. Kalau kepercayaan asli orang Batak tidak dihilangkan, tidak dikafirkan, tentu ajaran Kristen tidak masuk. Jangan sebut kepercayaan itu Parmalim. Istilah Parmalim muncul sebagai nama bagi saudara-saudara kita yang menganut kepercayaan Batak asli setelah Kristen datang. Semua leluhur kita dulu penganut kepercayaan Habatakon itu.
Missionaris jelas bertujuan menyebarkan agama. Namun demikian, apa relevansi pemerintah kolonial Belanda di Tano Batak (Tapanuli)? Jelas bukan ekonomi. Tapanuli bukan penghasil rempah dan hasil bumi, kecuali kapur barus dan kemenyan. Belanda takut Tano Batak menyatu dengan Aceh, karena mereka tahu sejak awal RSSM XII dekat dengan Aceh. Bahkan mereka saling bertukar panglima. Ada panglima-panglima pejuang Aceh yang mendampingi Raja Si Singamangaraja XII sampai akhir hidupnya.
Belanda sangat takut dan sangt sulit mengalahkan Aceh. Mereka sampai melakukan bumi-hangus dan pembantaian biadab di banyak tempat. Ada foto-foto sejarahnya.
Jadi, Perang Batak, perang yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII sesungguhnya adalah perang mempertahankan hukum-hukum sosial, politik, adat-istiadat, yang dianut masyarakat adat Batak. Raja Si Singamangaraja XII sejatinya Pahlawan Masyarakat Adat.
Apa “jatidiri” Habatakon itu? Harajaon, Hamalimon, Hatigoran, Habaranion, Habisuhon, Habasaon…Mardebata, Maruhum, Marpatik, Martutur, Maradat… dan berbagai karakter mulia dengan segala aturan dan hukumnya. Perlahan orang Batak kehilangan banyak dari semua itu, karena sudah datang nilai-nilai baru. Kebanggaan jadi bagian dari pemerintahan Belanda, kebanggaan bisa bersekolah, kebanggaan jadi penganut Kristen, dan sebagainya.
Buktinya, dua kali Istana Sisingamangaraja di Lumbanraja, Bakkara, dibakar tentara Belanda (tahun 1878 dan 1883) karena informasi mata-mata orang yang tinggal dekat tempat itu, bahkan konon tergolong kerabat. Begitu pula tempat pengungsian di Lontung, hingga Beliau bersama pasukan dan keluarganya terpaksa hijrah ke Dairi. Raja Si Singamangaraja XII terpaksa melakukan perang gerilya dan akhirnya gugur karena selalu ada orang Batak yang mengkhianati, menjadi mata-mata tentara Belanda.
Satu kenyataan, Pakpak Dairi adalah puak Batak yang paling setia kepada Si Singamangaraja. Selama 17 tahun (dari 1889 hingga 1907) berdomisili dan melakukan perang gerilya dari Pearaja Dairi, tidak pemah ada yang melakukan tindakan pengkhianatan mata-mata seperti yang terjadi di tempat lain. Ketika sudah semakin terdesak, Raja Si Singamangaraja XII bahkan menitipkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil kepada para Partaki (Raja Huta) di Dairi. Sampai mereka ada yang disiksa karena itu.
Bagaimana orang Batak sekarang memaknai perjuangan Raja Si Simangaraja XII ini? Perang Batak adalah perang mempertahankan “jatidiri” dan “harga diri” orang Batak sebagai bangsa yang beradat dan berdaulat. Perang mempertahankan hukum-hukum sosial, politik, adat-istiadat, yang dianut masyarakat adat Batak. Apakah orang Batak saat ini masih memahami dan memiliki jatidiri dan harga diri itu?
Perjuangan Melawan Penjajah Tano Batak
Bukan suatu kebetulan perjuangan RSSM XII menginspirasi perjuangan tiga orang Batak melawan penjajah tano Batak. Pada hari yang bersamaan 17 Juni 2021, hari keempat tiga orang Batak, yaitu: Togu Simorangkir, Oni Anita Martha Hutagalung, Bang Rait (Irwandi Sirait) melakukan aksi jalan kaki dari Balige ke Jakarta, sejauh 1.600 kilometer, untuk menemui Presiden Joko Widodo dan meminta pabrik pulp PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang selama 30 tahun lebih menimbulkan kerusakan ekologis dan menimbulkan konflik sosial di Tano Batak.
Saya tidak mampu mengomentari aksi ini. Ketika Togu memberitahu niat itu kepada saya, air mata saya menetes. Terlalu gila, terlalu nekad, dan terlalu banyak yang dilakukan orang ini untuk Tano dan Bangso Batak. Ia 2 kali berenang menyeberangi Danau Toba, untuk mendanai rumah-rumah belajar yang didirikan di berbagai pelosok Samosir. Saya sudah mendatangi semua sopo belajar itu. Ia jalan kaki 300 kilometer lebih, mengelilingi Danau Toba untuk mencari dana operasional 2 kapal belajar. Ia mengurusi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Siantar, entah dengan dana dari mana.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya tak sanggup mengomentari foto-foto dan video perjalanan mereka. Air mata saya selalu basah melihat sambutan dan dukungan orang kecil terhadap perjuangan mereka. Seorang bapak muda, sambil menggendong anaknya di punggung, mencegat dan memberikan 3 buah pepaya… Air mata saya bercucuran.
Baiklah, Saya tahu benar, betapa hebat-hebat dan kaya-kayanya orang Batak di negeri ini. Bahkan pimpinan-pimpinan di TPL, komisaris dan direktur juga orang Batak. Tapi saya tidak ingin membicarakan itu. Saya hanya mau mengatakan, saya tidak pernah melihat orang segila Togu – Anita – Irwandi untuk membela jatidiri dan harga diri Tano Batak. Lepas dari mereka berhasil atau tidak.
Satu jawaban yang bisa saya temukan dalam batin, hanya dari foto ini. Lihatlah foto ini. Ini foto keluarga, istri dan anak-anak Raja Si Singamagaraja XII ketika beristirahat di Siborongborong. Ketika mendengar RSSM XII gugur, mereka minta ingin melihat jenazah Sang Raja. Mereka diangkut dari tahanan di Sidikalang, lewat Samosir, naik kapal ke Balige, kemudian jalan kaki ke Tarutung. Tetapi ketika mereka tiba, Raja Si Singamangarja XII dan 2 putranya Patuan Anggi dan Patuan Nagari sudah dikebumikan.
Foto yang dipotret Ypes, asisten residen di Siborongborong saat itu, ini satu-satunya foto keluarga Raja Si Singamangaraja XII selama Perang Batak. Lihatlah dua gadis kecil yang duduk di bagian depan. Salah satu darinya adalah Poernama Rea Sinambela, putri terkecil RSSM XII. Dia adalah ompung (nenek), ibunda dari bapaknya Togu Simorangkir.
Itulah jawaban yang bisa saya temukan. Amangboru Togu, darah juang, jatidiri dan harga diri dari Ompung Raja Si Sisingamangaraja XII mengalir dalam tubuhmu. Itu keyakinanku. Semoga Tuhan dan arwah leluhur menyertaimu.
Penulis: Nestor Rico Tambun