JAKARTA, DanauToba.org — “Mengapa pihak asing bukan kita yang membangun Kawasan Danau Toba (KDT)?” pertanyaan ini keluar dari beberapa pegiat dan pemerhati kawasan Danau Toba. Salah satu komentar berasal dari Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (Ketum YPDT), Maruap Siahaan menyoal Pembangunan KDT yang dikelola oleh Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) dengan menggandeng konsultan perencana asing, Aedas.
Pada 31 Januari 2017 lalu, Arief Yahya (Menteri Pariwisata) menerima audiensi dari Aedas Singapura. Perusahaan yang dipimpin oleh Peter Barrett (Executive Principal) ini telah menangani berbagai Urban Design dan Master Planning, Landscape Projects, dan memenangkan berbagai awards di bidang properti dan arsitektur tingkat dunia. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Aedas sedang fokus mendesain visi pengembangan Danau Toba sebagai satu dari sepuluh Destinasi Pariwisata Prioritas.
Barrett sendiri telah memaparkan hasil kajian Aedas untuk Pengembangan Lahan Zona Otoritatif seluas 600 Hektar di Sibisa, Kabupaten Toba Samosir. Paparan tersebut telah dipresentasikan kepada Arief Yahya (Menpar), Hiramsyah (Ketua Tim Pokja 10 Destinasi Pariwisata Prioritas), Don Kardono (Stafsus Menpar Bidang Komunikasi), Dadang Rizki (Deputi Pengembangan Destinasi), dan Arie Prasetyo (Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba).
Menanggapi pertemuan tersebut, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) mempertanyakan mengapa Pemerintah kita memakai pihak asing? Padahal sebenarnya kita banyak memiliki tenaga pakar yang mampu membuat disain berkelas internasional. Namun demikian, persoalan utamanya bukan hal itu saja. Kementerian Pariwisata terkesan kurang melibatkan masyarakat lokal di mana pemangku kepentingan ada di tangan masyarakat lokal yang dipimpin kepala adat atau Raja Turpuk.
YPDT menyarankan agar Pemerintah, dalam hal ini Kemenpar, berdialog dengan pemangku kepentingan yang hidup dalam masyarakat lokal, seperti lembaga-lembaga adat, gereja-gereja, dan komunitas sosial di KDT. Kemenpar dan Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba harus menerima dan mendesain masukan dari para pemangku kepentingan serta melaksanakan pembangunan pariwisata di Danau Toba seturut dengan masukan tersebut.
Sejauh ini, YPDT belum melihat bahwa Kemenpar dan Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba (BPOPDT) melakukan dialog kepada para pemangku kepentingan. Hal ini seharusnya langkah awal yang harus dilakukan, bukan dengan mendengarkan dan melihat presentasi desain pembangunan dari Aedas.
Desain-desain wisata berbasis konsultan merupakan penghamburan uang yang lebih menguntungkan investor. Pemerintah habis mengucurkan dana yang besar yang diperoleh dari utang, tetapi belum tentu mendatangkan wisatawan asing yang sebanding dengan dana yang dikeluarkan tersebut.
Menurut YPDT, potensi pariwisata di KDT itu ada di masyarakat lokal itu sendiri sebagai pemangku kepentingan dan subyek (pemilik) destinasi wisata Danau Toba. Kemenpar dan BPOPDT seharusnya mengeksplorasi potensi-potensi apa saja yang dapat dikembangkan apa yang dimiliki masyarakat lokal. Selain obyek wisata fisik, seperti keindahan Danau Toba, air terjun, situs-situs, hutan-hutan, kuliner-kuliner lokal, dan sebagainya, ada juga obyek wisata non-fisik, seperti kebudayaan lokal, kearifan lokal, filosofi lokal, tatanan nilai etika, kekerabatan, kekeluargaan, adat-istiadat, dan religiositas. Kedua obyek tersebut (fisik dan non-fisik) jauh lebih menjual dibandingkan desain-desain wisata dari luar yang belum tentu cocok (sesuai) dengan nilai-nilai ketimuran kita di Indonesia, khususnya di Tanah Batak.
Selain itu, kalau Kemenpar dan BPOPDT mau mengeksplorasi potensi-potensi tersebut, YPDT yakin hal tersebut tidak akan mengucurkan dana yang terlalu besar karena tinggal diberdayakan saja apa yang ada di masyarakat lokal dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat yang peduli pada sosial-budaya, lingkungan hidup, pertanian, peternakan, kehutanan, keagamaan, dan sebagainya.
Sebelumnya, YPDT dalam suatu kegiatan Diskusi Kamisan (14/7/2016) lalu sudah pernah membahas seperti apa KDT akan dibangun ke depan?
Baca juga: SEPERTI APA KAWASAN DANAU TOBA AKAN DIBANGUN KE DEPAN?
Percakapan Diskusi Kamisan tersebut lebih menekankan peran utama masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata di KDT. Sebenarnya hal ini sudah sejalan dengan dokumen resmi yang dikeluarkan BPOPDT dalam sebuah Seminar Pengembangan Danau Toba. Pada halaman 18 dari Dokumen tersebut tertulis seperti ini dalam bentuk Tabel:
Pada Portofolio Produk, Budaya memperoleh porsi terbesar (60%) dan porsi kedua adalah Alam (35%), sedangkan Buatan Manusia hanya 5%. Kalau Kemenpar dan BPOPDT konsisten mengacu/merujuk pada Portofolio Produk tersebut, maka Kemenpar dan BPOPDT seharusnya memberdayakan saja potensi-potensi yang sudah ada (tersedia), sebagaimana usulan atau saran dari YPDT.
Karena itulah, YPDT mempertanyakan mengapa Buatan Manusia yang 5% itu lebih diprioritaskan Kemenpar dan BPOPDT bukan Budaya (60%) dan Alam (35%)? Semoga pertanyaan kritis YPDT ini mendapat perhatian Pemeritah Indonesia yang dipimpin Presiden Joko Widodo. (BTS dan JM)