JAKARTA, DanauToba.org — Ulos adalah salah-satu kebanggaan Batak, warisan budaya bangsa. Ulos sebagai “lambang pemersatu” Orang/Halak Batak. Ulos sebagai karya sastra unggulan Batak yang tampak pada ulos. Ulos itu adalah lambang, simbol dan stigma Batak; entitas dan identitas Batak.
Ada kekhawatiran bahwa ulos dapat saja punah jika tidak dilestarikan dengan baik dan benar. Jangan marah jika ada orang yang mengatakan ulos akan punah pada waktu dekat. Sama seperti bahasa/hata Batak, aksara Batak, ruma/sopo gorga Batak, kearifan Batak, dan bahkan Tano Batak yang “terancam punah”.
Pertanyaan menggelitik kita: Apakah dengan ditetapkannya Danau Toba sebagai destinasi unggulan pariwisata dapat menangkis ancaman kepunahan tersebut atau justru menguatkannya? Justru pertanyaan tersebut menjadi intropeksi diri bagi orang/halak Batak yang notabene makin terkikis karena peradaban modern dan melupakan jatidirinya sebagai orang Batak.
BATAK CENTER mengambil titik berangkat dari ancaman kepunahan tersebut. Fokus kepedulian BATAK CENTER tidak hanya ulos, tetapi juga pada banyak warisan luhur dari leluhur Halak/Bangso Batak (Batak Raya: Angkola/ Mandailing, Karo, Simalungun, Pakpak, dan Toba).
Fokus pada ulos/hiou/oles/uis tersebut diwujudkan BATAK CENTER dengan menyelenggarakan acara (event) bernama: ULOS FEST 2019. Acara tersebut digelar di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, pada Selasa-Minggu (12-17 November 2019).
Kembali fokus pada ulos, Sandra Niessen yang orang Bolanda itu sudah mengadakan riset/penelitian tentang ulos selama kurang lebih 40 tahun. Hasil risetnya sudah dibukukan pada 2009 (Penerbit: Kitlv Press Lieden): Legacy in Cloth BatakTextiles of Indonesia. Sandra Niessen sudah menyerahkan bukunya kepada Keluarga Jacky Simatupang dan Ani br. Simanjuntak sebagai praktisi ulos pada acara Repatriasi Kain Tenun Tradisi & Dialog Budaya, 24 Agustus 2013.
Ketika itu juga Stephanie Belfrage (kolektor dari Australia) menyerahkan kain-kain Batak/ulos kepada penenun ulos Batak dan Museum Tekstil Jakarta.
Kita dapat membayangkan bagaimana Sandra Niessen telah menemukan kurang-lebih 650 motif ulos dan mencatat “informasi” mengenai ke-650 ulos tersebut, memproses, dan merawatnya. Kita patut menduga bahwa selain 650 motif ulos itu, masih ada lagi yang tidak ditemukan.
Menurutnya, ulos sudah ada sejak 4.000 tahun yang lalu. Hal tersebut ditunjukkannya dalam buku tersebut contoh-contoh ulos yang sudah tua. Ssndra Niessen kecewa karena tidak menemukan alat-alat penenun ulos yang cukup tua. Barulah ia menemukannya setelah mencarinya ke Bali.
Mengacu pada hasil karya riset yang luarbiasa dari Ssndra Niessen, BATAK CENTER “bermimpi” bahwa suatu ketika ulos menjadi warisan budaya dunia. BATAK CENTER mengajak kita, baik masyarakat Batak maupun masyarakat umum, paling tidak mendorong kita untuk sama-sama mengupayakannya.
Sebelum bicara “menjadi warisan budaya dunia” tentu Halak/Bangso Batak tahu dulu bahwa ulos adalah warisan budaya dari leluhur Batak. Untuk itulah perlu konsientisasi tentang ulos itu bagi Halak/Bangso Batak: ada warisan luhur dari leluhur. Baru kemudian kita dapat memahami tentang ragam, motif, dan maknanya. Ada dugaan bahwa para orang tua Batak pun lebih banyak yang tidak tahu daripada yang tahu tentang ulos. Yang tahu pun, ada yang sekadar tahu. Tahu beberapa ulos, ya sudah lumayan.
Pemahaman orang Batak seharusnya memadai pengetahuannya tentang ulos. Apa itu ulos pansamot, ulos hela, ulos parompa, dan lain-lain. Mengapa ulos pansamot mesti pinunsaan/ ragidup, mengapa ulos hela mesti ragi hotang/sirara, mengapa ulos parompa mesti bintang maratur atau mangiring. Mengapa? Pertanyaan ontologis seperti itu mesti dijawab sesuai “pakem“/ruhut-ruhutna. Tidak cukup mengatakan: begitulah kata natuatua (orang-orang yang dituakan). Natuatua mana dan di mana?
Sering saya menyaksikan pemakaian ulos yang tidak pas. Terutama jika mengenakan abit dan hande-hande pinunsaan/ragi dup. Jika mengenakan abit, tidak peduli apa “jantan atau boru-borunya” yang keluar. Jika diparhande-hande sudah pastilah motif disengaja keluar sementara pakemnya bukan seperti itu. Motifnya mesti “disimpan” di dalam. Dan banyak contoh-contoh lainnya dalam kerangka menggunakan ulos dalam posisinya “yang sakral” tetapi di luar pakem.
Saya mengapreasi Gubernur Sumatera Utara yang berencana mengajak bincang-bincang (temu muka secara nasional) dengan puak-puak Batak Raya. Ada yang mesti segera dibicarakan. Bisa-bisa nanti topik bincang-bincang mengulang tema ULOS FEST 2019 ini (ULOS: Ragam, Motif dan Maknanya) dengan pendekatan yang lebih luas dan dalam. Bincang-bincang itu penting, tidak saja “mengenal ragam dan motif ulos lebih jauh” tetapi juga makna dan filosofinya. Sebab tidak ada ulos tanpa filosofi. Lalu dirundingkanlah mana motif ulos yang dijadikan sumber ekonomi kreatif dan mana “yang sakral”. Masalahnya tidak dapat diselesaikan dengan menggerutu di belakang. Ai kenapa begitu???
Sandra Niessen bercerita ulos yang dikenalnya. Tentu ada yang tidak dikenalnya “lagi” karena tidak ada lagi di sini dan kemungkinan ada di Eropa. Mengenai itu Dr. Bisuk Siahaan bercerita panjang lebar dalam bukunya yang tebal itu “Warisan yang Terlupakan” (buku itu diserahkan oleh ponakan kami, Sabam Sirait -Anggota DPD RI, sepulang dari peluncuran buku itu). Bisuk Siahaan bercerita mengenai banyaknya warisan leluhur di luar negeri.
Yang hendak saya katakan, mengenal ke-650 motif itu amatlah sulit dewasa ini. Bisa terjadi dari 650 motif itu pun sudah ada yang “punah”.
Dr. Ir. H. Akbar Tanjung mengusulkan agar di Jakarta ada museum yang menyimpan warisan luhur dari leluhur Batak termasuk ulos di dalamnya. Alm Dr. Cosmas Batubara mengatakan agar museum sebagaimana diangan-angankan itu dilkelola secara modern (pada waktu hidupnya, beliau berjanji akan mencari lahan untuk museum itu dan menyebutnya di daerah Jakarta Timur; sayang sebelum tanah itu ditunjjukkan beliau sudah mendahului kita, RIP).
BATAK CENTER bukan yang pertama. Sudah begitu banyak event yang brrfokus pada ulos baik di Bona Pasogit dan di Jakarta maupun di luar negeri. Pameran Ulos ada di mana-mana.
Sekarang saatnya bersepakat untuk mengangkat “keluhuran” ulos (keluhuran tidak terkait dengan “hasipelebegeon“). Mengenalnya sungguh-sungguh dan kemudian mengakuinya sebagai warisan budaya dari nenek moyang (terinternalisasi dalam kehidupan). Jika di NTT ada kewajiban semua PNS untuk mengenakan “ulos”nya, tentu di Kawasan Danau Toba pun tidak tertutup kemungkinan melakukan hal yang sama.
Bagaimana mengajak kaum milenial mengakui bahwa ulos adalah wsrisan budaya dari leluhur dan mesti memeliharanya, menjadi persoalan tersendiri.
Mengantar ulos sebagai warisan budaya dunia sudah/akan mengalami perjalanan panjang dan merupakan beban berat.
Untuk itu BATAK CENTER mendorong Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintahan Kabupaten terkait dengan ulos perlu mempersiapkannya secara serius.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan perlu membentuk semacam kelompok kerja untuk mempersiapkan berbagai ketentuan sebagaimana disyaratkan PBB/UNESCO. Tentu perlu mengikutserta perguruan tinggi/akademisi, peneliti, pakar, dan praktisi ulos.
Sebagai janji kepada Gubernur Sumatera Utara, BATAK CENTER bersedia sebagai mitra kerja.
Disampaikan oleh: Drs. Jerry R. H. Sirait (Sekretaris Jenderal BATAK CENTER)
Editor: Boy Tonggor Siahaan (Humas BATAK CENTER)