
JAKARTA, DanauToba.org — Ulos adalah salah satu kekayaan warisan leluhur bangsa Batak. Kondisi warisan leluhur tersebut makin tergerus oleh minimnya minat kita mencintai ulos. Generasi muda makin tidak banyak mengetahui dan mamahami makna ulos itu sendiri. Padahal sesungguhnya ulos mampu menjadi media diplomasi kebudayaan yang sejajar dengan peninggalan warisan leluhur Indonesia lainnya, seperti batik misalnya.
Dalam keprihatinan makin tergerusnya ulos, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) memandang perlu dan penting untuk mengangkat kembali ulos menjadi warisan leluhur bangsa Batak untuk dilestarikan. Karena itu, di Sekretariat YPDT di Cawang, Jakarta Timur, YPDT mengadakan diskusi rutin yang dikenal dengan nama Diskusi Kamisan. Pada Kamis (6/10/2016), Diskusi Kamisan ini mengangkat topik diskusi: Ulos Menjadi Media Diplomasi Kebudayaan.
Pengelola Diskusi Kamisan mengundang C. F. Sijabat (pemerhati ulos Silalahi) sebagai pemantik pertama diskusi yang menceritakan pengalamannya untuk berusaha agar ulos-ulos Silalahi tidak tergerus. Sijabat bercerita bahwa maestro petenun ulos Silalahi tinggal sedikit dan itu pun yang tersisa adalah para petenun yang usianya sekitar 60-an dan belum ada penerusnya. “Jadi ulos Silalahi sekarang makin kritis,” ekspresi sedih Sijabat.

Sijabat menceritakan bahwa dalam percakapannya dengan para petenun ulos yang sudah nenek-nenek itu, mereka mengatakan bahwa ada doanya kalau menenun ulos, yaitu: doa khusus. “Saya tidak habis berpikir mengapa demikian?” tanya Sijabat dalam benaknya ketika itu. Menurut mereka, ulos mengandung makna doa dan simbol cinta-kasih dari si petenun.
Selain petenun di Silalahi yang kebanyakan sudah tua dan tinggal sedikit itu, di Paropo juga hanya ada 4 petenun yang berusia antara 72-75 tahun. Di sana tidak ada lagi anak muda yang meneruskan bertenun karena mereka lebih suka mencabut dan mengupas bawang.
“Melihat keterancaman ulos ini, saya coba ke Pak Sadiman Sigiro. Saya minta amang (bapak) itu agar dibuat kelas martonun (bertenun) ulos di Silalahi ini. Ia setuju dan dibukalah kelas itu dan kami lobi Kadis P dan K yang kebetulan boru Sigiro juga. Janjinya kalau sekali mengajar gurunya diberi imbalan Rp50.000. Tetapi ketika saya pulang ke kampung lagi gurunya angkat tangan dan tidak bisa mengajar lagi,” cerita Sijabat.
Upacara adat Batak identik dengan pemakaian ulos. Kalau tidak ada ulos, upacara adat tidak jalan. Karena itu, ulos harus dilestarikan.

Pada masa kini, ibu-ibu boru Batak lebih senang mamakai songket ketimbang ulos. Kalau hal ini terus dibiarkan, maka ulos akan tersingkir oleh songket. Karena itu, Sijabat menyarankan kepada ibu-ibu boru Batak untuk menggunakan ulos ketika ada upacara adat Batak agar anak-anaknya meneruskan tradisi pemakaian ulos tersebut.
Selain yang disebutkan di atas, Sijabat juga mengatakan bahwa untuk merealisasikan pelestarian ulos ditempuh jalan dengan mengunjungi raja-raja adat atau parhata dengan membawa ulos dan menggali informasi sebanyak-banyaknya terkait ulos tersebut.
Pemantik kedua, Joyce Sitompul br. Manik berbagi pengalamannya sebagai pegiat fashion menggunakan bahan ulos. “Saya juga ingin ulos bisa jadi fashion,” kata Joyce yang pernah tinggal di AS selama 15 tahun. Joyce menerangkan bahwa ulos kondisinya sudah gawat darurat, butuh penanganan serius menyelamatkan ulos Batak dari kepunahan. Ia tertarik melestarikan ulos melalui fashion. Dengan latar belakang pendidikannya dari Arsitek UI, Joyce banyak mendisain fashion ulosnya.
Bukan ulos saja yang digeluti Joyce, tetapi juga gorga (batik) Batak. Rancangan gorganya, ia ambil dari model ukiran gorga rumah adat Batak. Sebagai Ketua Umum Komunitas Seniman Sumatera Utara (Kosentra), Joyce bersama pegiat seni Batak dan kerjasama dengan Anjungan Sumut TMII telah memiliki koleksi berbagai macam Gorga Batak yang berasal dari 8 puak. Ia pun membuka les membatik khas gorga Batak di Anjungan Sumut TMII.
Menanggapi paparan kedua pemantik diskusi tersebut, khususnya tentang makin terabaikannya ulos sebagai warisan budaya Batak, Darman Siahaan (Ketua Umum Naposo Batak se-Jabotabek atau NABAJA) berkata:
“Jangan kita menyalahkan orang muda. Karena bagaimanapun juga mereka tidak lepas dari didikan orangtua mereka. Jadi mulai dari diri kita masing-masing, mulai terhadap anak-anak kita masing-masing. Kalau kita sendiri tidak bisa mengajak anak kita mengenal budaya batak, bagaimana mungkin kita mengajak anak muda lain untuk mengenal budaya tersebut bahkan mempersalahkannya.” Hal ini menjadi catatan kita untuk diatasi.
Mardi F. N. Sinaga juga merespons lain. Saking berharganya ulos di mata mantan Ketum Panitia GCDT 2015 ini, ia menyimpan ulos di tempat yang spesial. Menurut dugaannya, ulos mungkin juga dipakai sebagai alat komunikasi antaretnik di KDT. Ulos memiliki makna (value) dalam disain tenunannya. Karena itu, ulos jangan sekadar dilihat sebagai kain. Ulos pun dapat saja dibuat di kertas misalnya, atau di media lainnya. Yang patut ita perhatikan apa fungsi ulos itu? Apakah ulos berfungsi sebagai pakaian, alat komunikasi, persaudaraan, atau yang lain? Fungsi-fungsi ulos seperti inilah yang patut kita gali, baik maknanya secara sakral maupun profan.
Ronsen Pasaribu sepakat kalau ulos disesuaikan untuk pemanfaatannya. Ada mashab adat, ada mashab yang ingin mengembangkan ulos sebagai fashion. “Saya teringat orangtua saya pernah berkata kepada saya, simpanlah gabe parompaanmu. Jadi sebenarnya bukan untuk disimpan, tetapi perlu dimanfaatkan. Maka saya setuju untuk terkait pelestarian diserahkanlah ke raja-raja adat untuk merumuskannya,” kata Ketum Forum Bangso Batak Indonesia (FBBI) ini.
Diskusi Kamisan tentang ulos ini sangat hangat, sehingga menghabiskan waktu lebih dari 3 jam. Kehangatan diskusi terjadi karena natua-tua kita (yang dituakan), ompung Jerry R.H. Sirait (Pengawas YPDT), memperlihatkan kepada forum ulos yang usianya sudah 100 tahun lebih. Selain ulos yang melebihi usia si pemiliknya, Sirait juga membawa banyak ulos dengan memberi penjelasan apa dan bagaimana pemakaian masing-masing ulos tesebut. Tidak mau kalah dengan Sirait, Deacy Maria Lumbanraja juga mengeluarkan koleksi ulosnya yang langka. Deacy termasuk orang yang rajin berburu ulos. Kalau ada ulos yang langka, ia akan beli.
Diskusi ini pun dihadiri Thomson Hutasoit (dari Opera Batak) dan Shandy Marpaung (dari Rumah Mengajar di Sianjur Mula-mula). Hutasoit termasuk orang yang sangat prihatin dengan para petenun ulos. Ia sudah beberapa kali mengusahakan agar para petenun ulos tetap survive, salah satunya melalui Opera Batak. Namun karena keterbatasannya, ia hanya mampu berbuat sesuai kapasitasnya.
Kamisan yang dihadiri hingga 30 orang ini akhirnya ditutup dengan harapan Maruap Siahaan (Ketum YPDT) agar kita dapat melestarikan ulos sebagai salah satu warisan budaya leluhur ompung kita. “YPDT memiliki komitmen untuk pelestarian budaya Batak dengan menggali kearifan lokal di KDT. Komitmen YPDT juga tetap fokus pada pelestarian lingkungan hidup di KDT. Siapapun para perusak lingkungan hidup di KDT, mereka akan berhadapan dengan YPDT. Karena itu, setiap Diskusi Kamisan yang diselenggarakan YPDT bukan sekadar omdo (omong doang), tetapi tetap ditindaklanjuti oleh YPDT,” demikian tegas Ketum YPDT. (BTS dan JM)