JAKARTA, DanauToba.org — Persoalan memburuknya kualitas dan kuantitas air di Danau Toba merupakan akumulasi dari berbagai masalah pencemaran lingkungan dan masalah-masalah lain yang juga ikut berkontribusi, seperti masalah ekonomi, politik, dan sosial-budaya.
Pandangan seperti ini muncul dalam Diskusi Keprihatinan (Diskusi Kamisan) yang diselenggarakan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dan di Sekretariat YPDT dengan topik bahasan Memburuknya Kualitas Air Danau Toba, Kamis (14-04-2016). Acara tersebut dimoderatori oleh Jhohannes Marbun.
Dalam masalah ekonomi, Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) menyatakan bahwa para kapitalis yang notabene hanya 0,02% dari jumlah penduduk Indonesia menguasai 80-90% kapital di Indonesia. Inilah penyebab gap antara yang miskin dan yang kaya. Masyarakat yang miskin sangat rentan diiming-imingi uang atau fasilitas dan mudah dipecah-belah satu sama lain.
Sebagai contoh apa yang disampaikan Mardongan Sigalingging, salah seorang peserta diskusi, mantan Kepala Bappeda Kabupaten Dairi bahwa masyarakat di Kecamatannya meminta Camat agar menyuruh pengusaha ikan pellet tidak menaruh kerambahnya di Danau Toba. Camat tentu saja tidak mau melakukannya karena pengusaha tersebut sudah membuat sarana air bersih di Kecamatan tersebut.
Dalam masalah politik, Sabar Mangadu Tambunan, salah seorang aktivis dan pegiat sosial media mengatakan bahwa di dunia ini bekerja antarkekuatan. Kekuatan tersebut ditentukan oleh negara dan perusahaan (corporate) besar. Kita ini ada di mana? Sialnya antara negara dan perusahaan besar, melakukan konspirasi dan korup. Seharusnya negara yang mengatur perusahaan besar tersebut dan menghukum mereka bila nakal.
Kita harus belajar dari Eropa Barat bahwa industrialisasi membawa janji kemakmuran tertentu dan benar, mereka maju. Namun harus dibayar mahal dengan rusaknya alam dan kehidupan manusia (degradasi budaya dan moralitas). Saat ini, gereja kosong dan melompong, ujar Sabar.
Secara politis, kita telah dipermainkan oleh oknum-oknum korup yang duduk di pemerintahan dan pengusaha-pengusaha yang tidak mempunyai hati nurani. Kita sangat mudah dikotak-kotakkan dan bahkan dipecah belah. Apakah kita mampu bersatu? Jikalau masyarakat tidak mampu bersatu maka konspirasi mereka akan semakin kuat.
Dalam masalah sosial-budaya, Saut Poltak Tambunan mengingatkan bahwa juga tidak boleh melupakan kajian sosial-budaya. Makin mundurnya masyarakat Batak memahami sosial-budayanya, maka hal itu juga membawa masalah mundurnya pemahaman nilai-nilai sosial-budaya akan Danau Toba. Budaya luar yang masuk ke KDT dan adanya pembiaran-pembiaran tersebut ditambah lagi rendahnya upaya melestarikan adat dan budaya Batak semakin melengkapi masalah kemunduran tersebut, termasuk memudarnya kearifan masyarakat dalam melestarikan alam dan lingkungan, khususnya di kawasan Danau Toba.
Jerry RH Sirait, Pengawas YPDT menambahkan bahwa dahulunya masyarakat Batak sangat memegang teguh prinsip “Tao Toba na uli, aek na tio, mual hangoluan”. Namun kenyataannya air Danau Toba saat ini tidak lagi bisa dikonsumsi.
Menanggapi hal tersebut Sandi Ebenezer Situngkir, seorang advokat dan Ketua Departemen Hukum dan Agraria YPDT mengamini apa prinsip masyarakat Batak tersebut, dan tiada jalan lain harus mengembalikan kualitas dan kuantitas air Danau Toba sesuai standar air minum, sebagaimana dahulunya masyarakat mengkonsumsi air minum secara langsung dari air Danau Toba. Oleh karena itu, tiada pilihan lain Danau Toba harus Zero Keramba.
Solusi
Dalam menyikapi berbagai masalah yang sudah diuraikan di atas, para peserta diskusi sepakat melakukan upaya-upaya sebagai berikut: Pertama, membentuk Tim Litigasi dan non-litigasi untuk melakukan kajian perundang-undangan dan pengambilan sample secara teknis untuk mengetahui kondisi terakhir kualitas air Danau Toba. Selanjutnya, membuat naskah akademik yang diharapkan dapat dijadikan acuan bersama masyarakat di KDT untuk memulai langkah-langkah pelestarian Danau Toba secara massal agar menjadi danau yang dapat diminum airnya dan dapat memberikan nilai ekonomis dengan pelestarian fauna danau, khususnya ikan-ikan, yang dapat dinikmati masyarakat. Kedua, mendorong Pemerintah/Pemda untuk mengkoordinasikan agar Keramba Jaring Apung di perairan Danau Toba segera ditertibkan dan dibersihkan dari Danau Toba, demi menjaga hak-hak dasar masyarakat lainnya atas akses air Danau Toba yang bersih dan memenuhi standar baku mutu air minum. Ketiga, mengajak seluruh masyarakat, khususnya orang-orang Batak di kawasan Danau Toba secara bersama-sama menyelamatkan kehidupan dan mengembalikan “Tao Toba na uli, aek na tio, mual hangoluan”. Inilah suara kenabian kita bersama. Dan keempat, dalam waktu dekat YPDT akan melakukan pemetaan hutan dan tanah adat di kawasan Danau Toba, untuk itu masyarakat diharapkan turut serta dan mengambil bagian dalam pemetaan tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendukung kepastian bagi semua pihak, baik masyarakat si pemilik tanah yang akan mengelola dan melestarikan hutan serta budaya lokal masyarakat di kawasan Danau Toba, maupun investor yang akan berinvestasi di kawasan Danau Toba. Pemetaan ini penting dalam rangka meminimalisir konflik lahan di kawasan Danau Toba. (BTS)