JAKARTA, DanauToba.org ― Dari manakah kita mulai membangun pariwisata di Danau Toba? Apakah kita membangun dari infrastrukturnya terlebih dahulu atau membangun konten (isi) dari pariwisata yang akan dikembangkan di Kawasan Danau Toba (KDT)?
Pertanyaan di atas menantang kita menjawab bagaimana kita berkontribusi dalam pembangunan pariwisata di Danau Toba. Namun, dalam membangun pariwisata di Danau Toba bukan sekadar membangun. Kita juga harus memikirkan supaya pembangunan pariwisata di Danau Toba itu berkelanjutan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) telah kedatangan seorang relawan dari AVI (Australia Voulenteer International) bernama Hank van Apeldoorn. Hank, demikian sapaan akrabnya, akan membantu YPDT bagaimana mengembangkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) untuk Kawasan Danau Toba.
Baca juga: SUKARELAWAN AUSTRALIA BERGABUNG DENGAN YPDT
Karena itulah, pada Diskusi Kamisan yang rutin diselenggarakan YPDT, Hank didaulat sebagai pemantik diskusi dengan topik: Sustainable Tourism for Lake Toba (Pariwisata berkelanjutan untuk Danau Toba). Diskusi ini terlaksana pada Kamis (20/7/2017) di Sekretariat YPDT, Jakarta.
Andaru Satnyoto (Sekretaris Umum YPDT) memperkenalkan Hank terlebih dahulu kepada para peserta diskusi yang hadir. Hank menyambut hangat perkenalan tersebut dengan mengatakan: “Saya senang berjumpa dengan Anda semua.”
Hank menyatakan bahwa ia berada di YPDT untuk membantu YPDT mengidentifikasi, menganalisis, dan mengembangkan situs-situs warisan budaya yang berpotensi untuk pariwisata berkelanjutan di KDT. “Tugas dan tanggung jawab saya adalah berkonsultasi dengan para pemanggu kepentingan (stakeholder) terkait dan membuat rencana kerja untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di KDT,” tutur Hank yang dilahirkan di Bogor ini.
Selama 12 bulan Hank akan melaksanakan tugasnya tersebut. Pertama-tama, ia akan mengidentifikasi dan menginventarisasi destinasi wisata. Kedua, ia akan menganalisis dan mempromosikan pariwisata berkelanjutan di KDT. Ketiga, ia akan membangun basis data (database) dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.
Ada beberapa konsep yang ditawarkan Hank dalam membangun pariwisata berkelanjutan di KDT:
Pertama, kisah fenomenal terbentuknya Danau Toba menjadi daya tarik utama mendorong wisatawan datang berkunjung secara langsung ke Danau Toba. Cerita mitos Danau Toba pun tidak kalah menarik dibandingkan paparan ilmiah terbentuknya Danau Toba. Cerita mitos atau dongeng atau sejarah lisan, Hank menyebutnya oral history, menjadi penting sebagai kekayaan budaya, baik terhadap Danau Toba maupun masyarakat Batak. Menurut Hank, oral history tersebut sangat terkait dengan tanah, lingkungan hidup, pertanian atau ladang, musim dan iklim, musik dan nyanyian rakyat, warna dan tekstur, alat-alat perabotan dan kerajinan, struktur komunitas dan ‘perpolitikan’ lokal, resep dan penyediaan makanan, dan masih banyak lagi.
Kedua, peluang membangun relasi seperti Sister City. Sebagai Sister City, Danau Toba dapat disandingkan dengan:
- Danau Biru Mount Gambier di Australia Selatan;
- Tower Hill, Warrnambool Vic Australia, merupakan sekelompok kerucut scoria dalam jumlah besar, danau yang dipenuhi kawah maar;
- Huckleberry Ridge. Yellowstone, Idaho/Wyoming, AS;
- Baekdu Mountain, pada perbatasan antara Cina Korea Utara;
- Kaldera Aira di Kyushu, Japan, yang terbentuk 22.000 tahun lalu;
- Danau Kurile, Rusia – Laked Kurilskoe Keuai, Kamchatka Krai, Rusia
- Kaldera Pacana di Chile, yang terbentuk kira-kira 4 juta tahun lalu, kaldera tersebut lebarnya 43 mildan panjangnya 22 mil.
Ketiga, pengembangan pariwisata berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat mempengaruhi perubahan positif di mana melalui pariwisata dapat mengurangi dan bahkan memberantas kemiskinan, memastikan kelestarian lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Keempat, mempersiapkan sesuatu hal yang tak terduga. Untuk maksud ini, Hank mencontohkan kisah Nelson Mandela turun ke lapangan bola untuk memberikan tropi dan menjabat tangan François Pienaar, sang kapten Tim Rugby dari Afika Selatan yang berambut pirang. Kisah tersebut meruntuhkan tembok rasisme.
Kelima, peningkatan kapasitas (capacity building). Peningkatan kapasitas masyarakat adalah pendekatan pembangunan berdasarkan konsep dasar bahwa semua orang memiliki bagian yang sama dari sumber daya dunia dan mereka memiliki hak untuk menjadi pelaku perkembangan mereka sendiri. Ini adalah proses mendasar yang melibatkan konsultasi mendalam dengan masyarakat Batak lokal.
Keenam, pendekatan Pengembangan Aset Berbasis Aset (Asset Base Community Development atau ABCD). Ini adalah pendekatan yang mengkatalisis perubahan dan pengembangan berdasarkan pemanfaatan bakat dan kapasitas masyarakat. Model ABCD memang menghambat pengembangan yang dibawa dari sumber luar, namun memberi energi perubahan dan perkembangan dari dalam. Untuk pembangunan yang benar-benar berkelanjutan, penting untuk berfokus pada kekuatan masyarakat versus semata-mata kebutuhannya. Faktor yang penting adalah menemukan daerah di mana aset lokal memenuhi kebutuhan daerah.
Agar mudah mengidentifikasi aset, ada 7 kategori:
- Manusia: orang dan keterampilan, pengetahuan, pengalaman, kepribadian, gagasan;
- Alam: tanah, air, hutan, margasatwa, matahari;
- Fisik: bangunan tetap, struktural atau buatan manusia, bangunan, rumah, gereja;
- Sosial: hubungan, pertemanan, jaringan, tradisi, budaya
- Ekonomi: uang tunai, modal, tabungan, upah, pensiun
- Temporal: waktu, siang hari, musim, umur
- Spiritual: iman, harapan dan cinta, doa, ibadah.
Ketujuh, konsekuensi yang tidak diinginkan. Fotografer dan seniman Chris Jordan telah mendokumentasikan salah satu konsekuensi tragis yang tidak diinginkan dari konsumsi plastik kita dengan foto-foto mayat elang lautnya di Midway Island, Pasifik. Ia memperlihatkan isi perut pada mayat anak elang itu yang penuh dengan plastik. Rupanya induknya memberi makan anak-anaknya dengan plastik. Anak-anak ayam ini mati karena kekurangan gizi dan dehidrasi. Apa konsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan yang bisa kita hindari di Kawasan Danau Toba? Kita harus waspada.
Kedelapan, Kapasitas daya tampung wisata (tourism carrying capacity). Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization) menyatakan bahwa kita perlu menentukan jumlah maksimum orang yang dapat mengunjungi tempat wisata pada saat yang bersamaan, tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya, dan penurunan kualitas yang tidak dapat diterima. Hal itu juga untuk kepuasan pengunjung. “Apa implikasinya bagi Danau Toba yang rapuh?” tanya Hank.
Kesembilan, penggunaan bahasa asing untuk mempromosikan desa-desa yang berpotensi sebagai tempat wisata. Hal tersebut tentu memberikan aspek positif bagi masyarakat lokal, tetapi juga memiliki konsekuensi negatif terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi. Karena itu, para ahli di bidang pariwisata telah memusatkan perhatiannya pada pembangunan berkelanjutan di bidang pariwisata yang bertujuan mencapai efisiensi ekonomi, integritas ekosistem, dan keadilan sosial.
Kesepuluh, pemetaan dan penentuan titik lokasi wisata. Menurut Hank, kebanyakan orang membutuhkan peta sebagai bahan referensi untuk mengidentifikasi tujuan wisata. Karena itu, kita perlu menyediakan banyak bahan wisata tercetak dan konten wisata berbasis web termasuk peta. Untuk Kawasan Danau Toba, peta dan lokasi wisata menjadi prioritas dalam materi promosi yang dirancang.
Apa yang dipaparkan Hank sebagai pemantik diskusi membuka wawasan peserta diskusi melontarkan pertanyaan dan komentar.
Gultom dari Permako (Persekutuan Masyarakat Onan Runggu Membangun) mengatakan bahwa industri pariwisata seharusnya melibatkan masyarakat yang ada di lingkungannya. Namun, masalahnya sekarang sampai sejauh mana masyarakat bisa menerima ini? Karena salah satu poin pariwisata adalah kebersihan. Apakah masyarakat memang mengerti soal kebersihan ini? Kita juga tidak ingin masyarakat ke depan menjadi hatoban (jongos). Jadi perlu membangun masyarakat bisa bangkit dan mengerti. Ini memang suatu pekerjaan yang sulit.
Sandi E. Situngkir (Ketua Departemen Hukum dan Agraria YPDT) menyatakan sangat menarik paparan Hank. Pertama, bagaimana membangun kawasan tersebut, biarlah masyarakat membangun ceritanya sendiri. Kedua, apa yang disampaikan Hank terkait oral history atau turi-turian bahwa di Kawasan Danau Toba memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Itu adalah klaim ketika mereka membayangkan bahwa mereka mempertahankan berdasarkan keyakinan atas cerita turun-termurun yang didapatkan. Artinya, mereka sudah tinggal di sana dan peraturan datang kemudian.
“Untuk pembangunan pariwisata di KDT, kita perlu mengubah cara pandang masyarakat agar menjaga kebersihan pantai,” jelas Amsa Sitanggang.
Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) tertarik dengan carrying capacity (daya dukung) Danau Toba yang disampaikan Hank. “Kalau Danau Toba sudah tercemar dan terus terjadi pencemaran, maka tidak ada jalan lain pencemaran tersebut harus dihentikan,” demikian penegasan Ketum YPDT. Kita ketahui bahwa Danau Toba adalah danau oligotropik. “Jika Danau Toba yang sudah tercemar tersebut tidak ada aktivitas pencemaran lagi, maka air Danau Toba itu bisa memulihkan dirinya 75-80 tahun,” tambah Ketum YPDT.
“Pariwisata Danau Toba secara konsep sudah dimulai sejak 2006 di Samosir, baik dari jangka pendek, menengah, dan panjang. Pariwisata Danau Toba itu tidak bisa dibatasi kewilayahan, tetapi mengacu pada eco-tourism (pariwisata ramah lingkungan). Kami pernah membentuk Forum Pariwisata Danau Toba dan pernah terbaik di Indonesia, kata Mangindar Simbolon (mantan Bupati Samosir).
“Apa sebenarnya masalah Kawasan Danau Toba? Padahal semua tahu bahwa potensinya luar biasa. Tibalah kesimpulan, masalahnya adalah manajemen,“ demikian ungkap Mangindar Simbolon yang pernah menjadi Ketua Forum Pariwisata Danau Toba dari 2007 – 2015.
Menurut Simbolon, selama sekian tahun Gubernur Sumatera Utara tidak pernah pro Danau Toba. “Ketika Tengku Erry masih menjabat Wakil Gubernur/PLT, saya pernah menyarankan perlu pengelolaan dengan diberi kewenangan tertentu. Itulah BODT sekarang ini, tetapi istilahnya berbeda. Organisasi yang ada ini, tetap menginduk atau mengacu arahan Menteri Pariwisata,” ucap Simbolon.
Paparan yang disampaikan Hank sungguh menarik. Hal pertama, kita harus punya konsep dan ada mimpi yang perlu kita bangun. Hal kedua, Danau Toba dengan berbagai potensi tadi, seperti dari sisi geologi, sosial, budaya, alam, dan seterusnya, selama ini penanganannya masih parsial. Contoh, dalam menangani masalah lingkungan, kita lebih fokus ke sana. Memang kita perlu fokus, tetapi harus holistik.
Hal ketiga, kalau bisa kita juga harus obyektif. Kami sudah siapkan bangunan lembaga penelitian Danau untuk meneliti Danau Toba secara obyektif. Kami berharap melalui lembaga penelitian tersebut potensi lokal dapat dioptimalkan.
Hal keempat, terkait sustainable tourism, ketujuh Bupati KDT sudah sepakat kalau Pariwisata KDT berbasis Geopark. Badan Otorita Danau Toba seharusnya memiliki keempat hal seperti itu. Demikian saran dan kritik dari mantan Bupati Samosir ini.
Mengakhiri Diskusi Kamisan, Andaru Satnyoto sebagai moderator mengapresiasi presentasi yang disampaikan Hank. Apa yang sudah dibahas dalam Diskusi Kamisan ini tentunya memperkaya wawasan kita dan memberi masukan kepada Hank sebagai relawan yang akan bekerjasama dengan Tim Inventarisasi 1.000 destinasi wisata KDT.
Baca juga: GERAKAN MENGGAGAS SERIBU OBYEK WISATA DI KAWASAN DANAU TOBA
Ada 22 orang hadir dalam Diskusi Kamisan ini, antara lain: Hank van Apeldoorn, Andaru Satnyoto, Maruap Siahaan, Ocha Simangunsong, SH, MH, Rikardo Marbun, Pdt Marihot Siahaan, Henry Latam Siahaan, Dedy Boy Pangaribuan, Jhohannes Marbun, H. Gultom, Alfons Samosir, Sandi Situngkir, SH, MH, Ocha Sihombing, Susi Rio Panjaitan, Tiendy Rose Panjaitan, Basauli S. Sinaga, Amsa Sitanggang, Mangindar Simbolon, Ida Banjarnahor, Poltak Horas Marbun, Landes Siringoringo, dan Boy Tonggor Siahaan. (BTS)
1 thought on “Membangun Pariwisata Berkelanjutan di Danau Toba”