DanauToba.org — Masyarakat Dairi menyatakan tidak butuh tambang. Mereka hanya butuh udara bersih, lingkungan yang sehat, bebas dari polusi. Keberatan masyarakat Dairi ini terlihat dari aksi demo mereka di tiga titik sekaligus, antara lain: Dairi, Medan, dan Jakarta. Serentak aksi tersebut berlangsung pada Rabu (24/8/2022).
Masyarakat Dairi, Sumatera Utara, yang menamakan dirinya Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Dairi terus menyuarakan kekhawatiran atas kehadiran perusahaan tambang seng di daerah mereka. Mereka was-was ruang hidup hilang dan ancaman bencana. Pihak perusahaan tambang, dalam hal ini PT. Dairi Prima Mineral (DPM), tidak mau peduli atas keluhan masyarakat Dairi. DPM hanya peduli pada keuntungan sesaat.
Ini terbukti karena pihak DPM tidak bersedia memberikan informasi publik terkait operasional pertambangan mereka. Selain itu, pihak pemerintah dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) terkesan melindungi DPM terkait informasi publik tersebut. Padahal KIP (Komisi Informasi Publik) dan PTUN Jakarta sudah memenangkan masyarakat Dairi untuk keterbukaan informasi publik terkait operasional pertambangan DPM.
Karena itulah masyarakat Dairi terus berjuang mempertahankan tanah dan wilayah mereka tidak rusak karena dampak buruk kerusakan lingkungan yang bakal terjadi jika pihak DPM masih terus bertahan tidak mau membuka secara jujur operasional pertambangan mereka. Masyarakat di mana lokasi pertambangan itu berada berhak mengetahui apa yang DPM lakukan dalam mengeksplorasi tambang. Bagaimana studi kelayakan lingkungannya dan amdalnya? Ke mana mereka membuang limbah lingkungan dari pertambangan tersebut?
Sementara itu, pada 2019 perwakilan warga masyarakat dari Desa Pandiangan, Desa Bongkaras dan Desa Sumbari membuat pengaduan ke salah satu lembaga Ombudsman Internasional, yaitu: CAO (Compliance Advisor Ombudsman) yang merupakan bagian dari Bank Dunia dan Badan Kepatuhan Independen yang mengawasi IFC (International Finance Corporation). MIGA juga merupakan bagian dari Bank Dunia terkait pendanaan DPM oleh IFC.
Hasil dari pengaduan tersebut semakin menguatkan kekhawatiran warga Dairi. Dalam laporan CAO (lihat https://bakumsu.or.id/advokasi-tambang/) menyebutkan bahwa tambang yang direncanakan oleh DPM memiliki kombinasi resiko yang tinggi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah terkait pembangunan bendungan limbah yang diusulkan oleh perusahaan tidak sesuai dengan standar internasional.
Laporan CAO tersebut dikuatkan oleh pendapat dua (2) orang ahli, yaitu: Steve Emerman (hidrolog) dan Richard Meehan (ahli bendungan). Mereka mengatakan bahwa rencana pertambangan yang diusulkan tidaklah tepat, karena lokasi tambang berada di hulu desa, berada di atas tanah yang tidak stabil, berada di lokasi gempa tertinggi di dunia. Data DPM tidak lengkap terkhusus data tentang pengelolaan dan penyimpanan limbah.
Keberadaan fasilitas pertambangan, yaitu: pembangunan bedungan limbah seluas 24 ha yang berada di hulu desa menjadi seperti bom waktu bencana besar yang akan datang.
Aksi Demo Serentak
Di Sumatera Utara, aksi demo masyarakat Dairi mendatangi Konsulat Jenderal Tiongkok, Medan, dan mendatangi Kantor Bupati Dairi. Di Jakarta, warga bersama organisasi masyarakat sipil juga mendatangi Kedutaan Tiongkok dan Kementerian Lingkungan Hidup. Di tempat-tempat ini, masyarakat aksi menuntut pemerintah cabut izin agar perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral, tidak beroperasi di daerah mereka.
“Bakal ancaman kehancuran sektor pertanian dan perkebunan di depan mata yang terdampak kepada masyarakat Dairi,” demikian ujar Juniaty Aritonang, Kordinator Studi dan Advokasi Bakumsu. Juniaty mendampingi warga Dairi dalam aksi demo tersebut.
Mata pencarian warga sekitar tambang berasal dari pertanian dan perkebunan, seperti pinang, gambir, dan buah-buahan, salah satu yang terkenal durian Sidikalang. Ada juga yang memanfatkan tanaman hutan seperti gula aren.
“Selain itu, tambang berada di lempengan rawan gempa. Jika sewaktu-waktu aktif rawan gempa tersebut, maka ini makin memperparah dampak ke masyarakat sekaligus menghancurkan sektor-sektor ekonomi. Belum lagi, kerusakan lingkungan akibat pertambangan seperti pencemaran air, polusi udara, dan lain-lain,” tambah Juniaty.
Pada aksi demo di Kedutaan Tiongkok, Jakarta, mereka menyampaikan surat berisi informasi ancaman bencana kalau sampai perusahaan beroperasi di desa-desa mereka.
Aksi mangandug berlangsung di depan Kedutaan Tiongkok. Massa aksi berharap dapat masuk ke dalam untuk berdialog secara langsung dan menyerahkan dokumen yang terdiri dari Petisi Masyarakat, surat terbuka dari masyarakat, dan laporan CAO.
Namun sayang, setelah menunggu konfimasi selama satu (1) jam, masyarakat tidak dapat ijin masuk ke dalam dengan alasan COVID-19. Demikian pula perwakilan dari Kedutaan Tiongkok juga tidak mau keluar untuk menemui massa aksi. Mereka hanya mengutus petugas keamanan untuk menerima dokumen-dokumen tersebut.
Masyarakat yang kecewa akhirnya meninggalkan Kedutaan Tiongkok tanpa menitipkan dokumen tersebut pada security.
Selanjutnya, massa menuju Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sebelum aksi demo, perwakilan masyarakat diundang KLHK untuk beraudiensi.
Ester (dari PDLUK) dan Surya (Bagian Gakkum) serta bagian Humas KLHK menerima perwakilan warga Dairi. Dalam kesempatan tersebut, Mangatur Sihombing sebagai perwakilan masyarakat dari Desa Sumbari menyampaikan terkait isi Laporan CAO, kejadian bocor limbah pada masa eksplorasi DPM pada 2012 dan kejadian banjir bandang pada Desember 2018 yang merenggut tujuh (7) orang korban. Dua korban tidak ditemukan jenazahnya sampai sekarang.
Marlince Sinambela menambahkan betapa dia trauma hingga saat ini jika mengingat musibah banjir bandang yang menyebabkan sawah dan ladang rusak. Masyarakat menuntut pemerintah Indonesia untuk membatalkan proyek ini dan tidak memberikan persetujuan lingkungan ke DPM.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan