JAKARTA, DanauToba.org — Hak masyarakat adat atas tanahnya di negeri kita ini banyak dirampas para oknum yang bermain dengan memelintir UU, khususnya pasal 4 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria (biasanya disebut UU PA). Pasal 4 UU PA inilah yang dijadikan para oknum tidak bertanggung jawab untuk merampas tanah adat atau ulayat demi keuntungan mereka. Masyarakat adat dirugikan melalui permainan tersebut.
“Tanah adat di Republik ini semuanya tidak jalan. Salah satu yang membuatnya tidak jalan karena tanah ini obyek, tetapi tidak mengatur tentang subyeknya. Jadi siapa yang memiliki tanah adatnya? Ini masalahnya dalam kajian kami. Karena itu, otoritasnya yang lebih penting untuk masalah tersebut kita sebut sebagai subyek hukum,” demikian ungkap Abdon Nababan dalam Diskusi Kamisan yang diselenggarakan YPDT pada Kamis (13/10/2016).
Tentang masyarakat adat, ini sudah diamanatkan oleh Undang-Undang. Sesungguhnya inti dari UU PA adalah upaya memulihkan hak-hak masyarakat adat dari doktrin kolonial, yaitu: domain velklaring. Pada domain ini semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya maka dianggap tanah negara. Jadi pada 1870, sebenarnya telah terjadi perampasan tanah-tanah adat karena tidak bisa membuktikan secara tertulis. Karena itu, inilah yang ingin dipulihkan melalui UU PA.
Selain masyarakat adat, ada juga apa yang kita sebut ulayat. Istilah ulayat ini adalah wilayah atau teritori yang pemaknaannya adalah kewenangannya atau otoritasnya mengatur wilayah tanah adat.
Bagi orang Batak ada dua kewenangan ulayat, yaitu: huta (desa) atau bius. Jadi semua otoritasnya di bawah kendali raja huta atau raja bius.
Soekarno, Presiden pertama kita, telah memikirkan bagaimana masyarakat adat tidak dirampas ulayatnya. Menurut Sandi Ebenezer Situngkir (Ketua Departmen Hukum dan Agraria YPDT) menyatakan:
“Soekarno, menempatkan hukum adat sebagai pilihan hukum utama dalam tata kelola pertanahan di Indonesia. Ini adalah pilihan “paten” karena masyarakat Indonesia hidup dalam naungan hukum adat dengan corak dan ragam se-nusantara. Soekarno juga sangat menyadari keindonesiaan. Masyarakat Indonesia yang lebih adil dan makmur apabila aspek agama turut serta dalam memelihara tata kelola pertanahan secara nasional. Oleh karena itu, dalam Konsiderans, bagian berpendapat dan Pasal 5 UU RI No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria memuat hukum adat sebagai hukum utama dengan bersandarkan hukum agama-agama di Indonesia.”
“Hukum adat dan bersandarkan pada hukum agama adalah pikiran orisinil Soekarno untuk melindungi negara dan rakyat Indonesia dari terjangan feodalisme dan kapitalisme modern,” tegas Sandi. Kita patut berterimakasih kepada Soekarno atas UU PA ini yang memberi otoritas penuh kepada masyarakat adat atas ulayatnya, sehingga masyarakat adat menjadi subyek hukum yang kuat.
Namun sayang, ketika Soekarno lengser dari jabatannya dan jabatan kepresidenan dipegang Soeharto, Soeharto membuat keputusan membekukan UU PA tersebut. Lebih celakanya lagi, UU PA tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Pada 1967, Soeharto membuat UU PMA yang menjadi konsesi untuk perusahaan-perusahaan atau investor-investor kapitalis besar menanamkan investasi di Indonesia.
Soeharto sangat lihai memainkan UU PA tersebut. Ia tidak mencabutnya, tetapi tidak memberlakukannya. Akibatnya pemerintahan di era Soeharto kembali mengadopsi domain verklaring yang menyebabkan 80 % tanah adat masuk kawasan hutan. Buat Soeharto, adat itu dianggap hanya soal tari-tarian, ulos, ukiran, dan tidak ada urusannya dengan tanah.
Di sini masyarakat adat seperti menghadapi dua negara. Pergi ke BPN tidak boleh karena itu kawasan hutan. Pergi ke Departemen (sekarang Kementerian) Kehutanan tidak bisa juga mengklaim hak ulayatnya. Jadi sampai hari ini tidak ada pendaftaran terhadap hak ulayat. Pengakuannya konstitusional, tetapi tidak ada tempat untuk mengakui.
“Itulah situasi yang mendorong Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk melakukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah AMAN menang, sebenarnya ada sekitar 70 juta ha yang seharusnya bisa kembali ke masyarakat akibat kemenangan itu. Pertanyaannya adalah setelah hak konstitusionalnya kembali, siapakah masyarakat adat itu?” tanya Abdon.
Abdon mengatakan bahwa AMAN sudah bekerja memetakan masyarakat adat di beberapa daerah di Indonesia. Untuk masyarakat adat Batak di Kawasan Danau Toba (KDT), Abdon menyatakan bahwa itu mudah sekali ditemukan. Masyarakat adat Batak di KDT dapat diidentifikasi dengan menemukan kesamaan identitas yang bisa dibuktikan melalui marganya dan dari mana kampungnya (huta/bona pasogit). Kedua hal tersebut (marga dan kampungnya) dipegang teguh oleh setiap orang Batak. Kalau kita telusuri lebih lanjut siapa di antara mereka? Jelas ada pranatanya. Ada raja sipukka huta. Jadi bagi orang Batak tidak sulit untuk menentukan masyarakat adat mereka. Namun demikian, supaya ini menjadi subyek hukum, maka dibutuhkanlah Peraturan Daerah (Perda) untuk mendaftarkan (registrasi) ulayat atau bius masyarakat adat Batak. Masyarakat adat adalah subyek hukum alamiah dan bukan subyek hukum artifisial. Karena itu, ia harus ada pencatatannya atau administrasinya.
Abdon sendiri menegaskan bahwa setuju dibentuknya Perda untuk meregistrasi ulayat atau bius milik masyarakat adat Batak. Perda tersebut bertujuan bukan untuk mengatur, tetapi untuk mengakui sebagaimana tegas dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa “… Negara mengakui dan menghormati masyarakat adat…” Jadi tanah, ulayat, dan bius yang sudah “dirampas” oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab, baik perorangan maupun institusi (perusahaan/investor), dapat diklaim untuk dikembalikan kepada masyarakat adat.
Kalau Perda Masyarakat Adat sudah dibuat, maka kita dapat membereskan subyek hukumnya. Setelah itu, kita dorong Pemda untuk pembuatan Perda Tanah Adat (Ulayat) untuk membereskan obyek hukumnya. Menurut Abdon, “Selain itu, kalau masyarakat adatnya sudah jelas, maka UU Desa juga dapat diimplentasikan secara efektif untuk meregistrasi tanah adat atau ulayat.”
Sandi Situngkir juga menambahkan bahwa jikalau diharapkan kita membuat Perda, maka acuannya adalah UUD 1945, UU PA, dan MK 35.
Satu hal yang diingatkan Sandi bahwa pada Pasal 4 UU PA di Era Orde Baru, pasal inilah yang kemudian menurunkan Hak Penguasaan Lahan (HPL). Di pasal ini memang tidak disebutkan tentang HPL. Di sini Soekarno kecolongan. HPL inilah yang merampas tanah masyarakat adat.
Terkadang kalau masyarakat adat mengklaim bahwa tanah atau wilayah hutan milik mereka, dikatakan mana suratmu? Terkadang juga muncul SK Register, dan inilah otak penjajah itu, karena memang rakyat tidak pernah bisa menunjukkan surat-surat.
“Memang betul masyarakat adat tidak memiliki ‘Surat’, tetapi ini adalah salah satu bukti saja. Ada dua atau tiga bukti lain kepemilikan yang diatur oleh Hukum. Kita harus meyakini bahwa akan sangat banyak orang membuat UU untuk melakukan kejahatan. Misalnya, ada pembuatan UU yang dimodali oleh pemodal, dalam HAK ECOSOC itu disebut kejahatan. UU PA tahun 1960 adalah Demi Hukum. Karena itu, tanah Batak adalah milik masyarakat adat Batak,” demikian tutur Sandi.
Menanggapi kedua pemantik diskusi di atas, Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) menegaskan: “YPDT menyatakan bahwa hutan-hutan di KDT adalah milik masyarakat adat Batak. Jadi tidak ada dasar negara untuk memiliki itu. Pasal 2 ke Pasal 4 UU PA itu sudah tidak diindahkan oleh Negara mulai dari Era Orde Baru hingga sekarang. Atas pasal 2 sebenarnya semua tanah yang ada di KDT milik orang Batak. Ini bukan pemberontakan, tetapi hendak meluruskan.”
Menambahkan apa yang dikatakan Maruap, Abdon mencontohkan bahwa Minang Kabau dan Bali tidak pernah tunduk pada HPL. Semua tanah di Minang Kabau maupun Bali tidak terlepas dari tanah adat. Itu kemudian diakui negara. Orang Batak juga harus mengikuti apa yang dilakukan oleh orang Minang dan orang Bali itu.
Kalau begitu, “Bagaimana mewujudkan masyarakat adat itu? Karena kadang kami juga dipertanyakan. Ada saja orang yang mengakui masyarakat adat, karena ada pengakuan melalui surat yang ada,” tanya Berlin Situngkir.
Abdon menjawab bahwa masyarakat adat itu adalah subyek alamiah. Karena itu, ia secara otomatis menjadi subyek hukum juga. Jadi masyarakat adat tidak perlu akte notaris. Masyarakat adat perlu lembaga adat yang alamiah, misalnya di KDT disebut Raja Huta (Kepala Kampung). Raja Huta adalah lembaga adat yang kita maksudkan itu. Perda inilah yang nantinya menyebutkan siapa lembaga adatnya yang akan didaftarkan. Memang ada juga lembaga adat yang dibuat pakai Akte Notaris maupun menggunakan SK Bupati. Perda juga bisa mengatur bagaimana ada Musyawarah Adat. Jadi selama pemerintahan Soeharto itu, ada Lembaga-lembaga Adat boneka untuk menopang Soeharto ketika itu, agar memenangkan HPH atau HPL itu. Misalnya, ada lembaga adat buatan Pemerintah zaman Soeharto itu yang namanya Lembaga Adat Dalihan Natolu. Lembaga itu sebenarnya tidak ada dalam struktur masyarakat adat Batak.
Tertarik dengan diskusi ini, Alfra Girsang juga tidak mau ketinggalan bertanya: “Ada desa Partibi yang awalnya Huta Girsang, tetapi kemudian ada Lembaga Adat Munte. Bagaimana mengantisipasi ini supaya tidak terjadi konflik sosial dengan adanya Perda untuk mengakomodasi masyarakat adat alamiah tadi?”
“Ada istilahnya, yaitu: restitusi. Jadi sebenarnya negara tidak sensitif dengan masyarakat adat. Harusnya bicara dulu pemerintah kepada masyarakat setempat. Katakanlah seperti ini, mereka memasukkan pengungsi tidak minta izin dulu. Ini tentu terjadi konflik dengan masyarakat setempat. Jadi konflik muncul karena pengabaian itu. Kemudian muncul juga karena tidak ada mekanisme penyelesaiannya. Perda ini ke depannya dapat memfasilitasi orang tidak main pukul atau main usir begitu saja,” jawab Abdon.
Di akhir diskusi, Ketum YPDT menyatakan bahwa YPDT dan AMAN akan bekerjasama membentuk Tim untuk menyusun draft Perda Masyarakat Adat dan Tanah Adat. Sekum AMAN, Abdon Nababan, menyetujui usulan Maruap Siahaan dan sebenarnya AMAN sudah beberapa kali membuat Perda Masyarakat Adat untuk beberapa ulayat. “Kita tinggal memodifikasi saja Perda yang sudah jadi,” demikian sahut Abdon kepada Ketum YPDT.
Diskusi Kamisan YPDT ini berlangsung di Sekretariat YPDT Jakarta pada Kamis (13/10/2016) dengan topik: “Mendorong Lahirnya Perda Perlindungan Tanah Adat di Kawasan Danau Toba.” Pemantik diskusi adalah Abdon Nababan (Sekum AMAN) dan Sandi Ebenezer Situngkir (Ketua Departmen Hukum dan Agraria YPDT).
Penulis: Boy Tonggor Siahaan dan Jhohannes Marbun