Jakarta, DanauToba.org — Budaya Batak memang beda dari budaya-budaya lain yang ada di Indonesia bahkan dunia. Mulai dari adat istiadat, kekerabatan, bahasa, kesenian, kepercayaan, serta tidak kalah juga prinsip hidup orang Batak itu sendiri.
Bicara mengenai prinsip, prinsip orang Batak sangat berbeda dengan prinsip suku lain pada umumnya. Banyak orang mengenal seseorang sebagai orang Batak bukan hanya dari gaya bicaranya, tetapi prinsip hidupnya. Salah satu prinsip (falsafati/filosofi) hidup orang Batak adalah anakhon hi do hamoraon di ahu (anakku adalah kekayaanku). Prinsip hidup inilah yang disampaikan Susi Rio Panjaitan (pemerhati anak dari Yayasan Anak Mandiri) dalam topik bahasan Diskusi Kamisan “Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Danau Toba dalam Perspektif Generasi Muda” di Sekretariat YPDT, Kamis (21/7/2016).
Susi Rio Panjaitan berbagi pengalamannya kepada para peserta diskusi. Ia mengatakan bahwa bagi orang Batak anak adalah aset atau kekayaan bagi orangtua atau keluarga. Dakdanak (anak-anak) menjadi harapan dan masa depan orangtua atau keluarga. Bagi orang-orang Batak, anak adalah kebanggaan orangtua.
Namun di era sekarang, harapan dan kebanggaan tersebut menjadi terancam karena anak-anak keturunan Batak yang terserak (tano parserakan) hampir sebagian besar dari mereka tidak mengerti dan/atau tidak dapat berbahasa Batak. Bahkan sebagian besar anak-anak di Kawasan Danau Toba lebih senang menggunakan bahasa Indonesia ketimbang Bahasa Batak. Dalam hal mengenal atau memahami budaya Batak pun, anak-anak Batak jauh dari harapan orangtua atau ompung-ompung (kakek-nenek) kita.
Susi menambahkan bahwa kalau anak-anak Batak masa sekarang hampir tidak mengenal keluarga besarnya sendiri. Kalau ditanya siapa namborumu, siapa tulangmu, siapa bapak uda atau bapak tuamu, mereka kebanyakan tidak tahu. Kebanyakan orangtua dari keluarga Batak yang besar di tano parserakan hampir tidak aktif dalam perkumpulan marga atau telibat kegiatan-kegiatan keluarga besar marganya. Di kota besar seperti Jakarta, misalnya, kita memiliki banyak pilihan untuk terlibat dalam berbagai macam kegiatan atau perkumpulan komunitas. Anak-anak sekarang lebih senang berkumpul dengan kawan-kawannya yang notabene bukan komunitas Batak.
Di samping itu, anak-anak Batak malah merasa malu kalau dia dibilang orang Batak. Bahkan tidak sedikit juga anak-anak Batak tidak tercantum marganya pada namanya. Anak-anak Batak justru tidak suka jika wajahnya atau logatnya kebatak-batakan, tetapi lebih senang jika dibilang anak Jakarta, anak Bandung, anak Bekasi, dll.
Susi sangat prihatin melihat keadaan anak-anak Batak yang sudah jauh dari harapan dalam prinsip hidup orang Batak itu: anakkonhido hamoraon diau. Secara umum anak-anak Batak sekarang tidak faham bahasa Batak dan budaya Batak. Bahkan kecintaan mereka kepada kampung halamannya (bona pasogit) pun jauh dari harapan kita. Menurut Susi: “Danau Toba tidak masuk dalam tujuan wisata anak.” Kita lebih suka membawa anak-anak berwisata ke Santosa (Singapura), Disney Land (AS, Paris, Jepang), atau setidak-tidaknya ke Kawasan Puncak, Bogor, dan Ancol, Jakarta.
Beberapa generasi lagi, anak-anak Batak akan terancam kehilangan generasi dan identitasnya sebagai bangso Batak. Anak-anak Batak kurang memperoleh pendidikan yang benar mengenai budaya Batak. Teladan orangtua yang didasarkan pada habatakhon banyak yang tidak diturunkan kepada anak-anaknya, sehingga anak-anak tidak memahami dan bangga beridentitas sebagai orang Batak.
Susi mengatakan: “Pendidikan harus membuat anak menjadi pribadi yang indah. Indah di hadapan sesama dan Tuhan.”
Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan anak dalam keluarga. Orangtua atau anggota keluarga bertanggung jawab memperkenalkan secara konkrit adat dan tradisi Batak yang diadakan dalam perkumpulan (punguan) keluarga atau marga. Melalui cara tersebut, anak-anak belajar mengenal bahasa dan budaya Batak, serta mengenal jati-dirinya (identitasnya) dalam silsilah keturunan (tarombo). Dengan mengenal budayanya, anak juga akan mencintai kampung halamannya (bonapasogit) di Kawasan Danau Toba. Jika anak mencintai bonapasogitnya, maka anak secara otomatis akan mencintai Danau Toba, sehingga ada kepedulian untuk menjaga kelestarian bonapasogit dan Kawasan Danau Toba, serta budaya Batak.
Jika ingin membangun bonapasogit, Kawasan Danau Toba, dan Budaya Batak, maka bangunlah anak.
Penulis: Boy Tonggor Siahaan