JAKARTA, DanauToba.org — Suku Batak terdiri dari enam kelompok puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Angkola/Mandailing,Karo, Simalungun, Pakpak, dan Toba. Suku Batak Toba adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal sebagai penduduk asli di sekitar Danau Toba di Tapanuli Utara. Pola perkampungan pada umumnya berkelompok. Kelompok bangunan pada suatu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan Utara dan Selatan. Barisan Utara terdiri dari lumbung tempat menyimpan padi dan barisan atas terdiri dari rumah Batak (rumah adat), dipisahkan oleh ruangan terbuka untuk semua kegiatan sehari-hari.
Desa-desa di daerah Danau Toba, meskipun saat ini telah kehilangan dibandingkan dengan bentuk desa masa lampau, tetapi ciri yang umum masih ada bahkan pada desa-desa yang kecil, yaitu dikelilingi oleh sebuah belukar bambu. Pohon-pohon bambu sangat tinggi dan seringkali sulit untuk melihat rumah-rumahnya dari luar desa itu, kecuali di daerah yang berbukit. Di sekitar Balige, poros bangunan yang panjang mempunyai arah Utara-Selatan sedang di daerah bukit poros bangunan yang panjang sering diorientasikan secara melintang ke arah sudut-sudut yang tepat ke lereng-lereng bukit. Di daerah Samosir, poros bangunan yang panjang diarahkan ke Timur-Barat.
Pada mulanya Huta, Lumban, atau kampung itu hanya dihuni oleh satu klan atau marga dan Huta itu pun dibangun oleh klan itu sendiri. Jadi sejak mulanya Huta itu adalah milik bersama. Sebagaimana ciri khas orang Batak yang suka gotong-royong, demikianlah mereka membangun Huta. Oleh karena Huta didiami oleh sekelompok orang yang semarga, maka ikatan kekeluargaan sangat erat di Huta itu. Mereka secara gotong-royong membangun dan memperbaiki rumah, secara bersama-sama memperbaiki pancuran tempat mandi, memperbaiki pengairan, mengerjakan ladang dan sawah, dan bersama-sama pula memetik hasilnya.
Biasanya Huta hanya didiami beberapa anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur. Disebabkan oleh pertambahan penduduk, kemudian dibangunlah rumah dekat rumah leleuhur atau ayah yang pertama. Demikian seterusnya bangunan rumah makin bertambah, sehingga terbentuk perkampungan yang lebih ramai. Sering pula kampung itu terdiri dari beberapa kelompok kampung-kampung kecil, yang hanya dipisahkan pagar bambu yang ditanam dipinggiran kampung.
Adanya usaha beberapa orang dari anggota masyarakat dalam satu kampung untuk memisahkan diri dan membentuk kampung sendiri, dapat membuat berdirinya Huta lain. Suatu Huta yang baru, hanya dapat diresmikan kalau sudah ada ijin dari Huta yang lama (Huta induk) dan telah menjalankan suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang kepada Huta induk.
Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau.
Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang pada kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal, asta dan langkah seperti ukuran-ukuran yang pada umumnya dipergunakan pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerah-daerah lain. Pada umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-ukiran yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional Batak.
Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh makna dan arti. Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotong royong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif.
Ruma Parsantian didirikan oleh sekeluarga dan siapa yang jadi anak bungsu itulah yang diberi hak untuk menempati dan merawatnya. Di dalam satu rumah dapat tinggal beberapa keluarga , antara keluarga bapak dan keluarga anak yang sudah menikah. Biasanya orangtua tidur di bagian salah satu sudut rumah. Seringkali keluarga menantu tinggal bersama orangtua dalam rumah yang sama.
Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya tritunggal benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan dengan atap rumah; Benua Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan dengan lantai dan dinding; Benua Bawah sebagai tempat kematian dilambangkan dengan kolong. Pada jaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah harus melalui tangga dari kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak tangga.
Sebelum meletakkan pondasi lebih dahulu diadakan sesajen, biasanya berupa hewan, seperti kerbau atau babi. Caranya yaitu dengan meletakkan kepala binatang tersebut ke dalam lubang pondasi, juga darahnya di tuang kedalam lubang. Tujuannya supaya pemilik rumah selamat dan banyak rejeki di tempat yang baru.
Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk memikul bagian atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat panjang. Balok untuk menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang yang lebih tebal dari papan. Berfungsi untuk mempersatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk jalannya kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.
Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan (balatuk tunggal), terbuat dari potongan sebatang pohon atau tiang yang dibentuk menjadi anak tangga. Anak tangga adalah lobang pada batang itu sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya terbuat dari sejenis pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga betina (balatuk boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras dan jumlah anak tangganya ganjil.
Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan oleh papan yang agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang depan dan belakang. Pada waktu peletakannya, tepat di bawah tiang ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur ayam yang telah dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.
Rumah adat Batak Toba pada bagian-bagian lainnya terdapat ornamen-ornamen yang penuh dengan makna dan simbolisme, yang menggambarkan kewibawaan dan kharisma. Ornamen-ornamen tersebut berupa orang yang menarik kerbau melambangkan kehidupan dan semangat kerja, ornament-ornamen perang dan dan sebagainya. Teknik ragam hias terdiri dari dua cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Atap rumah terbuat dari ijuk yang terdiri dari tiga lapis. Lapisan pertama disebut tuham-tuham ( satu golongan besar dari ijuk, yang disusun mulai dari jabu bona tebalnya 20 cm dan luasnya 1×1,5 m2). Antara tuham yang satu dan dengan tuham lainnya diisi dengan ijuk agar permukaannya menjadi rata. Lapisan kedua, yaitu lalubaknya berupa ijuk yang langsung diambil dari pohon Enau dan masih padat, diletakkan lapis ketiga. Setiap lapisan diikat dengan jarum yang terbuat dari bambu dengan jarak 0,5 m.
Sebelum mendirikan bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Hasil musyawarah dikonsultasikan kepada pengetua untuk memohon nasihat atau saran. Setelah diadakan musyawarah, tindakan berikutnya adalah peninjauan tempat. Apabila tempat tersebut memenuhi persyaratan, maka ditandai dengan mare-mare yakni daun pohon enau yang masih muda dan berwarna kuning, yang merupakan pertanda atau pengumuman bagi penduduk disekitarnya bahwa tempat tersebut akan dijadikan bangunan.
Tahap pertama adalah pencarian pohon-pohon yang cocok kemudian ditebang dan dikumpulkan disekitar tempat-tempat yang akan didirikan rumah. Kemudian bahan-bahan tersebut ditumpuk ditempat tertentu agar terhindar dari hujan dan tidak cepat lapuk atau menjadi busuk.
Dalam mendirikan suatu rumah adat biasanya memakan waktu sampai lima tahun. Sudah barang tentu memakan biaya banyak, karena banyaknya hewan yang dikorbankan, untuk memenuhi syarat-syarat dan upacara-upacara yang diadakan, baik sebelum mendirikan bangunan (upacara mengusung bunti), pada waktu mendirikan bangunan (upacara parsik tiang) pada waktu memasang tiang, dan panaik uwur (pada waktu memasang uwur) maupun pada waktu bangunan telah selesai, yaitu upacara memasuki rumah baru (mangopoi jambu) dan upacara memestakan rumah (pamestahon jabu)
Daerah yang ditempati oleh suku Batak Simalungun terletak diantara daerah Karo dan Toba di Sumatera Utara. Pada waktu ini sudah hampir tidak terdapat lagi desa-desa tradisional dari suku Batak Simalungun, yang dahulunya merupakan sebuah desa yang besar sekali dikelilingi oleh pohon-pohon beracun. Desa tersebut dibangun di atas sebuah bukit, dan sulit sekali untuk dimasuki kecuali melewati terowongan-terowongan yang langsung dapat mencapai tengah-tengah desa.
Arsitektur tradisional dari suku Batak Simalungun masih dapat dipelajari dari empat jenis bangunan yang masih ada, dalam bentuk Balai Buttu (pintu gerbang rumah), Jambur (gudang), Bolon adat (rumah raja) dan Balai Bolon Adat (gedung pertemuan dan pengadilan). Balai Buttu dicapai dengan anak tangga dari kayu, luasnya kira-kira 6m2 dan tingginya 6 m. Dasarnya adalah balok-balok horisontal yang dibangun dalam bentuk persegi, di susun di atas empat buah batu kali dengan alas ijuk diantara batu dan papan . jambur digunakan untuk menyimpan beras, tetapi dipakai juga sebagai tempat tinggal tamu laki-laki dan tempat dimana para bujangan tidur.
Fungsi dari bangunan ini seperti yang ada di Pematang Purba, tampaknya telah menyimpang dari penggunaan aslinya dan terlihat pada tungku perapiannya. Bagian atas menunjukkan bahwa kegunaan utamanya telah menjadi tempat tinggal dan bukan dipergunakan sebagai tempat penyimpanan beras. Bangunan ini kira-kira luasnya 25 m2 dan tingginya 7m. Strukturnya di atas dua belas batu kali yang tiga menyilang ke depan dan empat dari depan ke belakang. Lantai yang lebih rendah hanya 75 cm dari tanah dan ditopang tiga lapis palang balok. Lumbung digantungkan di atas tungku di tingkat atas, dimana penggunaan utama dari bangunan tersebut tetap sebagai tempat penyimpanan beras.
Balai Balon Adat semula digunakan untuk tempat pertemuan-pertemuan dan untuk membahas masalah penting dalam hukum adat. Sistem pembangunannya sama seperti Balai Buttu, tetapi dalam skala lebih besar. Perbedaan utamanya adalah pada tiang penyangga struktur atap yang diletakkan di atas balok lantai. Tiang berdiameter 35 cmdan dibuat dari kayu yang sangat keras. Dasar dari tiang ini sangat penting dan ditutupi dengan ukiran, lukisan dan tulisan yang berhubungan dengan hukum adat. Bagian depan (Timur) adalah pintu, lebarnya 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Potongan yang lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi pintunya dipenuhi dengan papan tiang jendela vertikal yang membiarkan masuknya cahaya dan angin. Rumah Balon Adat (rumah raja) terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang besar dibangun pada tiang-tiang vertikal, sedangkan yang kecil disusun pada tumpukan balok horisontal, pintu masuk pada sisi sebelah Timur diapit oleh balkon atas dan bawah, menopang pada sambungan dari bagian atap ke bagian depan bangunan. Ujung atapnya sederhana, dua puluh tiang yang menopang lantai dibentuk menjadi ortogal dan dicat dengan motifgeometris hitam putih.
Tidak seperti bangunan lainnya, bangunan ini mempunyai lantai ganda dengan gang yang menurun ke pusat pada lantai yang lebih rendah. Lantai yang rendah berada 2,80 m dari tanah dan gang digantungkan dengan rota yang diikat pada dua pusat kayu, dilengkapi dengan kumpulan papan yang terbentuk dengan indah sebagai dekorasinya. Tungku perapian dibangun dari sisa pembakaran kayu dan dipenuhi dengan tanah. Di atas tungku dipasang ayunan dimana peralatan memasak disimpan dan bahan makanan dikeringkan serta diasapi.
Pintu pada ujung sebelah Timur kamar raja berisi ruangan tidur kecil dan dua tungku api. Konstruksi pada bagian bangunan ini sama dengan rumah pertemuan (Balai Balon adat) kecuali struktur lantainya sedikit rumit sebagai akibat dari tungku tersebut. Penutup atap keseluruhan adalah jalinan ijuk pada kaso dan papan kecil dari bambu. Bumbungan dikat dengan ijuk dengan hiasan kepala kerbau pada puncaknya.
Pada bangunan Simalungun susunan strukturnya terdiri dari tiang-tiang bergaris tengah 40 sampai 50 cm. Sebagian besar adalah balok-balok dan tiang-tiang yang dibiarkan dalam potongan bundar yang ditebang dari hutan. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu keras, kayu tongkang dan kadang-kadang keseluruhan bambu digunakan dalam jalinan ijuk yang diikat dengan rotan atau bambu belah. Struktur tersebut ditata di atas batu-batu kali yang besar kecuali untuk rumah raja. Tiang-tiangnya ditanam di dalam tanah. Pusat tiang terpenting dari gedung pertemuan diukir dari kayu keras yang tebal. Paku tidak digunakan dalam konstruksi, hanya pasak dan tali ijuk baji (sentung).
Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai duabelas keluarga dapat tinggal di rumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami, istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orangtua sampai menjelang usia dewasa, pada pria dewasa (bujangan) tidur di bale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain di rumah lainnya.
Rumah adat Batak Karo berukuran 17×12 m2 dan tingginya 12m. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunung atau sungai. Delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap. Kedua pintumasuk dan kedelapan jendela dipasang di atas dinding yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu setinggi orang dewasa dan jendela ukurannya lebih kecil. Pintu mempunyai daun pintu ganda sedangkan jendela mempunyai daun jendela tunggal.
Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau bambu. Bumbungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. Bagian terendah dari atap pertama di bagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dari atap yang menonjol ditutup dengan tikar bambu yang sangat indah.
Sumber:
- http://www.simarsoit.com/2013/05/makna-filosofi-rumah-adat-batak.html
- http://www.becaksiantar.com/2013/08/rumah-adat-batak-makna-dan-filosofi.html