JAKARTA, DanauToba.org — Longsor dan banjir di Sibaganding, Parapat, dan beberapa lokasi bencana lainnya di Kawasan Danau Toba (KDT) ditanggapi YPDT (Yayasan Pencinta Danau Toba) pada Sabtu (5/1/2019) di Jakarta melalui Siaran Persnya.
Berikut ini sikap YPDT terhadap bencana tersebut, antara lain:
Pertama, YPDT menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga yang menjadi korban atas peristiwa bencana longsor dan banjir tersebut di KDT, khususnya satu bulan terakhir ini.
Kedua, YPDT menyatakan keprihatinan mendalam atas kejadian bencana tersebut. Hal tersebut seharusnya bisa ditekan dampak buruknya apabila kita waspada, peduli, atau peka (tanggap) terhadap alam dan lingkungan di sekitar kita maupun di KDT yang merupakan daerah rentan bencana.
Ketiga, hujan terus-menerus beberapa waktu belakangan ini tidak bisa disalahkan atau dianggap sebagai akar penyebab bencana, sebab itu adalah karunia maupun berkat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat sekitarnya. Tugas manusialah untuk mengantisipasi dan menyelaraskan diri dengan lingkungan hidup di sekitarnya, jika tidak anomali (baca: bencana) akan terjadi dan kita tidak dapat menghindarinya. Peristiwa bencana tentu tidak bisa dihindari, tetapi resiko, kerugian, dan kerusakan akibat bencana bisa dicegah atau ditekan seminimal mungkin.
Masyarakat di KDT tidak seharusnya menanggung akibat kejadiaan bencana tersebut apabila Pemerintah/Pemda sungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Sebab Kejadian bencana yang ada tidak terlepas dari dugaan kealpaan, pengabaian, tidak seriusnya Pemerintah/Pemda melestarikan lingkungan hidup di sekitarnya dan menanggulangi bencana yang ada.
Indikatornya sederhana saja. Danau Toba menjadi potensi utama kawasan diabaikan bahkan bisa jadi belum diketahui Pemda/Pemerintah sebagai sumber kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat di KDT. Karena itu, tindakan eksploitasi berlebihan terhadap KDT seharusnya tidak dibiarkan, bahkan Pemerintah/Pemda turut mendukung dengan membiarkan tindakan tersebut terjadi. Sejak beberapa tahun silam Pemerintah/Pemda mengatakan bahwa Danau Toba tercemar, penebangan kayu secara ilegal, dan lain-lain, bahkan terakhir Bank Dunia pun yang dianggap sumber tepercaya oleh Pemerintah sudah memberi kajian dan Pemerintah sudah mengumumkan bahwa Danau Toba telah rusak parah. Sampai saat ini tidak ada tindakan radikal melakukan upaya perbaikan yang dilakukan oleh Pemerintah/Pemda atas kerusakan parah tersebut. Pemerintah/Pemda sebagai eksekutif tidak seharusnya sibuk berwacana membuat pernyataan, tetapi bertindak nyata. Sudah sewajarnya masyarakatlah yang menyampaikan pernyataan maupun sikap, apabila tindakan Pemerintah/Pemda ditengarai bertentangan dengan peraturan hukum maupun kebijakan yang ada serta menciderai kepentingan publik. Demikian pula legislatif sebagai representasi masyarakat haruslah menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya termasuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerahnya.
Di lapangan kita bisa melihat bersama, penebangan hutan secara membabi buta, jelas telah memutus mata rantai ekosistem KDT yang mengakibatkan terjadinya bencana tanah longsor dan banjir bandang sebagaimana terjadi di Sibaganding dan beberapa daerah lain di KDT dalam satu bulan terakhir. Namun demikian, kita merasa cukup puas apabila lumpur dan kayu berserakan di jembatan dua Sibaganding disingkirkan, dan lalu lintas kembali berjalan. Kenyataannya setelah lumpur dan kayu disingkirkan dari jalan, dalam hari-hari terakhir kembali terjadi longsor di tempat yang sama.
Sumber penyebab utama terjadinya longsor dan banjir di sejumlah titik KDT belum menjadi perhatian utama, dan sibuk menyelesaikan akibatnya yang bersifat semu.
Indikator lainnya adalah dalam hal penanggulangan bencana yang masih minim di KDT. Program Penanggulangan bencana mulai dari pencegahan (inventarisasi potensi dan kerentanan terhadap bencana, sosialisasi di sekolah dan komunitas masyarakat, rambu keselamatan, dan pelatihan serta pemberdayaan masyarakat sadar bencana), penanggulangan dan penanganan bencana (jalur evakuasi, arus utama penanggulangan bencana lintas sektoral di Pemda/Pemerintah, pembuatan SOP atas setiap kerentanan/potensi bencana, penanganan dan minimalisasi sumber kerentanan, dan penguatan infrastruktur dan/atau alat deteksi bencana, dll), penindakan (pengawasan dan penegakan hukum) belum menjadi arus utama bagi stakeholder (pemangku kepentingan) di KDT. Kejadian tenggelamnya anak-anak usia sekolah warga KDT di beberapa titik perairan Danau Toba menjadi contoh minimnya upaya penanggulangan bencana termasuk memberdayakan masyarakat di wilayah tersebut tanggap terhadap bencana/kecelakaan. Ketiadaan kebijakan penanggulangan bencana di Kabupaten-kabupaten KDT dan penerapannya sebagaimana turunan dari Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga masih menjadi permasalahan tersendiri.
Maruap Siahaan, Ketua Umum YPDT menjelaskan bahwa:
Pertama, bencana alam di KDT berupa banjir maupun longsor, termasuk juga penyakit endemik, kecelakaan transportasi darat dan danau beberapa waktu lalu adalah sintesa dari perilaku stakeholder terutama pelaku usaha yang merusak lingkungan hidup dan Pemda maupun Pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya sebagai pembuat regulasi dan sebagai pengawas.
Kedua, pemangku kepentingan tersebut berjalan di luar kewenangan. Untuk itu, Perusahaan Toba Pulp Lestari maupun mitranya yang membabat hutan harus dihentikan dan dievaluasi ulang. Pemerintah harus menghentikannya dan melakukan audit menyeluruh dengan membuat tim INDEPENDEN yang kredibel (dapat dipercaya). Semua perusak lingkungan hidup di KDT harus dihentikan untuk menghindari bencana yang lebih besar, mengingat relief yang curam dan struktur tanah berpasir dan berbatu di KDT karena sisa semburan letusan Gunung Toba. Penebangan hutan di KDT sangat tidak masuk akal, sebab hutan-hutan tersebut merupakan area tangkapan air (catchment area).
Untuk itu, Siahaan meminta perlu upaya penanganan secara konprehensif dan bukan parsial, termasuk segera menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) untuk penyelamatan lingkungan hidup maupun Perda penanggulangan bencana di tingkat provinsi maupun kabupaten di KDT. Ini tentu disertai aksi-aksi konkret lainnya.
Hal senada diungkapkan Andaru Satnyoto, Sekretaris Umum YPDT. Satnyoto menyampaikan bahwa Pemerintah maupun Pemerintah Daerah perlu segera melakukan pengecekan akar penyebab peristiwa kejadian longsor di Sibaganding maupun beberapa titik lain di KDT, dan tidak hanya terpaku mengatasi material lumpur dan kayu yang menumpuk di jalan, sehingga menghambat arus lalu lintas. Hal ini perlu dilakukan agar lebih objektif dan disertai dengan kesadaran untuk membenahi akar permasalahan yang ada secara menyeluruh dan konprehensif.
Beberapa kasus longsor di Indonesia terjadi disebabkan oleh tanah labil, batuan tua/lapuk, tidak ada vegetasi tanaman penahan, dan kemiringan curam. Oleh karenanya perlu langkah-langkah antisipatif dan dikelola secara sistemik. Misal daerah yang rawan longsor diberi turap/dinding penahan, dibuat saluran-saluran air di wilayah miring dan lain sebagainya. Namun yang lebih penting dari itu adalah soal vegetasi tanaman. Demikian dijelaskan Satnyoto.
Jerry RH Sirait, tokoh pendidikan yang tergabung dalam Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat dan juga Pengawas YPDT mengingatkan bahwa selama belum ada penanganan yang komprehensif terhadap alam dan lingkungannya maka kejadian serupa akan terjadi. Mungkin lebih gawat dari yang terjadi sekarang. Untuk itu, dihimbau kepada Pemda dan masyarakat KDT agar segera melakukan pertobatan ekologis untuk senantiasa menjaga dan memelihara ekosistem, alam dan lingkungan hidup. Hentikanlah “pemerkosaan alam dan lingkungan hidup” yang sudah terjadi puluhan tahun lamanya. Apa yang sedang dilakukan HKBP maupun gereja-gereja di KDT untuk mengembangkan dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan hidup, kiranya perlu didukung dan menjadi perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan di KDT.
Jakarta, 5 Januari 2019
Narahubung: Jhohannes Marbun/ Sekretaris Eksekutif YPDT (0813 2842 3630)