JAKARTA, DanauToba.org ― “Lae, di kampung kita di pinggir Danau Toba itu, sudah banyak tanah yang dijual. Bisa tersinggir lama-lama orang Batak yang tinggal di pinggir danau. Ini sudah kritis lae,” demikian kutipan sebuah percakapan di WhatsApp (WA). Tampaknya kita melihat makin marak pembelian tanah di tepi Danau Toba. Ini memprihatinkan.
Keprihatinan inilah yang mendorong Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) mengangkat topik Diskusi Kamisan: “MARAKNYA PEMBELIAN TANAH DI TEPI DANAU DAN LAHIRNYA KEBIJAKAN MELARANG MASYARAKAT (ADAT) BATAK TINGGAL DI TEPI DANAU TOBA.”
Diskusi Kamisan tersebut dilaksanakan pada Kamis malam (6/7/2017) di Sekretariat YPDT. Diskusi dipandu pemrasaran (moderator) oleh Jhohannes Marbun (Sekretaris Eksekutif YPDT). Pemrasaran juga dibantu Jerry R. H. Sirait (Pengawas YPDT) yang lebih terlihat dalam diskusi sebagai “pemantik.”
Maruap Siahaan (Ketua Umum YPDT) merasa gelisah dengan makin maraknya tanah-tanah di kampung (bonapasogit) Kawasan Danau Toba (KDT) yang diperjualbelikan, khususnya yang berada di pinggir danau. “Ini sudah S.O.S,” keluh Ketum YPDT. Arga do Bona Pinasa (tanah Batak, tanah leluhur orang Batak, tidak ternilai).
Tanah Batak memang anugerah Tuhan yang mereka tempati sejak dahulu kala sebelum adanya Republik Indonesia ini. Letusan Gunung Toba sekitar 74.000 tahun lalu, menurut hasil riset ilmiah, merupakan kekayaan yang luar biasa. Kekayaan dengan terbentuknya Kaldera Toba (Danau Toba) dan tanah yang sangat subur yang keluar dari perut bumi. Bukankah ini anugerah yang luar biasa bagi bangso (bangsa) Batak? Apakah bangso Batak menyadari hal tersebut: Arga do Bona Pinasa.
Sangat menarik membicarakan maraknya pembelian tanah di KDT, khususnya di tepi Danau Toba, akibat penetapan Pemerintah Pusat di bawah komando Presiden Jokowi menjadikan Danau Toba sebagai salah satu dari sepuluh destinasi pariwisata prioritas di Indonesia.
Jhohannes Marbun memulai diskusi dengan membeberkan beberapa kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah terkait topik diskusi sebagai berikut:
Pertama, Keputusan Presiden RI nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, tanggal 25 Juli 1990, Pasal 18. Bunyinya: ”Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.”
Kedua, Peraturan Menteri PUPR RI No. 28/PRT/M/2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, Pasal 18 ayat (4) dijelaskan bahwa “Batas garis sempadan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (didasarkan kajian penetapan sempadan danau), ditentukan paling sedikit berjarak 50 (lima puluh) meter dari tepi badan danau.”
Ketiga, Peraturan Daerah Sumut No.1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, tanggal 5 Juli 1990. Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa “Dalam wilayah kawasan Danau Toba, dilarang mendirikan bangunan:
a. Sepanjang pantai Danau Toba yang jaraknya 50 meter dari tepi pantai danau ke arah darat, dan antara tepi pantai danau dengan jalan umum tepi danau;
b. Yang mengganggu pemandangan sekitar Danau Toba pada lokasi yang ditetapkan Gubernur Kepala Daerah;
c. Pada tanah kemiringan di atas 40% kecuali pada lokasi yang ditetapkan Gubernur Kepala Daerah;
d. Pada jarak 20 meter dari as jalan umum;
e. Usaha industri yang menimbulkan pencemaran melebihi ambang batas baku mutu lingkungan;
f. Dengan membeton, memagar, menimbun, dan mengeruk perairan danau;
g. Dermaga/pelabuhan, pasar/pekan selain pada lokasi yang ditetapkan Gubernur Kepala Daerah;
h. Di atas perairan Danau Toba kecuali atas izin Gubernur Kepala Daerah.
Meskipun ketiga kebijakan tersebut sudah dibuat, tetapi faktanya di lapangan berbeda, antara lain:
Pertama, kehidupan di pinggir Danau Toba telah ada bahkan jauh sebelum produk peraturan tersebut diundangkan.
Kedua, seiring berkembangnya kebijakan Pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata prioritas nasional, terjadi jual-beli tanah di tepi Danau Toba, dan juga terjadi pembangunan di tepi Danau Toba.
Untuk menghidupkan diskusi, Jhohannes menyuguhkan pertanyaan: “Rumah masyarakat di pinggir danau yang bertentangan dengan peraturan haruskah tergusur sekalipun jelas diketahui bahwa bangunan sudah ada ketika peraturan tersebut dikeluarkan?”
Maruap Siahaan, Ketua Umum YPDT yang juga Pengusaha di bidang industri menjadi penanggap pertama. Maruap menyampaikan bahwa pada umumnya kapitalis sangat kuat mempengaruhi kebijakan, sehingga ada sebuah kondisi di mana mereka dapat mendominasi. Jadi pasar itu tidak satu makna, tapi multi makna. Kalau kita baca regulasi-regulasi yang dipaparkan, bisa multitafsir. Misalnya garis 50-100 meter, tetapi dalam peraturan itu ada juga pasal di mana tidak selalu mengacu kepada peraturan, tetapi bisa juga atas izin gubernur. Ini yang digunakan oleh pengusaha (baca: kapitalis). Dibabad dulu baru minta izin dari Pemda. Mereka berkolaborasi.
“Kalau ada kritik atau desakan masyarakat, paling mereka bilang gugat aja lewat pengadilan dan itu lebih mudah melawan rakyat kecil. Kalau kamu mau gugat, maka gugat di pengadilan. Kalau seperti ini sudah pasti rakyat kecil akan kalah. Sekarang sudah pasti banyak pemodal bersama Pemda setempat merancang kebijakan yang sangat menyakiti masyarakat setempat,” ujar Ketum YPDT.
“Karena itu, masyarakat harus dilibatkan mendesain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sedemikian rupa agar tidak menggusur tanah marga-marga. Akan tetapi jika ada ruang yang akan dikembangkan, maka harus diketahui rencana detailnya,” usul Maruap Siahaan.
Kawasan Danau Toba (KDT) sudah ada sebelum negara ada. Ketika hendak melakukan pembangunan maka pemerintah wajib menjaga lingkungan, keberadaan masyarakat setempat, dan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dan sosial budaya. Tegas Maruap Siahaan.
Johansen Silalahi melihat bahwa ketiga regulasi di atas harus diubah. Konsep apa yang kita harapkan di tepian Danau Toba? “Saya lihat dari kampung saya di Tigaras, Simalungun, kalau mereka berusaha, mereka mematok pantai itu lebih jauh lagi. Sepertinya ada pengusaha yang hilir mudik, dan lain-lain. Tidak ada yang memperhatikan. Paling hanya melihat dan mengambil retribusi,” ungkap Johansen Silalahi.
Kemudian Maruap Siahaan menanggapi: “Makanya harus ada sikap kita dari sekarang agar yang di badan danau itu tahu hal ini. Jadi tidak ditakut-takuti. Peraturan ini tetap masih punya kekuatan untuk menakut-nakuti masyarakat yang tidak tahu. Ada tangan lain memanfaatkan regulasi ini.”
Banyak orang-orang Batak semakin berpendidikan semakin takut, karena apa? Karena tangan kita telah kotor, dan kita masih menikmati sistem yang sudah rusak ini. Pada akhirnya kita menjadi apatis terhadap kondisi jual-beli tanah tersebut. Tanah Batak ke depan akan hilang, tidak lagi diduduki bangso (masyarakat adat) Batak. Hal ini kita bisa lihat dari diskusi-diskusi yang berkembang di mana hampir semua apatis dengan permasalahan di KDT,” keluh Ketum YPDT.
Halomoan L. Tobing melanjutkan percakapan dengan mengatakan bahwa dari kondisi yang ada saat ini di masyarakat, sangat jelas konflik horizontal itu sudah berjalan khususnya mengenai tanah. Bahkan perkara-perkara tanah di seputar Danau Toba meningkat seiring dengan kebijakan Pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata prioritas nasional. Hal ini dialami langsung oleh keluarga dari beberapa pengurus YPDT Perwakilan Sumut di kampung masing-masing yang saat ini sedang berperkara di pengadilan. Ini terjadi karena adanya nilai ekonomis yang memotivasi masyarakat beperkara untuk mengangkat ‘kebuasan’nya menguasai dibanding anggota keluarga lainnya.
Kalau kita lihat filosofi budaya Batak di Dalihan Na Tolu itu sangat filosfistik bahwa tanah itu adalah sakral.
Kalau kita melihat dari sini, tentu tidak bisa dipungkiri, penyebab karakter-karakter seperti itu adalah karena ekonomi (Red.: uang). Kita tidak bisa mengatakan kondisi itu bisa dilestarikan, tetapi kalau kita tidak kembalikan ke budaya yang ada, itu tidak bisa. Ini sebenarnya terjadi bahwa tidak lepas karena regulasi yang tidak berpihak.
“Kita harus bisa membawa warna YPDT sebagai lilin pertama kali yang berteriak tentang Danau Toba yang menggerakkan lilin-lilin masyarakat. Satu organisasi yang paling baik adalah organisasi tanpa bentuk, yaitu: memanfaatkan pion-pion yang dimasukkan ke lembaga-lembaga masyarakat yang bisa menyuarakan suara kita ini,” kata Sekretaris YPDT Perwakilan Sumut ini.
Joyce Sitompul Boru Manik, salah seorang peserta diskusi turut memberi tanggapan. Mengacu pada peraturan tersebut, perlu dicek dan dibuat pemetaan yang kena garis merah (bangunan di pinggir danau – Red.) itu mana saja. Karena memang yang dibangun itu benar-benar di samping air. Kita harus memberitahu pemilik kapling-kapling itu bahwa itu merusak lingkungan. Masyarakat di pinggir Danau Toba perlu diberitahu potensi pencemaran agar mampu mengantisipasi sehingga air Danau Toba tidak bertambah rusak. Kita harus memulai dari sekarang.
Menjawab tanggapan Joyce Sitompul Boru Manik, Maruap Siahaan mencontohkan bahwa Kalau kita ke Monaco, hotel-hotel tersebut di pinggir pantai. Begitu juga danau di Zurich dan Swiss. Bahkan sampai ke tepi pantai banyak hotel-hotel. Namun kita harus berhati-hati melihat permasalahan di Kawasan Danau Toba. Karena ini sebuah peradaban, maka kita perlu melindungi peradaban dan juga tidak membiarkan kapitalis menggeser ini semua, maka kita perlu memberikan masukan. Kalau hanya karena problem pencemaran, maka perlu dicerdaskan, tetapi pada prinsipnya peradaban itu perlu dilindungi. Jadi tidak serta merta digusur lalu ganti untung. Maka perlu diusulkan segera dibuat Perda kepada para Bupati tersebut. Jangan sampai Danau Toba itu terjual. Dan Bangsa Batak tidak lagi bisa memiliki dan menikmati danau itu secara langsung.
Paul L. Tobing berpendapat bahwa regulasi tersebut terkesan menjamin kesewenang-wenangan pengusaha dan penguasa. Karena itu, kita perlu mengusulkan sebuah regulasi yang jelas dan menjamin keberlangsungan multi interest, ekosistem, Lingkungan Hidup, ruang publik, budaya, dan pariwisata.
Pada intinya pinggir danau harus bisa diakses oleh publik dan menjadi ruang publik. Misalnya restoran di pinggir jalan, orang bisa tetap singgah di restoran sekalipun tidak makan, bisa ke toilet, istirahat, dan keperluan lainnya.
“Regulasi harus dibuat sejelas-jelasnya, bukan melindungi gubernur yang memberikan izin seenaknya. Jadi perlu dibuat regulasi yang menampung interest yang saling bersinergi,” tegas Paul L. Tobing.
Victor Purba juga menyampaikan pandangannya. “Di Bakara sekitar pinggir Danau Toba, ada rumah yang sudah lama berdiri di sana. Ini menjadi dilema. Untuk itu perlu dipertegas. Kalau untuk menambah bangunan baru ke pinggir danau itu jangan. Tetapi bangunan yang sudah lama berdiri, tetap dipertahankan dengan memperhatikan kelestarian lingkungannya. Kita dapat juga merenovasi agar kontennya lebih bagus,” saran Victor Purba.
Para peserta diskusi sepakat bahwa kita perlu melindungi, menjaga, dan memelihara peradaban Batak, baik di masa lalu, masa kini, hingga masa depan. Kaum kapitalis perlu dicegah agar tidak menggeser atau bahkan menggantikan peradaban Batak dengan peradaban yang tidak cocok dengan Kebatakan (Habatakon).
Karena itu, masyarakat KDT perlu dicerdaskan dan diberikan wawasan luas yang jauh ke depan. Mengapa mereka harus mempertahankan tanah leluhurnya dan budaya leluhurnya? Kalau hal itu sampai “terjual” (baca: tergantikan), maka Bangsa Batak tidak lagi bisa memiliki dan menikmati Danau Toba secara langsung. Yang tersisa hanya ratapan.
Baca juga: ANTISIPASI PERKEMBANGAN DI KAWASAN DANAU TOBA
Jerry RH Sirait (Pengawas YPDT) mengingatkan bahwa kita mewaspadai si jahat untuk mengambil Danau Toba adalah penting. Danau Toba menjadi bersih dan tertata dengan benar di sekitarnya jauh lebih penting dan menjadi prioritas. Karena itu, kita perlu melakukan tiga hal, yaitu: afirmasi (penegasan), edukasi (pendidikan dan pembelajaran), dan advokasi (litigasi dan non-litigasi). Hal ini perlu dipertajam oleh kelompok-kelompok kecil.
Sesungguhnya kita melakukan apa terhadap Danau Toba ini? Bagaimana ini kita teropong secara komprehensif? Kita melihat bahwa Perda itu tidak memihak kepada kehidupan di Kawasan Danau Toba. Pemerintah gagal mencerdaskan penghuni Kawasan Danau Toba. Kegagalan ini dilampiaskan dengan upaya menggusur masyarakat dari kawasannya. Jadi perlu kita sampaikan sesuatu untuk mencerdaskan, mencerahkan, dan menguatkan masyarakat KDT.
Fungsi yang harus dijalankan YPDT: Afirmasi (bahwa Danau Toba harus diselamatkan atau bersih, bahwa Danau Toba tercemar), edukasi, dan pendampingan advokasi serta memediasi (antarkelompok).
“Saya mengusulkan perlu dibuat Pertemuan Nasional. Pertemuan Nasional tersebut jangan dilihat secara kuantitas, tetapi kualitas dari pertemuan itu,” kata Bapak Pengawas YPDT ini.
“Kita sepakat bahwa Perda tersebut tidak memihak ke Danau Toba. Karena itu, Perda tersebut perlu semacam judical review,” saran Johansen Silalahi.
Paul L. Tobing menambahkan: “Perlu audit regulasi. Kita lihat penyimpangan-penyimpangannya, selanjutnya disampaikan ke Mendagri.”
Menimbang pendapat Johansen Silalahi dan Paul L. Tobing, Jerry RH Sirait mengusulkan:
Apakah memungkinkan kita membuat dengar pendapat antara YPDT Perwakilan Sumut dengan Komisi 1 DPRD Sumut? Kita perlu menyampaikan bahwa bangso Batak yang punya tulisan, bahasa, bendera, dan lain sebagainya itu diambang situasi yang mengerikan. Kemudian meneruskan permintaan Revisi Perda Sumut.
Joyce Sitompul mengusulkan agar kita juga membuat semacam poster atau info grafis yang berisi gambar-gambar untuk menggambarkan 10 kasus terparah di Danau Toba. Hal tersebut untuk membuat anak-anak muda Batak mudah mencerna dan termotivasi peduli terhadap kerusakan di Danau Toba.
Selain peserta diskusi, beberapa pemerhati Danau Toba yang tidak dapat hadir dalam Diskusi Kamisan memberikan pendapatnya secara tertulis yang dirangkum oleh tim Sekretariat YPDT.
Jasarno Gurning, Pemerhati Danau Toba yang tinggal di Bandung ini menyampaikan bahwa tepi Danau Toba harus dapat diakses oleh publik dan bukan dizonasi menjadi milik privat maupun korporat. Untuk itu, zonasi Pantai di seputar Danau Toba Seyogianya dikuasai oleh negara dan dikelola komunitas masyarakat (adat) dengan aturan (regulasi) yang ketat. Negara seyogianya hadir untuk berpihak dengan mengamankan dan melindungi situs dan zona-zona strategis untuk kepentingan publik yang bersifat inklusif sebagai ruang interaksi sosial ekonomi masyarakat terutama penduduk sekitar, yang seharusnya diimplementasikan Badan Otorita Danau Toba (BODT).
Lebih lanjut Jasarno Gurning menyampaikan bahwa saat ini Pesisir Danau Toba pada zonasi pantai Pulau Samosir sepanjang Tuk-Tuk hingga Simanindo telah berjejer Hotel Berbintang antara lain: Regate Beach; Barbara; Gita Uli; Sanggam; King’s; Vanesha; Lyla Hotel dan Shangri-La Hotel yang akan segera disusul oleh korporasi perhotelan lainnya di sepanjang pesisir pantai Simanindo hingga Pangururan. Demikian juga di seputar zonasi pantai Ajibata dan Parapat hingga Tigaras, konon akan dibangun Hotel berbintang empat dan lima bertaraf Internasional. Seluruh zonasi pantai (long beach) yang indah hanya untuk investor kakap karena pemberdayaan masyarakat lokal untuk muncul sebagai investor-investor baru di daerahnya dianggap tidak layak dan merepotkan pemangku kebijakan dan kepentingan. “Penguasaan izin identik dengan penguasaan lahan, urusan pembebasan tidaklah menjadi soal, yang penting investor senang,” demikian sindir Gurning.
Agar tidak menjadi bola liar, Jasarno Gurning memberi masukan untuk melakukan Pembebasan lahan masyarakat di zona pantai oleh negara (ganti rugi) untuk digunakan bagi kepentingan publik, dikelola publik dan otorita, ini untuk konsistensi sepadan garis pantai, jika tidak, masyarakat akan berhadapan dengan hegemoni korporasi kapitalis dan pada saatnya nanti tetap akan tergusur juga oleh korporasi yang akan menguasai lahan termasuk pantainya. Zonasi pantai yang inklusif pun jadi terbatas untuk publik bahkan untuk masyarakat sekitar. Cukuplah zona exclusive – privat di Sibisa 600+ Ha dan yang saat ini terlanjur sudah dikuasai korporasi, jangan ditambah lagi. Jika tidak, maka kelak semua lokasi strategis yang masih ada tersisa akan ‘diambil’ juga untuk menjadi zona privat exclusive. Itulah bilamana negara tidak hadir secara kongkrit: ‘membagi dan mengatur ruang secara adil dan proporsional’. Hal ini, jika Pak Jokowi konsisten dengan pemberdayaan dan penguatan masyarakat adat. Zonasi pantai pesisir Danau Toba semestinya untuk publik, terlarang untuk privat apalagi korporasi. Jika ruang publik tidak terlindungi oleh ‘regulasi’ maka ‘Danau Toba akan tergadai’ dan orang Batak hanya jadi penonton atau tamu, sedangkan penduduk paling banter jadi jongos korporat. Urai Jasarno Gurning secara runtut.
Hal senada diungkapkan oleh Mangindar Simbolon. Mantan Bupati Samosir dua periode ini menyarankan agar pemerintah mengganti untung semua bangunan dan bahkan membeli lahan usaha masyarakat pada batas 50 meter (sempadan danau). “Hal ini telah saya ingat saat mendampingi tim DPRD Sumut dalam rangka penyusunan Ranperdasu No. 1/1990, tapi tidak didengarkan. Maka faktanya Perda tersebut tetap mandul (berlaku tapi tak diikuti/tak dipedomani di lapangan),” ujar Mangindar Simbolon.
Mangaliat Simarmata mengatakan bahwa Perda Sumut No. 1/1990 sangat jelas tidak relevan lagi, dan sejak ada Perda ini boleh dikatakan tidak pernah diterapkan. Sudah lama itu diusulkan elemen-elemen masyarakat agar direvisi tapi tidak pernah didengar Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai pembuat Perdanya. Simarmata mengatakan perlu dipertimbangkan dengan matang, yaitu bagaimana secara tata ruang diatur di mana yang diperbolehkan mendirikan bangunan hingga di pinggir pantai dan di mana lokasi yang tidak diperbolehkan. Kalau seandainya secara tata ruang pendirian bangunan yang sudah ada itu tidak baik untuk ke depan dan jangka panjang, maka bangunan-bangunan tersebut harus direlokasi sesuai dengan tata ruang yang akan diatur. Oleh karena itu, revisi Perda No. 1/1990 tersebut perlu kajian yang komprehensif.
Pada akhir Diskusi Kamisan, Maruap Siahaan selaku Ketum YPDT merekomendasikan bahwa diskusi ini akan diperluas dalam skala Diskusi Nasional yang dapat disampaikan ke Pemda setempat. Rangkuman Diskusi Kamisan tersebut akan diteruskan kepada Tim Litigasi YPDT untuk dibahas dan ditindaklanjuti.
Peserta Diskusi Kamisan yang hadir antara lain: Johansen Silalahi, Victor Purba, Paul L. Tobing, Susi Rio Panjaitan, Tiendy Rose Panjaitan, Joyce Sitompul br. Manik, Jhohannes Marbun, Maruap Siahaan, Jerry R.H. Sirait, Halomoan L. Tobing, dan Boy Tonggor Siahaan. (BTS/JM)
Sejarah adat Batak Toba sudah memiliki hukum adat di mana tanah-tanah sudah dibagi-bagi oleh ompung-ompung orang Batak kepada seluruh marga yang berdiam di tano Batak, khususnya Samosir serta pinggiran Danau Toba. Untuk itu, kita himbau saja tidak terlalu dekat Danau Toba bisa pencemaran maupun menggangu ekosistem serta keindahan Danau Toba. Saya kira orang Batak yang memiliki leluhur/ompung di sekitar Danau Toba sudah tahu itu sejak dulu kala hanya pendatang dari kota yang belum faham adat-istiadat di Samosir. Mereka asal bangun saja. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Samosir memberikan himbaun agar mentaati adat-istiadat sekitar Danau Toba.
Barangkali bisa disampaikan dokumen terkait adat Batak tersebut pak @Pangihutan Putra ?
Aku sangat terkesan dan appresiasi thdp diskusi kamisan YPDT ini,dan sy jg termasuk yg setuju akan YPDT ini.bagaimana caranya bs mengikuti diskusi ini,apakah terbuka utk umum..? Dan tempat diskusi nya di jkt ato bona pasogit.sy tinggal di jkt..ada no kontak admin aro pengurus nya..sy mau ikut terlibat jg buat bona pasogit.mohon info nya.mauliate.GBU
Tempat Diskusi Kamisan di Jakarta. Narahubung: Boy Siahaan (081310007681)
Horass..Sy sbgi pemuda batak sangat mendukung dan appresiasi buat diskusi kamisan YPDT ini thdp rasa kepedulian danau toba sdh mmg shrsny kt sbgi putra-putri kelahiran bona pasogit yg hrs perhatian dan memperjuangkan ini.bagaimana sy bs mengikuti diskusi ini,apakah terbuka utk umum,dan dilakukan di jkt ato bona pasogit.?sy tinggal di jkt.mohon info no kontak admin ato pengurus nya.mauliate.GBU
Narahubung: Boy Siahaan (081310007681)