DanauToba — Sudah 17 tahun lalu peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo pada 29 Mei 2006 menjadi pembelajaran bagi kita. Tanggal tersebut menjadi Hari Anti Tambang (HATAM) untuk memperingatkan kita bahaya penambangan jauh lebih besar daripada hasil keuntungannya. Karena itu, jangan ada lagi korban tambang karena eksplorasi tambang.
Bencana Lapindo merupakan peringatan dan monumen sejarah yang nyata bisa kita lihat sampai sekarang khususnya petani. Kita harus menjaga tanah dan kampung kita jangan sampai terjadi lagi peristiwa di Sidoarjo. Kita harus menyebarkan informasi dampak negatif tambang. Setiap tahun tanggal 29 Mei, HATAM perlu diselenggarakan agar kita tidak abai.
Dalam rangka itu, APUK-Bonian bersama puluhan warga dari beberapa desa di sekitar tambang PT DPM (Dairi Prima Mineral) menyelenggarakan diskusi di Desa Bonian, Dairi, Sumatera Utara, Selasa (30/5/2023). Temanya: “Oligarki Tambang di balik Kejahatan Negara–Korporasi, memperparah Kerusakan Ruang Produksi Masyarakat-Perkuat solidaritas Rakyat.”
Yang menarik dalam diskusi ini, para peserta terutama dari desa di sekitar tambang PT DPM bercerita tentang kepahitan dan derita mereka sebagai korban tambang. Mereka lebih banyak merasakan dampak negatif penambangan tersebut daripada dampak positif ekonomisnya. Mereka berharap Dairi jangan lagi menjadi korban “Lapindo” kedua.
Selain itu, narasumber dalam diskusi adalah para korban dari tambang-tambang yang ada di Sumatera Utara seperti komunitas Yayasan Srikandi Lestari dari Langkat. Mereka dari daerah Pangkalan Susu yang menghadapi pembangunan PLTU Batubara. Ada juga perwakilan warga yang sedang berhadapan langsung dengan Geotermal di Madina (Mandailing Natal). Mereka semua menjadi korban dari tambang atas izin Pemerintah. Menurut mereka Negara kini menjadi semakin buta dan tuli menyikapi dampak tambang. “Parahnya lagi tidak mau melihat bagaimana penderitaan rakyat akibat dampak tambang yang terjadi di lapangan,” ujar Mimi Surbakti, perwakilan Srikandi Lestari.
Perjuangan Para Korban Tambang vs Perusahaan Tambang
Suheiry dari Madina mengatakan bahwa dalam perjuangan mereka dalam melawan pertambangan emas di kampungnya ada juga jatuh korban. “Ketika melakukan aksi, ada seorang perempuan yang kena tembak peluru karet, sehingga harus berobat ke Medan. Polisi juga pernah mengepung mereka selama tiga hari tiga malam. Namun korban yang terkena peluru karet tersebut akhirnya dikrimilisasi oleh pihak kepolisan dengan menjadikanya sebagai tersangka. Hal inilah kesulitan dan kejamnya perjuangan melawan kehadiran pertambangan,” tegas Suheiry.
“Kita petani membutuhkan kenyamanan dalam mengusahakan tanah kita. Kalau sudah tak nyaman maka usaha tani kita akan gagal. Untuk mendapatkan kenyamanan kita, harus berjuang dengan semangat,” tutur Saptar selaku perwakilan dari Madina. Selain itu, dia juga menambahkan bahwa kita harus legowo (terbuka). Jangan membedakan antara yang bersentuhan langsung dengan yang tidak bersentuhan langsung. Dia adalah perwakilan komunitas di mana desa mereka berada di tengah-tengah tambang geothermal Sorik Marapi Power.
Kerusakan terhadap lingkungan di daratan Sumatera Utara akan terus berlangsung dengan eksploitasi secara terus-menerus tanpa mempertimbangkan ancaman terhadap keselamatan ruang hidup warga. Di Sumatera Utara sendiri ada 3 perusahaan raksasa salah satunya adalah PT. Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi yang siap membongkar isi perut bumi Dairi yang rawan gempa dan bencana.
Selanjutnya pada Rabu (31/5/2023) di PTUN Jakarta, masyarakat Dairi menggugat atas persetujuan lingkungan PT PDM dari Pemerintah. Gugatannya agar izin lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dicabut karena membahayakan masyarakat setempat sebagai korban tambang. (BTS)