JAKARTA, DanauToba.org— Keramba jaring apung (KJA) yang semakin banyak jumlahnya di Danau Toba sudah jelas melanggar UU RI No. 23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup.
KJA tersebut sangat jelas telah menyebabkan pencemaran Danau Toba sebagaimana dinyatakan dalam UU RI No. 32 Tahun 2009, khususnya Pasal 1 angka 14 s/d 17, sebagai berikut:
Pasal 1,angka 14
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Pasal 1, angka 15
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Pasal 1, angka 16
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 1, angka 17
Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Paparan tersebut disampaikan Sandi Ebenezer Situngkir (Ketua Departemen Hukum dan Agraria YPDT) sebagai Ketua Tim Advokasi Litigasi dan Non-litigasi YPDT.
Pada acara Diskusi Kamisan (21/04/2016) di Sekretariat YPDT, Sandi Situngkir telah menelusuri bahwa terjadinya pelanggaran atas UU No. 32 Tahun 2009 itu karena diakomodasi oleh Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2014, tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya. Dalam PerPres tersebut khususnya dinyatakan:
Pasal 1 Angka 29
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: Keramba Jaring Apung yang selanjutnya disingkat KJA adalah tempat pemeliharaan ikan yang terapung di permukaan air.
Pasal 7 huruf e
Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Danau Toba meliputi, pengendalian kawasan budidaya perikanan danau.
Strategi pengendalian kawasan budi daya perikanan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e meliputi:
- mengendalikan kawasan budi daya perikanan dan keberadaan KJA dengan menetapkan lokasi kawasan budi daya perikanan dan kawasan KJA yang didasarkan pada kualitas baku mutu air kelas I;
- melarang budi daya perikanan danau di wilayah perairan terbuka dari tepian hingga kedalaman 30 (tiga puluh) meter yang memiliki fungsi utama sebagai habitat hewan dasar dan wilayah pemijahan ikan;
- mengendalikan budi daya perikanan yang berada pada wilayah perairan terbuka/limnetik dengan kedalaman 30 (tiga puluh) meter hingga 100 (seratus) meter dan pada wilayah outlet perairan Danau Toba sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup dan kualitas baku mutu air danau kelas I; dan
- mengendalikan budi daya perikanan secara terbatas pada wilayah perairan dalam/profundal pada kedalaman di atas 100 (seratus) meter sebagai zona pengurai/dekomposer ekosistem alami.
“Jelas ini menjadi masalah. PerPres harus diubah dengan melakukan lobby ke Presiden. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup harus dipatuhi Pemerintah dan pengusaha,” tegas Sandi Situngkir.
Siagian mengusul agar kita menginventarisasikan peraturan-peraturan terkait apakah bertentangan dengan UU dan UUD 1945. Menanggapi Siagian, Jerry R.H. Sirait malah menawarkan usulan konkret. Kata Jerry R.H. Sirait, “Kita harus kirim surat kepada Presiden Jokowi. Pertama, ucapan terimakasih kepada Presiden untuk penetapan Danau Toba sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata di Indonesia. Memohon kepada Pemerintah untuk serius menangani destinasi wisata itu. Kedua, ada masalah serius tentang Danau Toba khususnya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Ketiga, surat tersebut dilengkapi dengan dokumen akademik dalam aspek hukum dan data terkini kondisi Danau Toba.”
Permasalahan Danau Toba makin kompleks dan rumit (complicated) ketika aspek regulasi bertentangan dan tumpang tindih terhadap UU dan UUD 1945. Regulasi-regulasi yang dihasilkan harus sesuai dan mengikuti UU dan UUD 1945.
Tim Litigasi dan Non-litigasi YPDT diharapkan mampu memberikan solusi yang disampaikan kepada Presiden. Solusi yang akan disampaikan harus mengacu pada filosofi suku Batak, yaitu: Tao Toba Na Uli, Aek Na Tio, Mual Hangoloan (Danau Toba yang Cantik/Indah, Air danaunya yang Jernih, Air Kehidupan) dan Menjadi Kota Berkat di Atas Bukit. Filosofi tersebut menjadi arah pandang Pemerintah dan masyarakat Batak dalam mengelola Kawasan Danau Toba. (BTS)