JAKARTA, DanauToba.org — Bagi masyarakat di pinggiran Danau Toba yang memiliki usaha peternakan ikan (fish farming) dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) sangat sulit jika diperhadapkan pada pilihan antara mempertahankan mata pencaharian yang menopang hidup keluarga mereka dan melestarikan lingkungan hidup di Danau Toba.
Dalam sebuah diskusi singkat, Selasa (26/4/2016), di salah satu lapo di Silalahi Nabolak dengan beberapa warga pemilik keramba berbicara tentang keramba, ada yang menarik untuk kita sama-sama gumuli. Mereka mengakui bahwa KJA mencemari lingkungan perairan Danau Toba, tetapi di sisi lain mereka juga mengakui keramba dapat meningkatkan pendapatan dan menampung tenaga kerja.
Ini dapat dikatakan dua hal yang saling bertentangan. Mereka mungkin pada awal memulai usaha KJA belum menyadari kalau KJA dapat mencemari lingkungan perairan Danau Toba. Namun ketika mereka sudah makin jelas melihat bahwa KJA memang mencemari Danau Toba, mereka bingung harus bagaimana. Apakah mereka harus meninggalkan usaha KJA tersebut yang jelas-jelas menopang mata pencarian mereka untuk keluarga atau tetap mempertahankan usaha KJA sementara Danau Toba terus-menerus tercemar karena pelet ikan yang berkontribusi besar merusak kejernihan air Danau Toba (aek natio)?
Ketika ditanyakan apakah mereka mengetahui bahwa ada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup yang bertujuan menjaga kelestarian Tao Toba Na Uli, Aek Na Tio, Mual Hangoloan (Danau Toba yang Cantik/Indah, Air danaunya yang jernih/bening, Air Kehidupan)?
Mereka mengatakan belum tahu ada UU tersebut atau Peraturan lain (PerPres, PerGub, dan Perda Kabupaten)? Bahkan menurut mereka, petugas Kabupaten terkait pun belum pernah melarang usaha keramba. Belum ada sosialisasi untung-rugi keramba.
Secara umum mereka mau keramba dihentikan dengan solusi kompensasi usaha yang dapat mempertahankan pendapatan mereka tanpa merusak lingkungan dengan modal awal dan pendampingan pemerintah.
Tuntutan mereka cukup wajar, tetapi masyarakat juga harus partisipatif mencari alternatif lain dalam peralihan usaha untuk mata pencahariannya. Peran pemerintah daerah sangat penting membantu mereka dalam mencari solusi tersebut.
Melalui ngobrol santai di warung kopi orang Batak (lapo) yang direkam Johannes Silalahi ini, kita memperoleh masukan dari masyarakat untuk gumul-juang kehidupan mereka di Kawasan Danau Toba. Ini menjadi titik terang munculnya kesadaran masyarakat yang makin dicerahkan melalui informasi yang benar dan tepat.
Editor: Boy Tonggor Siahaan
Sumber: Johannes Silalahi