DanauToba.org — Kekerasan seks terhadap anak di Kawasan Danau Toba (KDT) telah mengalahkan slogan Danau Toba sebagai destinasi prioritas pariwisata utama di Indonesia. Apa artinya slogan tersebut jika anak-anak kita menjadi korban kekerasan seks yang angka statistiknya terus naik?
Keprihatinan ini telah mendorong BATAK CENTER mengangkat isu tersebut dalam Diskusi Publik di Sekretariat BATAK CENTER, Tanah Abang, Jakarta, Senin (24/7/2023). Topik Diskusi Publik tersebut adalah Mengatasi Patologi Sosial pada Anak. Diskusi Publik ini berlangsung secara dwi ruang (diksi yang diperkenalkan Mr. Inspirator BTS) atau hybrid (diksi asing). Artinya, pelaksanaan perhelatan tersebut menggunakan ruang nyata (onsite) dan ruang maya (online melalui aplikasi Zoom).
Para narasumber yang memantik diskusi antara lain: Arist Merdeka Sirait (Ketua Umum KOMNAS Perlindungan Anak), Susi Rio Panjaitan (praktisi dan pemerhati anak dan pengampu psikologi di Unika Atma Jaya Jakarta), Parlin Sianipar (tokoh masyarakat Toba), dan Nasib Simarmata (Ketua Umum DPP LABB). Sementara itu, Freddy Pandiangan dari BATAK CENTER menjadi moderator dan Jhohannes Marbun (BATAK CENTER) menjadi pemandu acara (MC).
Sambutan dari BATAK CENTER
Sekretaris Jenderal (Sekjen) BATAK CENTER Jerry R. Sirait menyampaikan sambutan dari BATAK CENTER mewakili Ketua Umum BATAK CENTER Sintong M. Tampubolon yang tidak bisa hadir.
Dalam sambutannya Sekjen BATAK CENTER menjelaskan bahwa kekerasan seks di KDT makin parah. Demikian pula, angka penyalahgunaan narkoba makin tinggi yang berimbas tingginya penularan HIV. KDT sudah darurat patologi sosial (penyakit masyarakat).
“Kita tidak bisa tinggal diam atau membiarkan hal ini terus terjadi. Kita harus berbuat sesuatu menyelesaikan patologi sosial tersebut,” ajak Sekjen BATAK CENTER kepada para peserta diskusi.
Karena itu, BATAK CENTER menyelenggarakan diskusi ini untuk menjajaki solusi apa yang dapat kita lakukan bersama. “Kita ingin mencaritemukan apa yang menjadi akar masalah dari patologi sosial tersebut dan memetakannya yang terjadi di KDT,” ungkap Jerry.
Selain itu, Sekjen mengajak organisasi Batak lainnya seperti LABB (Lokus Adat Budaya Batak) khususnya dan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) untuk bekerjasama mengatasi patologi sosial ini.
Paparan dari Susi Rio Panjaitan
Susi Rio Panjaitan sebagai praktisi di bidang psikologi memaparkan setidaknya ada 21 kondisi yang menjadi masalah patologi sosial saat ini terhadap anak-anak Indonesia. “Saya mengategorikan ada 21 kondisi buruk yang patut menjadi perhatian kita. Di antaranya adalah kondisi anak-anak yang stunting, merokok, minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, hamil di luar nikah, adiksi gadget, flexing (pamer secara berlebihan), tidak memiliki sopan santun, daya juang rendah, dan korban perundungan (bullying).
Menurut Susi, penyebab hal di atas adalah faktor kemiskinan, nirfungsi keluarga (fungsi utama keluarga hilang), minimnya keteladanan orangtua, kurangnya pendidikan karakter, penyalahgunaan internet dan gadget (perangkat digital seperti HP, laptop/komputer, dll), pergaulan bebas, buruknya perlindungan terhadap anak, abai terhadap hak anak, masalah penegakan hukum kepada pelaku kekerasan terhadap anak.
Selanjutnya apa solusinya? Susi menawarkan agar ada penguatan dalam keluarga dari keluarga terdekat, lembaga keagamaan, dan lembaga adat/masyarakat. Kalau kita berharap pada pemerintah masih secara birokrasi dan lebih bersifat makro, maka lebih baik dalam lingkup kecil dan komunitas yang lebih memungkinkan.
Di akhir paparannya, Susi menegaskan: “Semua sebenarnya bermula dari keluarga. Orangtua menjadi pendidik pertama dan teladan bagi anak. Karena itu, rumah (keluarga) harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak.”
Pemaparan dari Arist Merdeka Sirait
Arist mengajak para peserta diskusi satu presepsi dahulu tentang patologi sosial. Dia menjelaskan patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” karena berbagai faktor sosial.
Gejala patologi sosial ini juga sudah merambah kepada anak-anak, jadi bukan orang dewasa saja. “Anak-anak juga melakukan kekerasan kepada anak-anak di bawah usianya. Anak-anak sudah dalam kategori kronis dan akut, baik korban maupun pelaku (anak). Apakah ini kita sebut kenakalan anak atau kejahatan (kriminal)?” ungkap Arist.
Arist menyampaikan beberapa hal yang sudah masuk kategori kronis dan akut, antara lain:
Pertama, krisis moral dan minus akhlak, sudah menjangkit kepada anak-anak, di mana dalam kasus-kasus kekerasan seks anak tidak saja korban, tetapi juga sebagai pelaku. Dari tingkat usia sebagai pelaku, juga sebagai korban, dari usianya semakin muda. Anak tidak mampu membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Kedua, perilaku jahat dan tidak memiliki belas kasih terhadap yang lain. Dalam hal ini, anak melakukan kejahatan fisik dengan cara mengeroyok anak lain, bahkan dengan memakai senjata tajam yang mengakibatkan luka sampai meninggal dunia. “Dalam kasus tertentu, ada anak remaja tega menghabisi anak lain dengan clurit yang sempat kami tangani di Komnas Perlindungan Anak,” ucap Arist dengan rasa sedih.
Ketiga, gaya konsumerisme dan keinginan anak yang tidak terkontrol. Arist mencontohkan seorang anak yang lahir di tengah keluarga kaya. Sejak dini ia sudah dijejali dengan barang-barang mewah yang sesungguhnya bukan kebutuhan anak. Akibatnya anak tidak ada kepekaan sosial dan menjadi egois. Sebaliknya, ada anak dari keluarga tidak mampu memaksakan diri untuk mendapat barang-barang mewah dengan cara ‘menjual diri’ sendiri atau menjadi mucikari bagi anak lainnya.
Lebih lanjut, Arist menegaskan Tema Hari Anak Indonesia: “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” adalah tema yang berat bagi kita. “Saya tidak melihat ada upaya serius kita melindungi anak-anak kita. Bahkan pemerintah pun, dalam hal ini pemerintah daerah, tidak terlihat nyata tindakannya melindungi anak. Kepada Bupati di Kawasan Danau Toba pun sudah berkali-kali saya sampaikan. Mereka hanya berkelit bahwa itu urusan keluarganya. Demikian pula gereja, tidak ada suara kenabian disampaikan, terutama dari mimbar,” tegur Arist kepada kita semua.
Kisah Pilu dari Parlin Sianipar
Tokoh masyarakat Toba Parlin Sianipar mempeoleh kesempatan menceritakan kisahnya ketika menghadapi kasus orang dewasa memperkosa anak gadis masih di bawah umur. Dia tidak mengerti mengapa orangtua (bapaknya), tulang (pamannya), dan bahkan ompung (kakeknya) tega memperkosa darah daging dari keturunannya sendiri. Bahkan ada anak yang sudah remaja hamil akibat perkosaan tersebut.
Selanjutnya, Parlin menjelaskan bahwa kasus kekerasan seks terhadap anak terus bertambah di Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Saya sampai bertanya: “Tuhan, ada apa dengan ini? Awalnya saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan? Namun, kemudian apa yang bisa saya lakukan, saya lakukan semampu saya.”
Parlin mengatakan bahwa kebanyakan keluarga yang melakukan tindak kekerasan tersebut adalah keluarga miskin (ekonomi rendah). “Saya merasa kasihan kepada mereka, terutama kepada si anak yang menjadi korban,” ungkapnya.
Bapak yang besar di kampung halamannya di Toba ini pun mendedikasikan masa tuanya untuk berbuat sesuatu menolong anak-anak yang menjadi korban. Bahkan Parlin pun membentuk organisasi dengan mengajak Arist Merdeka Sirait memberi perhatian pada kasus-kasus kekerasan tehadap anak. Dia juga bersyukur pihak gereja, dalam hal ini HKBP Balige, mau terlibat mengatasi masalah kekerasan tehadap anak. Bahkan Arist Merdeka Sirait atas dukungan Parlin Sianipar sempat memberikan pembekalan kepada jemaat gereja tersebut agar kasus-kasus kekerasan tehadap anak tidak terulang kembali.
Paparan dari Nasib Simarmata
Ketua Umum DPP LABB Nasib Simarmata menyatakan sangat mengapresiasi apa yang sudah disampaikan tiga pemantik sebelumnya. Dari ketiga pemantik tersebut, Nasib menyimpulkan bahwa anak adalah masa depan bagi keluarga, bangsa, dan negara. Namun demikian, dia menambahkan satu hal lagi, yaitu: Anak juga adalah aset bagi keluarga, bangsa, dan negara.
Karena anak adalah sebagai aset maka dia harus terlindungi, sebagaimana Tema Hari Anak Indonesia 2023. “Persoalannya bagi kita adalah bagaimana kita memberi perlindungan tesebut? Apa yang harus kita lakukan?” tegas purnawirawan berpangkat Kolonel ini.
Terkait adat Batak, Ketum DPP LABB ini menyampaikan bahwa orang Batak sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat anak. Bahkan ada filosofi Batak mengatakan: “Anakkonki hamoraon” (Anakku adalah hartaku). Artinya, harta orangtua terletak pada anaknya bukan pada materi yang lain. Karena itu, orangtua berjuang sekuat tenaga untuk memberikan hal yang terbaik bagi anaknya.
LABB sebagai salah satu lembaga yang mengurusi adat Batak dengan senang hati dapat membantu masalah patologi sosial tersebut. “Kita akan mengupayakan membentuk tim bersama BATAK CENTER dan ormas Batak lainnya,” tawarnya.
Selain ormas Batak, Nasib Simarmata juga menegaskan pemerintah dan negara harus hadir menyelesaikan persoalan patologi sosial pada anak ini. Menurutnya, “Selama ini program pemerintah baru sebatas ‘pemadam kebakaran’, artinya ada masalah baru dipadamkan. Karena itu, kita harus mendorong pemerintah untuk merumuskan hal-hal yang membuat anak-anak terhindar dari patologi sosial. Sebab anak-anak adalah aset bangsa yang menggantikan kita kelak.”
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan