MEDAN, DanauToba.org — Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap Sumberdaya Alam, khususnya hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan korporasi.
Di Sumatera Utara terdapat perusahaan PT.TPL yang telah melakukan praktik deforestasi selama puluhan tahun, yang melahirkan berbagai macam polemik, salah satunya yang nyata adalah praktek alih fungsi lahan berskala besar di dalam kawasan bentang Tele. Bentang Tele memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk Kawasan Danau Toba (KDT). Kawasan hutan terakhir yang harus diselamatkan dari ancaman TPL, jelas karena kawasan hutan Tele merupakan hutan alami yang tersisa di wilayah kawasan Danau Toba. Bentang Tele sedang menghadapi ancaman dari keberadaan konsesi TPL seluas 68.000 Ha. Kawasan hutan bentang Tele punya fungsi penghidupan bagi puluhan desa di kawasan hutan Tele.
Temuan Walhi Sumut mencatat tangkapan citra sentinel tahun 2016, keberadaan TPL menyebabkan setidaknya 20.000 Ha tutupan hutan hilang di bentang alam Tele. Walhi Sumut juga mencatat tangkapan citra sentinel tahun 2020, keberadaan TPL menyebabkan setidaknya 22.000 tutupan hutan hilang di bentang alam Tele. Melihat laju deforestasi kawasan hutan di KDT, TPL berkontribusi atas rusaknya 4000 Ha kawasan hutan lindung, dan 18.000 Ha kawasan hutan Produksi di kawasan hutan bentang alam Tele. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 8: Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut dan pemeliharaan kesuburan tanah. ”Praktek perusakan kawasan hutan lindung yang dilakukan oleh TPL di bentang alam Tele indikasi yang kuat bahwa TPL telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan pemerintah harus melakukan evaluasi dan menerapkan penegakkan hukum setegas-tegasnya terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh TPL,” demikian diungkapkan Roi Lumban Gaol Deputi I Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut.
TPL melakukan penanaman dalam kawasan Hutan Lindung di konsesinya. Areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi, justru diubah TPL menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman eukaliptus yang berdekatan dengan tanaman hutan alam. Tim investigasi tahun 2021 oleh KSPPM dan Jikalahari menemukan TPL telah menanami eukaliptus sekitar 318 meter dari jarak penebangan tahun 2017. Artinya, tanaman eukaliptus yang ditemukan tim Investigasi 2021 bekas kayu alam yang ditebang oleh TPL. Hasil overlay GIS juga mencatat kawasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau IUPHHKHT TPL dengan fungsi kawasan hutan menunjukkan areal TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar dan Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar. Dari luas izin atau legalitas PT. TPL seluas 188.055 hektar, setidaknya 28 persen atau 52.668,66 hektar adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK dan APL.
Sejak awal, kehadiran perusahaan ini sudah menimbulkan banyak masalah, khususnya terkait dengan perampasan ruang hidup masyarakat adat di Tano Batak. Saat ini TPL memiliki luas konsesi sekitar 167,912 hektar di Sumut. Dari data AMAN Tano Batak, hingga saat ini ada sekitar 37.500 hektar wilayah adat dari 21 komunitas adat yang tumpang tindih dengan wilayah konsesi tersebut”, ujar Samuel Purba dari AMAN Tano Batak. “Konflik ini seringkali berujung pada intimidasi dan kriminalisasi terhadap anggota masyarakat adat yang berjuang mempertahankan wilayah adatnya. Pemerintah selama ini tidak serius menerbitkan kebijakan yang berpihak pada Masyarakat Adat melalui hadirnya Undang-Undang dan Peraturan daerah terkait Pengakuan dan Perlindungan masyarakat”, imbuhnya kemudian.
Senada dengan hal tersebut, Juniaty Aritonang, Kordinator Studi & Advokasi BAKUMSU, mengatakan bahwa pasca re-operasi pada 2002, TPL telah melahirkan rentetan peristiwa kekerasan, kriminalisasi, dan diskriminasi hak-hak hukum. Rangkaian kekerasan, kriminalisasi dan diskriminasi hukum sejalan dengan semakin kompleks dan meluasnya persoalan struktural yang disebabkan kehadiran TPL. Tercatat sebanyak 93 orang menjadi korban langsung kriminalisasi akibat keberadaan TPL. Dari total korban tersebut tercatat 40 orang yang diseret ke meja hijau di mana 39 kasus dinyatakan terbukti bersalah, dan hanya 1 orang dinyatakan bebas murni oleh majelis hakim karena tidak terbukti bersalah. Sisanya, sebanyak 47 dinyatakan berstatus tersangka, dan 6 lainnya berstatus terlapor. Kehadiran PT TPL, diyakini bahwa tindakan kekerasan, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum terhadap masyarakat adat dan lokal telah terjadi secara sporadis di berbagai wilayah konsesi TPL berada.”
Deden Pramudiana juru kampanye Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), menegaskan “pelanggaran HAM yang terjadi diakibatkan karena tidak adanya penatabatasan, hingga perampasan hutan kemenyan yang berdampak pada hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat adat”. Hasil pemantauan lapangan dan analisis sertifikat pada skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), ditemukan TPL telah melakukan pelanggaran-pelanggaran atau ketidaksesuaian. Namun demikian dalam resume hasil penilikan oleh PT Ayamaru Sertifikasi, TPL mendapatkan nilai BAIK karena telah memiliki dokumen legal dan administrasi tata batas lengkap sesuai dengan tingkat realisasi pelaksanaan tata batas yang telah dilakukan, serta telah menyusun mekanisme penyelesaian konflik. Namun pada kenyataannya, konflik karena tata batas masih terus terjadi hingga saat ini, sehingga hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian Nilai BAIK yang diberikan oleh PT Ayamaru kepada TPL. Selain itu TPL melakukan praktik-praktik penebangan dan penanaman eukaliptus pada kawasan yang dilindungi di konsesinya, seperti sempadan sungai dan jalur hijau.
Deden Pramudiana mengatakan, “TPL tidak memenuhi (uncompliance) aspek prasyarat, sebagaimana diatur dalam standar Sertifikasi Produksi Hutan Lestari (S-PHL) di mana aspek ini merupakan inti dan paling berpengaruh, sehingga pelanggaran/ketidaksesuaian pada aspek prasyarat tersebut secara nyata menunjukkan bahwa aspek-aspek lain seperti aspek ekologi, aspek produksi, dan aspek sosial juga bermasalah, sehingga sertifikat tersebut layak dicabut”. Selain buruknya praktek pengelolaan hutan oleh TPL, pada industri hilirnya TPL pada periode 2006-2016 diduga melakukan manipulasi pajak untuk ekspor ke Makau China pada produk bahan baku pulp dan paper (Laporan Forum Pajak Berkeadilan). JPIK bersama Forum Pajak Berkeadilan telah melaporkan dugaan penggelapan pajak ekspor dan pemalsuaan HS-code Industri TPL kepada lembaga seritifikasi kayu yaitu PT SGS, dengan harapan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) TPL dicabut, pungkas Deden Pramudiyana. (Siaran Pers 18-11-2021)