Press Release Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT)
Menjelang Tiga Bulan Kinerja Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba
Sejak dicanangkan pengembangan Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan terutama setelah dibentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT), masyarakat Batak baik yang bermukim di KDT maupun perantauan sangat berterima kasih kepada pemerintah pusat. Hal ini tercermin dari sambutan masyarakat Batak dalam berbagai media massa maupun dalam pembicaraan sehari-hari di tengah masyarakat. Masyarakat berharap akan ada perubahan kualitas hidup dan peningkatan ekonomi masyarakat dan ada juga pemberitaan akan adanya proyek besar-besaran dalam menyiapkan kawasan ini membuat sebagian kalangan sangat antusias serta hendak mengambil bagian dalam proyek tersebut. Terlebih pernah diberitakan bahwa akan terkucur dana 11 Triliun di KDT. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa dana ini akan di kelola BOPKPDT.
Lalu, sehubungan dengan itu berbagai elemen masyarakat dari berbagai komunitas, organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun tokoh banyak melakukan upaya atau manuver untuk ikut aktif dalam kegiatan pembangunan tersebut. Elemen masyarakat tersebut mengadakan kerjasama dengan BOPKPDT melakukan sosialisasi pengelolaan wisata Danau Toba. Ini tentunya merupakan suatu hal yang wajar. Namun demikian, harapan masyarakat melalui ‘perlombaan’ untuk mendekatkan atau melobi BOPKPDT ini bisa menimbulkan dampak kurang baik dan membingungkan masyarakat.
Kami mencermati bahwa sejak dilantiknya pada 30 November 2016 sampai dengan hari ini, BOPKPDT belum menghasilkan suatu konsep Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba menjelang deadline yang ditentukan. Pasal 20 ayat (2) Peraturan Presiden nomor 49 tahun 2016 tentang BOPKPDT menyebutkan bahwa “Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba diusulkan oleh Badan Pelaksana melalui Menteri Pariwisata untuk ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selaku Ketua Dewan Pengarah paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Badan Pelaksana terbentuk”.
Idealnya BOPKPDT harus membuat konsep rencana induk meliputi prinsip-prinsip dasar seperti: bagaimana wisata dikembangkan dalam ruang sosial-budaya Batak dan alam KDT, agar tercapai perkembangan wisata yang berkelanjutan dalam arti wisata berkembang tetapi sosial budaya dan alam KDT tidak rusak. Bahkan keunikan maupun kekhasan alam dan budaya yang ada di KDT menjadi daya tarik dan sekaligus media pengetahuan bagi wisatawan. Dengan konsep inilah seharusnya BOPKPDT datang menemui dan konsultasi dengan para tokoh masyarakat, pimpinan gereja dan pemerintah daerah untuk mendapatkan masukan-masukan agar dapat menghasilkan rencana induk yang compatible atau sesuai dengan kondisi sosial budaya Batak dan lingkungan alam KDT.
Sejalan dengan hal tersebut, Presiden RI, Joko Widodo dalam Sambutannya pada Pembukaan Konferensi Forum Rektor Indonesia 2017, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2017) memaparkan perlunya mengenali dirinya sendiri untuk menentukan arah. Potensi yang dimiliki Indonesia harus dioptimalkan agar dapat bersaing dengan negara lain. Lebih lanjut Presiden Jokowi menilai bahwa Indonesia memiliki deoxyribonucleic acid (DNA), yaitu: berkarya dalam seni dan budaya dan perlu dijadikan dasar untuk mengembangkan sektor pariwisata yang menjadi keunggulan Indonesia. Paparan Presiden Jokowi tersebut relevan dengan portofolio pengembangan (produk) usaha meliputi 60% seni dan budaya, 35% alam dan 5% buatan manusia (man made), sehingga pengembangan pariwisata dan bangsa harus berbasis kreativitas dan bukan melakukan eksploitasi dengan merusak lingkungan hidup serta merusak relasi manusia dengan alamnya. Menjadi tugas kita bersama untuk menumbuhkan kreativitas dan kemandirian. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang mandiri dan berdaulat atas alamnya dan dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana konsep Soekarno dan diimpelentasikan ke dalam program NAWACITA.
Namun demikian, secara faktual sampai saat ini draft konsep itu belum ada, sehingga sosialisasi yang telah dilakukan membingungkan masyarakat, seperti: bagaimana peran BOPKPDT di tengah sistem pemerintahan yang ada di daerah, peran apa yang dapat dilakukan masyarakat, komunitas, gereja, bagaimana kelestarian adat budaya masyarakat, dll. Diinformasikan juga oleh BOPKPDT bahwa Rencana Induk Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba sedang disusun melalui bantuan Bank Dunia (Informasi yang kami peroleh Kerangka Acuan Kerja – KAK studi penyusunannya dibuat oleh atau bersama Bank Dunia. Secara umum KAK memuat tujuan studi atau penelitian, lingkup dan produk penelitian, langkah-langkah penelitian, jangka waktu, keahlian yang dibutuhkan serta perkiraan biaya studi). Hal ini diluar kelaziman, karena KAK studi disusun dengan Bank Dunia. Idealnya, KAK dibuat oleh ‘pemilik’ dalam hal ini adalah Kementerian Pariwisata dan daerah karena kedua elemen tersebut mengetahui pariwisata apa yang ingin dikembangkan di KDT. Kenyataan tersebut seakan menunjukkan bahwa Kemenpar dan BOPKPDT tidak punya kapasitas membuatnya dan tidak berusaha pula berkomunikasi dengan pemangku kepentingan dan para ahli yang memang memahami situasi dan permasalahan di KDT. Karena kekurangjelasan ini baik arah dan bentuk serta besaran investasi menimbulkan informasi yang simpang siur di masyarakat dan tentunya dapat menimbulkan hal yang kurang produktif terhadap dukungan masyarakat.
Padahal apabila dicermati Perpres 49 tahun 2016, BOPKPDT akan mengelola seluruh kegiatan pariwisata Danau Toba melalui penyiapan Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba (Seluruh wilayah KDT merujuk Perpres nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya) serta melakukan koordinasi dan evaluasi. Pembangunan mulai dari tahap perencanaan detail dan pembangunan fisik hanya ditangani oleh BOPKPDT di wilayah 600 ha yang telah ditentukan melalui kerjasama dengan badan usaha. Ini berarti dana pembangunan di luar 600 ha dilaksanakan oleh sektor atau kementerian dan daerah sesuai tanggung jawab masing-masing. Apabila dikalkulasi, penyusunan Rencana Induk, koordonasi di internal maupun di luar BOPKPDT serta biaya pemasaran dan penyuluhan masyarakat hanya membutuhkan biaya-biaya rapat, perjalanan dinas dan penyuluhan. Jadi, biaya yang dikelola BOPKPDT hanya sekitar 25% atau 3 trilliun selama 10 tahun atau sekitar 300 milyar rupiah per tahun. Belum lagi masalah pemilikan tanah dan peralihan fungsi hutan lindung 600 ha (sesuai RTR KDT- Perpres 81 tahun 2014). Persiapan ini tentunya membutuhkan waktu lama, padahal menurut Perpres 49 tahun 2016, Rencana Detail Pembangunan dan targetnya harus sudah selesai pada 2019. Hal ini semua menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, agar terdapat suasana kondusif di masyarakat, kiranya hal-hal di atas perlu dijelaskan oleh BOPKPDT. Secara mendasar pembentukan badan pembangunan di suatu kawasan dimaksudkan bertujuan agar proses perencanaan sampai dengan pengelolaan dapat lebih profesional sehingga terjadi percepatan pembangunan yang efektif.
Jakarta, 13 Februari 2017
Salam Danau Toba,
Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT)
Ttd
Drs. Maruap Siahaan, MBA.