JAKARTA, DanauToba.org — Sebagaimana biasa setiap Kamis di Kantor Sekretariat Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) diadakan Diskusi Kamisan. Pada Kamis (10/3/2016) diadakan Diskusi tersebut membahas: “Hutan dan Tanah untuk Pembangunan Kawasan Danau Toba oleh (direncanakan) Badan Otorita Danau Toba.” Pemapar makalah dalam diskusi ini adalah Dr. Martua Sirait dan Dr. Ronsen Pasaribu.
YPDT mengangkat bahasan tentang hutan dan tanah ini karena tanah adalah kebutuhan paling penting bagi manusia, yang merupakan pemberian yang pertama dari Tuhan. Keberadaannya sangat dibutuhkan sebagai bagian dari identitas setiap manusia. Begitu pentingnya tanah ini bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka pembelaan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah untuk dikelola secara bijaksana bagi kehidupan semua makhluk hidup menjadi hal yang harus diperjuangkan jika terjadi ketidakadilan atas pengelolaan atas tanah dan hutan.
Pemapar makalah pertama, Martua Sirait, membahas topik tentang hutan. Sirait menegaskan bahwa hutan bagi masyarakat adalah hal yang sangat penting, tetapi ada skala prioritas yang perlu dipertimbangkan antara lain: perbaikan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan lingkungan.
Forum Diskusi menghasilkan beberapa poin penting di antaranya:
- Tanah adalah kebutuhan paling penting bagi manusia, yang merupakan pemberian yang pertama dari Tuhan. Keberadaannya sangat dibutuhkan sebagai bagian dari identitas setiap manusia.
- Masih tumpang tindihnya kebijakan maupun peraturan tentang pengelolaan tanah yang merujuk pada UU PA nomor 5 tahun 1960 dengan UU 41 tahun 1999 tentang Tata Kawasan Hutan yang bersifat Sektoral. Seharusnya Sektor Kehutanan hanya mengatur tentang Fungsi Hutan saja sebagaimana dasar pengelolaan hutan, dan tidak mengatur tentang tanah.
- Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012, Hutan Adat dan Hutan milik Desa BUKANLAH dikuasai atau dianggap sebagai Hutan Negara.
- SK Menteri Kehutanan RI no. 579 tahun 2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara tidaklah jelas dan mengandung multitafsir, apakah sebagai SK penunjukan sebagaimana di Poin Menimbang atau SK Penetapan sebagaimana poin penetapan.
- Setiap pengukuran Tata Batas Hutan Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (RKTN 2011-2014), saat ini terdapat ketidakadilan dan ketimpangan yang luar biasa dalam alokasi kawasan hutan. Terdapat 531 konsesi hutan dalam skala besar yang mencakup luas 35,8 juta ha. Di luar itu, terdapat 57 ijin HKM, HD dan HTR yang mencakup 30.000 desa di dalam dan sekitar hutan, dengan luas 40 juta ha hutan adat. Ironisnya, luas hutan yang dikuasai oleh masyarakat hanya 0,5 juta ha.
- Penataan pembangunan pada sektor Pertanahan, perlu ditata dengan suatu Regulasi yang menjamin berkembangnya pemilik tanah adat, maupun pribadi atau secara komunal disana. Konsep pembangunan tanpa pelepasan atau penggusuran hak adalah keniscayaan bagi kawasan Danau Toba. Mengambil contoh di Bali, pemilik tanah tetap eksis dengan melakukan perjanjian konsesi dalam waktu yang lama, sehingga investor diberikan Hak Guna Bangunan diatas tanah Milik Adatnya.
- Mengingat masih tumpang tindihnya permasalahan Pertanahan, maka diharapkan masyarakat tidak serta-merta menjual tanah milik atau tanah adatnya sebab sesungguhnya tanah adalah modal masyarakat yang dapat dikonversi sebagai saham yang dimiliki masyarakat dalam Pembangunan Kawasan Danau Toba. Dalam perhitungan investasi, tanah di Kawasan Danau Toba tidak pernah susut harganya. Justru sebaliknya harganya semakin mahal, bisa mencapai 10 – 50 juta rupiah per meter.