
DanauToba.org — Perlukah hujan buatan di Danau Toba? Mungkin pertanyaan ini menggelitik kita. Sebagaimana kita ketahui Gurgur Manurung mengangkat topik yang senada dengan pertanyaan ini dalam Blog Kompasiana pada Jumat (4/11/2022). Tulisan Gurgur tersebut bagi Budi Harsoyo dari TMC BRIN menyudutkan Tim TMC yang merekayasa hujan buatan di Danau Toba tersebut.
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) melihat bahwa pendapat kedua belah pihak tersebut perlu duduk bersama untuk mendiskusikannya. Dalam hal ini, YPDT berinisiatif mengundang Gurgur Manurung (aktivis lingkungan hidup) dan Budi Harsoyo dari Tim TMC (Teknoogi Modifikasi Cuaca) BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) hadir dalam Diskusi Kamisan. Diskusi ini berlangsung secara online melalui Zoom Meeting dan tatap muka (onsite) di Sekretariat YPDT, Jakarta, Kamis (17/11/2022). Johansen Silalahi (mantan peneliti di LIPI [sekarang menjadi BRIN]) bertindak sebagai moderator.
Gurgur sebagai pemantik diskusi pertama menyampaikan alasannya dan mempertanyakan soal hujan buatan hasil rekayasa Tim TMC BRIN di Danau Toba.
Menurutnya, selama beberapa minggu lebih sejak dari awal November 2022 cuaca di Danau Toba tidak menentu. Terik matahari menyengat di siang hari tiba-tiba hujan rintik-rintik dan angin menusuk ke tulang. Kawasan Danau Toba (KDT) tidak biasa seperti itu. Cuaca di KDT biasanya bersahabat. Kalaupun ada perubahan cuaca tidaklah lama. Rakyat banyak mengeluh karena sudah sebulan lebih cuaca tidak menentu. Rakyat merasa aneh dengan cuaca selama sebulan lebih ini. Mengapa cuaca di KDT aneh?
“Ada dampak sosial terhadap perubahan cuaca yang aneh tersebut?” tanya Gurgur. Gurgur menyebutkan beberapa di antaranya: di Balige, penjual makanan dan jajanan di pinggir jalan mengeluh karena jualannya tidak laku; orangtua mengeluhkan anak-anaknya cukup banyak yang demam selama cuaca tidak menentu tersebut; penyebaran hujan tidak jelas seperti di Pangururan hujan lebat, tetapi di Balige terik matahari.
TMC BRIN Melakukan Modifikasi Cuaca
Setelah mencari tahu, Gurgur menemukan ternyata pihak TMC BRIN merekayasa cuaca dengan hujan buatan. Mereka sedang melakukukan modifikasi cuaca sudah lebih dari 1 bulan. Pegawai BRIN silih berganti datang dari Jakarta untuk modifikasi cuaca di Danau Toba. BRIN melakukan modifikasi cuaca dengan menggunakan pesawat sewaan.
“Ketika bertemu dengan pegawai BRIN, saya menanyakan bahan kimia apa saja yang digunakan dalam modifikasi cuaca? Pegawai BRIN menjelaskan bahwa bahan dasarnya yang memiliki potensi hujan adalah garam (NaCl). Selama sebulan lebih berapa banyak garam atau bahan kimia lain yang mereka tabur? Berapa kali kegagalannya? Pegawai BRIN enggan menjawab secara detail,” ujar Gurgur.
“Saya melanjutkan pertanyaan tentang dampak penebaran garam terhadap kandungan garam (salinitas) air Danau Toba? Apakah BRIN menghitung berapa banyak maksimal kandungan garam yang dapat ditebar? Ini penting untuk menjaga ekosistem Danau Toba dan dampaknya terhadap pertanian penduduk di sekitar Danau Toba? Apakah juga BRIN mempertimbangkan dampak sosialnya?” lanjutnya.
Permukaan Air Danau Toba Turun
Menurut informasi yang YPDT himpun, belakangan ini permukaan air Danau Toba turun di bawah ambang batas normal 904-905 m dpl (di atas permukaan laut). Tentu hal ini berdampak positif dan negatif terhadap lingkungan di KDT. Salah satu yang merasakan dampaknya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Inalum (Persero).
Inalum membutuhkan kestabilan air Danau Toba karena untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sungai Asahan. Sungai Asahan mendapatkan pasokan air dari Danau Toba. PLTA di Sungai Asahan itu berguna untuk pasokan listrik pada peleburan aluminium milik Inalum di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Menurut Gurgur, selama ini persepsi publik PLTA Asahan tersebut berfungsi sebagai pasokan listrik untuk rakyat, faktanya untuk kebutuhan peleburan aluminium.
Selanjutnya Gurgur berkomentar Inalum membutuhkan air Danau Toba untuk menggerakkan turbin PLTA Asahan. Caranya adalah dengan mengeruk Sungai Asahan dan menggunakan TMC. “Saya khawatir TMC akan mengganggu kesehatan organisme di Danau Toba dan sekitarnya. Muncul pertanyaan bagimana dengan ikan-ikan di Danau Toba dengan TMC yang menggunakan garam? Bagaimana dampaknya terhadap ikan-ikan di Danau Toba?
Sembilan Kategori Pertanyaan Gurgur kepada BRIN
Terakhir, Gurgur menyampaikan sembilan kategori pertanyaan kepada BRIN, antara lain:
- Apa itu TMC? Apa kegunaannya? Di wilayah mana saja BRIN telah menerapkan TMC di Indonesia?
- Sejak kapan BRIN menggunakan TMC, khususnya di Kawasan Danau Toba?
- Sejak awal Oktober 2022 cuaca di Kawasan Danau Toba tidak menentu. Masyarakat Danau Toba mengeluh tentang banyaknya anak-anak demam sejak awal Oktober 2022. Apa tanggapan BRIN tentang hal itu?
- Apakah TMC secara etika keilmuwan boleh meningkatkan tinggi permukaan danau? Untuk kegunaan apa sesungguhnya TMC itu?
- Berapa kali BRIN melakukan TMC setahun terakhir dan apa tantangannya?
- Bahan kimia apa saja pada TMC dan berapa banyak penggunaannya? Bagaimana mengendalikan dampak bahan kimia itu terhadap ekosistem di wilayah terdampak TMC?
- Bagaimana BRIN menyiasati dampak kimia, fisika, biologi, dan sosial sebagai konsekuensi dari TMC?
- Berapa waktu paling lama untuk mengendalikan dampaknya dari resiko paling tinggi TMC?
- Bagaimana BRIN melihat kesiapan Pemprov dan Pemkab di Sumut untuk mengotrol atau persiapan data pembanding dari BRIN tentang dampak dari TMC?
Respons Budi Harsoyo Mewakili Tim TMC BRIN
Mewakili Tim TMC BRIN, Budi Harsoyo mencoba menjawab pernyataan dan pertanyaan dari Gurgur Manurung terhadap tulisannya di Kompasiana dan pada diskusi ini.
Menurut Budi, tulisan Gurgur di Kompasiana sangat menyudutkan Tim TMC BRIN sebagai pelaksana hujan buatan di Danau Toba. Tulisannya itu seolah-olah mendiskreditkan dan memberi dampak negatif bagi sejumlah masyarakat di KDT.
“Pihak Inalum sendiri mempertanyakan kami terhadap tulisan tersebut. Tentu kami mempertanggungjawabkan tugas kami dan perlu memberikan klarifikasi tentang hal tersebut,” akuinya.
Meskipun diskusi di sini bersifat informal, tetapi Budi menghargai niat baik YPDT untuk menjadikan ruang diskusi ini sebagai bentuk klarifikasi TMC dan sekaligus sosialisasi.
Melalui paparannya, Budi berharap dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Gurgur Manurung dan juga masyarakat luas. Dia menjelaskan tentang TMC. TMC adalah usaha campur tangan manusia dalam pengendalian sumberdaya air di atmosfir dengan memanfaatkan parameter cuaca dengan tujuan untuk menambah atau mengurangi intensitas curah hujan pada daerah tertentu guna meminimalkan risiko bencana alam karena faktor iklim dan cuaca.
“Sederhananya kami ini melakukan injeksi persemaian di dalam awan berbentuk garam-garaman yang berfungsi menambah inti kondensasi di dalam awan. Jadi proses hujan secara alami kami prematurkan secara cepat, sehingga hujannya bisa kita jatuhkan di daerah tujuan,” jelas Budi.
“TMC ini tidak akan berfungsi di musim kemarau karena tidak ada potensi hujan. Karena itu, TMC ini bukan membuat hujan, tetapi mempercepat proses terjadinya hujan untuk tujuan tertentu,” tegasnya.
TMC di Beberapa Lokasi di Indonesia
Menjawab pertanyaan Gurgur soal penggunaan TMC di Indonesia, Budi menjelaskan bahwa TMC sudah dilakukan seperti di Citarum, Waduk Jatiluhur, Saguling, Citara, Riau, Waduk Singakarak dan Malinjo di Sumatera Barat, Waduk di aliran Sungai Brantas Jawa Timur, dan Danau Toba.
TMC ini seringkali bermanfaat untuk penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. “Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain pun sudah banyak memanfaatkan TMC ini untuk tujuan tertentu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa TMC ini secara legalitas sudah ada dalam penugasan secara nasional dari Pemerintah Pusat. Penugasan Nasional tersebut antara lain:
- Pengelolaan sumberdaya air dalam UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumberdaya Air dan PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air.
- Mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan dalam Inpres No. 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
- Mitigasi bencana banjir dalam Inpres No. 4 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor.
Jadi Pemerintah menugaskan BRIN untuk ketiga penugasan nasional tersebut.
Gagasan TMC ini sudah ada sejak Presiden Soeharto sekitar tahun 1976. Soeharto melihat pertanian di Thailand itu maju dan berharap sektor pertanian di Indonesia juga bisa maju. Karena itu, Soeharto membentuk BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) di mana B.J. Habibie memimpin badan tersebut. Saat itu Ir. Soebagio menjadi Ketua Tim Proyek Percobaan Hujan Buatan pada 1977. Inilah menjadi cikal-bakal TMC.
Respons Dampak Negatif Sosial terhadap TMC
Kembali menjawab pernyataan dan pertanyaan Gurgur tentang dampak negatif sosialnya, Budi menjelaskan bahwa kandungan garam dalam TMC sangat kecil dan tidak signifikan terhadap konsentrasi garam pada air Danau Toba. Hasil pengambilan sampel air Danau Toba di beberapa lokasi menunjukkan kondisi pH air normal.
“Walaupun belum keluar laporan BRIN terhadap TMC pada 2022 ini, kami melaporkan bahwa hasilnya pada 2021 cukup baik pada periode pertama dan kedua,” papar Budi. Hasilnya dapat Anda lihat pada tabel di bawah ini:
Jadi menurut Budi agak membingungkan juga jika anak-anak demam karena TMC. Biasanya memang jika terjadi perubahan cuaca sering terjadi flu hingga demam, panas badan. Walaupun demikian, BRIN memang belum sampai meneliti dampak sosial negatifnya terhadap masyarakat.
Respons YPDT dalam Diskusi Ini
Perdebatan antara Gurgur dan Budi memang menarik. Ketua Umum YPDT Maruap Siahaan mencoba menengahi perdebatan tersebut. Maruap menegaskan bahwa TMC memang ada manfaatnya bagi KDT. Namun demikian, TMC tidak menjadi solusi utama dalam menyelesaikan masalah penurunan air Danau Toba. TMC bisa saja menjadi alternatif solusi tersebut. Solusi utamanya adalah bagaimana kita merestorasi hutan di KDT agar kekeringan tidak melanda KDT dan hutan menjadi reservoar (penyimpan air) raksasa di KDT selain Danau Toba.
Karena itu, terhadap dampak-dampak negatif lainnya seperti ungkapan Gurgur, Maruap mengusulkan ada baiknya juga BRIN dan YPDT dapat membahas hal tersebut dalam suatu pertemuan lain. Masih ada hal-hal lain yang mungkin kita tidak pikirkan sebelumnya, misalnya sejauh mana endapan garam TMC di tanah berpengaruh terhadap lingkungan. Hal-hal seperti itu perlu kita kaji atau teliti lebih mendalam agar kita dapat mengurangi kerugian dan kerusakan alam.
Dalam Diskusi Kamisan ini hadir juga testemoni dari Ibu br Gultom yang menceritakan anak-anak yang demam yang disinyalir karena hujan buatan tersebut. Namun demikian, Budi sudah memberikan klarifikasi seperti yang ia jelaskan di atas.
Diskusi Kamisan ini sebenarnya mencoba mencari titik solusi terbaik dalam melihat suatu persoalan di masyarakat KDT. Kita berharap sebagaimana usulan Ketum YPDT, BRIN dan YPDT dapat menindaklanjuti hasil diskusi tersebut.
Pewarta: Boy Tonggor Siahaan