JAKARTA, DanauToba.org — Apakah kaitannya antara Hukum Adat Batak dan Tanah? Temukan jawabannya pada hasil Seminar Nasional ini yang diselenggarakan pada Jumat (8/5/2015) di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.
HASIL SEMINAR NASIONAL
“PENGUATAN PERAN HUKUM ADAT BATAK DALAM KEPEMILIKAN DAN
PENGELOLAAN TANAH DI KAWASAN DANAU TOBA”
Jakarta, 08 Mei 2015
Dalam Penciptaan, Manusia berasal dari Tanah, maka Tanah menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itulah manusia mula-mula mengatur hukum tanah secara tersendiri menurut kebiasaan Adat yang kemudian diadopsi dalam Konstitusi NKRI dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mengatur “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
Sebagai implementasi dari UUD tersebut, dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU RI No. 5 tahun 1960 tentang Agraria, mengatur hak menguasai dari negara dapat diberikan kepada daerah (swatantra/otonomi) dan masyarakat hukum adat sepenjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Penguasaan Masyarakat hukum adat didefinisikan dengan hak ulayat, yang oleh Pasal 3 UU RI No. 5 Tahun 1960 mengatur, dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 (UU Agraria), pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional.
Masyarakat hukum adat menurut ketentuan hukum adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Sedangkan tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Suku Batak yang mendiami zajirah Pegunungan Bukit Barisan, khususnya di Kawasan Danau Toba adalah satu kesatuan warga bersama dalam persekutuan hukum yang memiliki kesatuan tempat tinggal dan kesamaan asal-muasal keturunan serta memiliki tanah yang sangat luas dengan hukum tersendiri sejak sebelum lahirnya ketentuan hukum nasional.
Hukum adat menurut Pasal 131 dan 163 IS (Indesche Staatsregeling) yang masih berlaku, mengatur hukum adat adalah hukum asli sekelompok penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) dan territorial (desa). Ketentuan ini dikuatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang mengatur “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU”. Pengakuan hukum adat juga terdapat pula dalam Pasal 67 ayat 1 UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Demikian juga halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui Kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai Legal Standing untuk mengajukan Permohonan di Mahkamah Konstitusi. Negara Republik Indonesia melalui UU memberikan PENGAKUAN HUKUM ADAT, apabila 1). Masyarakat Hukum Adat itu masih ada; 2). Sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3). Sesuai dengan Prinsip Hukum RI; 4). Diatur dalam ketentuan hukum.
Seminar Nasional “Penguatan Peran Hukum Adat Batak dalam Kepemilikan dan Pengelolaan Tanah di Kawasan Danau Toba” yang telah diselenggarakan pada tanggal 08 Mei 2015 pada pukul 13.30 – 18.30 wib di Grha William Soerjadjaja, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK UKI) yang diselenggarakan bersama Universitas Kristen Indonesia (UKI) – Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) – Lembaga Reforma Agraria Indonesia (LeRAI) menghasilkan beberapa poin penting yang perlu dikomunikasikan kepada masyarakat luas dan secara khusus masyarakat di Kawasan Danau Toba, yaitu:
- Mengefektifkan kembali kearifan lokal masyarakat bahwa Tanah adalah bentuk Kedaulatan komunitas ataupun masyarakat adat yang mendiaminya dan merupakan anugerah dari Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara oleh masyarakat.
- Kehilangan tanah, merupakan bentuk penghilangan kedaulatan masyarakat dari suatu kawasan yang mendiaminya.
- Untuk itu perlu dihidupkan dan dikuatkan kearifan lokal dimana TANAH TIDAKLAH UNTUK DIJUAL, tetapi dimanfaatkan oleh Masyarakat pendukung budaya di Kawasan tersebut. Pengelolaan tanah bisa dilakukan dengan cara pemindah-tanganan pengelolaan yaitu kepada keluarga terdekat (Secara bertingkat: saudara sekandung, saudara semarga terdekat, saudara semarga) atau dapat disewakan dengan pertimbangan bahwa fungsi sosial tanah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai adat setempat.
- Kearifan lokal tersebut perlu dilestarikan untuk memastikan kelestarian Kawasan Danau Toba maupun keberlangsungan kebudayaan masyarakat setempat di Masa yang akan datang.
- Usaha memperkuat kearifan lokal di atas dalam perlindungan tanah tersebut bukan berarti menutup diri dengan masyarakat luar, investor dan pihak lain, namun seluruh pemanfaatan tanah sudah sewajarnya dan seharusnya diatur dalam kerangka kesejahteraan masyarakat berdasarkan kearifan lokal tersebut. Masyarakat adat setempat harus dilihat secara setara dan menjadi subjek dalam pelestarian Kawasan Danau Toba serta memastikan tidak adanya liberalisasi tanah dan air hanya semata untuk kepentingan pemilik modal.
- Dalam kerangka mengefektifkan kearifan lokal dan hukum adat masyarakat Batak, perlu dibuat peraturan daerah terkait pelembagaan hukum adat. Sehubungan dengan hal ini disepakati adanya kerjasama pemerintah daerah di Kawasan Danau Toba, Perguruan tinggi / akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait untuk menyusun kajian ilmiah, naskah akademik dan naskah awal peraturan daerah.
Salam hormat.
Panitia Seminar
Ttd
Sandi Ebenezer Situngkir, SH, MH/ Ketua (08111-000-911)
Jhohannes Marbun, S.S/ Sekretaris (0813-2842-3630)