JAKARTA, DanauToba.org
Horas, mejuah-juah, njuah-juah!
Marilah kita bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan yang Esa Mahakasih atas perkenan-Nya kepada kita dapat tiba pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) hari ini, 2 Mei 2020. Puji Tuhan!
Dalam momentum Hardiknas 2020 ini kita mengenang Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Mengenang karya pelayanannya di bidang pendidikan dan kebudayaan. Untuk itu kami menyampaikan selamat dan terimakasih kepada pomparan ni Ki Hadjar dan pewaris perjuangan beliau, khususnya Keluarga Besar Tamansiswa.
Sekaligus dengan itu kita patut mengenang Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia Harahap, sahabat Ki Hadjar – yang turut meletakkan dasar-dasar filosofis dan sosiopolitis Pendidikan Nasional. Prof. Mulia yang menggantikan Ki Hadjar sebagai Menteri Pendidikan RI mulai 14 November1945 pada Kabinet Sjahrir I dan selanjutnya sebagai Menteri Muda Pendidikan (Menterinya Moh. Sjafei) sampai 2 Oktober 1946 berakhirnya Kabinet Syahrir II.
Selain sebagai pelopor berdirinya DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) yang berdiri 25 Mei 1950, Prof. Mulia adalah salah seorang, yang atas nama DGI, mendaftarkan UKI (Universitas Kristen Indonesia) kepada Notaris R. Kadiman, maka lahirlah Akte Notaris no. 117, Juli 1953. Prof. Mulia kemudian sebagai Presiden yang pertama di UKI yang didirikannya itu.
Dr. T. B. Simatupang menguraikan panjang lebar mengenai Prof. Mulia pada Kuliah Umum TSG Mulia, 28 Januari 1987 yang diselenggarakan UKI. Dr. Sim mengatakan a.l. “Prof. Mulia mencapai gelar Sarjana Hukum atau Meester in de Rechten (Mr) di Universitas Leiden dan mempertahankan suatu disertasi mengenai masalah antropologi budaya yang hangat waktu itu dengan judul Het Primitieve Denken In De Moderne Wetenschap (Pemikiran Primitif dalam Ilmu Pengetahuan Modern) di Universitas Amsterdam.
Dalam disertasinya itu Prof. Mulia membantah secara meyakinkan dalil-dalil dari seorang ahli antopologi budaya Perancis yang terkemuka pada waktu itu, Levy Bruhl. Menurut Levy Bruhl terdapat perbedaan yang mendasar antara pemikiran modern dan apa yang disebutnya primitif. Sebagai orang yang baru satu generasi berkenalan dengan pemikiran modern, Prof. Mulia mempertahankan dalil bahwa terdapat kesatuan dalam jiwa dan logika formal manusia, baik manusia yang disebut modern maupun manusia yang disebut primitif”.
Disertasi itu dipertahankan beliau pada 1833 sekitar 5 tahun setelah naposobulung Mulia menghadiri Seminar Internasional Pekabaran Injil II di Yerusalem tahun 1928 (hampir bersamaan waktunya dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Sedihnya, Prof. Mulia belum diakui oleh Negara sebagai Pahlawan Nasional.
Patutlah kita mengenang Sekolah-sekolah yang didirikan para zendeling di Tano Batak. Sering sekali sekolah-sekolah itu diganggu oleh penjajah sebagaimana pernah diceritakan Pdt. Dr. A. A. Sitompul. Sangat disayangkan bahwa fakta sejarah kehadiran dan partisipasi pendidikan Kristen tersebut tidak dimuat dalam buku Sejarah Nasional pada Bab V.
Kita mengenang kegigihan Halak/Bangso Batak menyekolahkan anaknya “satimbo-timbona“. Semangat itu diakui dari diinspirasi Injil Berita Kesukaan yang ditaburkan para zendeling dari Eropa. Kemudian, lahirlah Halak/Bangso Batak yang turut memperjuangkan dan mengisi Kemerdekaan RI sampai saat ini. Di mana-mana di desa na ualu ada berada di sana Halak/Bangso Batak dengan profesi dan pekerjaan yang beragam.
Namun kita patut prihatin, kualitas pendidikan di Tano Batak sangatlah memprihatikan. Menurut penjelasan Balitbang Kemendiknas RI tahun 2016, kualitas pendidikan di Kawasan Danau Toba (Tano Batak), tidak terkecuali kota/kabupaten sekitarnya, kurang lebih sama dengan kualitas pendidikan di Papua. Sekolah-sekolah milik Gereja di Tano Batak hampir semuanya tanpa kualitas yang menggembirakan, termasuk yang dahulu sangat terkenal. Bahkan sebagian sudah “gulung tikar”. Maaf!
Hasil penelitian Balitbang MPR-RI, yang diekpos beberapa tahun yang lalu (2016) sangatlah memprihatikan dan menyedihkan bahwa “Pendidikan Nasional gagal mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tentu termasuk di dalamnya Sekolah dan Perguruan Tinggi yang ada di Tano Batak.
Dalam momentum Hardiknas 2020, kita berharap kiranya Pemerintah lebih serius menerjemahkan Visi Ki Hadjar mengenai Pendidikan Nasional dalam kerangka mempersiapkan Generasi Emas 2045 dengan tidak sedikit pun melalaikan kebangsaan Indonesia.
Pemerintah mesti turut bertanggung-jawab mengenai kemajuan Sekolah-Sekolah/Madrasah-Madrasah Swasta di Indonesia di mana pun berada; tidak hanya Sekolah-Sekolah/Madrasah-Madrasah Negeri.
Menjadi harapan kita bersama kiranya pendidikan di Tano Batak bangkit dan berdiri teguh. Tentunya simultan dengan pembangunan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata internasional, pembangunan Sekolah-Sekolah di Kawasan Danau Toba diprioritas dalam rangka peningkatan kualitas SDM. Semoga!
Pada kesempatan ini kami menyampaikan salam hormat kepada Keluarga Besar Tamansiswa yang didirikan Ki Hadjar. Demikian pula para penyelenggara & pengelola Sekolah-Sekolah Swasta di Kawasan Danau Toba / Tano Batak khususnya dan di seluruh Indonesia umumnya.
Kiranya pendemi Covid 19 tidak mengurangi semangat warga masyarakat Indonesia merayakan Hardiknas di rumah masing-masing.
Salam habatakon!
Jerry R. Sirait,
Praktisi Pendidikan
&
Ketua Pengawas BMPS (Badan Musyawarah Perguruan Swasta) Pusat/ Nasional.