JAKARTA, DanauToba.org — “Mari kita bergerak menggagas seribu (1.000) obyek wisata di Kawasan Danau Toba (KDT). Kita perlu membentuk Tim,” demikian usulan Maruap Siahaan (Ketum YPDT) dalam Diskusi Kamisan (16/3/2017) di Sekretariat Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT).
Usulan Ketum YPDT tersebut disambut antusias oleh para peserta diskusi. Maruap merencanakan dari Tim Penggagas Seribu Obyek Wisata di KDT ini akan dibentuk semacam Relawan Biru, misalnya (meminjam ide Gubernur DKI, Ahok, mengenai Pasukan Oranye yang membersihkan DKI Jakarta).
Namun, Susi Rio br Panjaitan bertanya kepada Maruap: “Tulang, mengapa ‘biru’?” Sang Tulang menjawab: “Soal nama nanti dapat dicari nama yang lain.” Mungkin alasan Susi bertanya seperti itu agar tidak terpolarisasi dengan kelompok lain.
Para peserta diskusi pun membicarakan apa tugas yang akan dikerjakan Tim Penggagas ini untuk langkah pertama mengawali atau mempersiapkan tugas dan tanggung jawab pekerjaan ‘Relawan Biru’ (Red.: katakanlah untuk sementara kita sebut demikian namanya)?
Tim Penggagas ini akan menginventarisasi obyek-obyek wisata di KDT hingga terkumpul 1.000 obyek wisata. Tim akan melakukan sosialisasi melalui media sosial (website, WA, Facebook, Instagram, dan Twitter) dan mengharapkan masukan masyarakat umum (masyarakat Batak pada khususnya) agar memberikan data dan informasi terkait obyek-obyek wisata di KDT.
Setelah diinventarisasi, Tim akan mengelompokkan obyek-obyek wisata menurut lokasi, jenis wisata, aksesibilitas, fasilitas, dan sebagainya. Jika pekerjaan tersebut sudah terhimpun dengan tersusun rapih, maka YPDT akan menerbitkan semacam Buku Direktori 1.000 obyek wisata di KDT. Buku Direktori ini menjadi panduan “Relawan Biru” melengkapi, memperbaiki, dan memberdayakan obyek-obyek wisata yang ada di KDT menjadi destinasi wisata yang menarik.
Gerakan tersebut tentu merupakan pekerjaan besar yang perlu dikerjakan bersama-sama. Jerry Sirait (Pengawas YPDT) mengingatkan bahwa Gerakan ini harus melibatkan tiga stakeholder (pemangku utama), yaitu pemuka adat/agama, masyarakat lokal, dan pemerintah daerah. Ini terlepas dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki ketiga pemangku utama tersebut. “Kita tidak boleh menafikan hal tersebut, tetapi mengoreksi atau memperbaiki kekurangan tersebut,” ujar Sirait.
Kalau demikian, kita sebaiknya melakukan hal-hal kecil dan sederhana saja terlebih dahulu dan berguna bagi banyak orang. Sebagai contoh, “Ada cara cepat dan mudah untuk menyetrika dan melipat pakaian dengan alat sederhana yang dibuat orang Jerman. Cukup 2 menit selesai untuk satu pakaian. Ini tentu berguna bagi setiap keluarga,” demikian kata Toga Silitonga. Dalam hal ini, Silitonga ingin mengatakan bahwa dua atau tiga obyek wisata yang potensial jika dikelola dengan serius akan bermafaat bagi masyarakat lokal dan wisatawan.
Meminjam pikiran Silitonga, ‘Relawan Biru’ akan disebar di tujuh kabupaten di KDT di mana masing-masing kabupaten diseriusi beberapa obyek wisata sebagai percontohan (pilot project). Beberapa peserta diskusi seperti Landong Silalahi, Carlos Melgares, Tiomora Sitanggang, Ronsen Pasaribu (Ketua Umum Forum Bangso Batak Indonesia), dan Pdt Marihot Siahaan menegaskan perlunya percontohan tersebut. Dalam percontohannya itu perlu kekhasan lokal obyek wisata. Menurut Pdt Marihot, orang Batak itu kebanyakan pandai menyanyi. Mengapa kita tidak membuat wisata “nyanyi”? Silitonga pun setuju dengan Pdt Marihot karena di Eropa, misalnya di Jerman, orang-orang Batak diakui memiliki talenta menyanyi luarbiasa. Carlos sendiri pun yakin orang-orang Batak dapat membuat warung (cafe) menampilkan para penyanyi-penyanyi Batak dengan lagu-lagu Batak yang populer dan warung itu bisa mendunia.
Di tengah auro positif pembahasan Diskusi Kamisan tersebut, ada satu pertanyaan kritis dari Irma Riana br. Simanjuntak (Direktur Pelaksana Pelayanan Komunikasi Masyarakat [YAKOMA] PGI): “Apakah masyarakat Batak itu dekat dengan dunia wisata, misalnya lukisan, patung, dan ukiran? Mereka condong adalah masyarakat pertanian.” Kalau kita bandingkan dengan masyarakat Bali, misalnya, kita dapat menduga bahwa masyarakat Batak kurang tertarik dunia wisata.
Namun demikian, Irma mau mengatakan bahwa kita perlu mempersiapkan masyarakat Batak terpikat dengan dunia wisata. Karena itu, tugas kita adalah bagaimana melibatkan tokoh masyarakat (tokoh adat dan tokoh agama) serta masyarakat lokal itu sendiri menjadi pelaku pengelola obyek wisata. Sedangkan pemerintah sendiri menyiapkan infrastruktur, aksesibitas, dan fasilitas umum.
Jhohannes Marbun sebagai pemantik diskusi mengajak para peserta diskusi untuk menyebutkan obyek-obyek wisata di KDT dan beberapa pertanyaan yang terkait obyek wisata tersebut. Dari apa yang disampaikan para peserta diskusi yang dilakukan secara tertulis menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemantik, Marbun mengatakan bahwa dalam Diskusi Kamisan ini kita sudah mendaftarkan sekitar 100 obyek wisata di KDT. Masih ada sekitar 900 obyek wisata lagi yang menjadi tugas kita untuk dinventarisasikan dan ini akan dikoordinasikan oleh Tim Penggagas tersebut.
Forum Diskusi Kamisan merekomendasikan Tim Penggagas tersebut untuk melakukan tugasnya antara lain: merumuskan pokok-pokok pikiran YPDT terkait penggagasan 1.000 obyek wisata di KDT; melakukan inventarisasi dan sosialisasi; dan menindaklanjuti dengan usulan-usulan konkret.
Ada tujuh orang direkomendasikan untuk Tim Penggagas tersebut:
- Jhohannes Marbun
- Tiendy Rose Panjaitan
- Irma Simanjuntak
- Pdt Marihot Siahaan
- Darman Siahaan
- Aan Rumahorbo
- Boy Tonggor Siahaan
Topik Diskusi Kamisan tersebut mampu mengundang banyak kalangan masyarakat Batak yang berdiaspora di Jakarta untuk hadir. Menurut daftar hadir yang digulirkan melalui media sosial WhatApps (WA) Grup Gerakan Cinta Danau Toba terhimpun 28 nama menyatakan hadir, tetapi yang hadir dalam Diskusi Kamisan ada 23 orang karena 5 orang berhalangan hadir. (BTS)