Danau Toba kembali hangat diperbincangkan dalam dua tahun terakhir ini, setelah mengalami masa surut pada 1998, yaitu saat terjadinya krisis moneter. Danau yang pernah menjadi primadona pariwisata era tahun 1990-an ini merupakan salah satu dari sepuluh destinasi prioritas pembangunan pariwisata nasional yang diangkat kembali oleh Pemerintah RI. Beberapa usaha telah dilakukan oleh pemerintah di antaranya menetapkan Kawasan Danau Toba sebagai Geopark Nasional pada 2014 dan berupaya memasukkan Danau Toba sebagai salah satu anggota Global Geopark Network (GGN) UNESCO. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, dan terakhir menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 49 tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Pilihan pemerintah terhadap pembangunan pariwisata Danau Toba tidak terlepas dari keindahan alam dan sejarah terbentuknya Danau Toba yang sangat berpengaruh terhadap peradaban dunia.
Berawal dari peristiwa letusan supervolcano dengan skala 8 VEI sekitar 75.000 tahun yang lalu, terbentuklah kaldera besar yang disebut Danau Toba dan Pulau Samosir ditengahnya. Selain menimbulkan banyak korban jiwa, letusan tersebut memberi kehidupan baru bagi bangsa-bangsa di dunia dan lingkungan di sekelilingnya. Tanah yang subur, air yang bersih, dan alam yang indah. Kawasan inilah yang kemudian hari didiami oleh masyarakat Batak dan menjadi tanah asal-usul suku etnik Batak yang sering disebut Bangso Batak. Masyarakat Batak hidup selaras dengan alam lingkungan yang disediakan oleh Tuhan melalui Danau Toba. Keselarasan manusia dan lingkungan melahirkan kearifan masyarakat terhadap Danau Toba yang mengandung nilai filosofis dan sakral “Tao na Uli, Aek na Tio, Mual Hangoluan” yang secara harafiah berarti danau yang indah, air yang jernih, sumber kehidupan. Kearifan masyarakat tersebut menjadi bagian dari tindakan keseharian untuk tidak mengotori danau, apalagi mencemarinya. Namun, perkembangan zaman ditandai dengan globalisasi dan menempatkan ‘materi’ sebagai prioritas utama menjadi awal dari perubahan perilaku masyarakat terhadap Danau Toba.
Perubahan perilaku yang tidak ramah maupun peduli terhadap lingkungan menyebabkan kondisi dan situasi Kawasan Danau Toba semakin mengkhawatirkan. Sementara itu upaya perbaikan belum menyentuh esensi permasalahan yang sesungguhnya. Air Danau Toba tidak lagi jernih, tidak bisa dijadikan sumber baku air minum, kebakaran hutan, penebangan kayu, pencemaran air Danau Toba, dan limbah sampah. Selain permasalahan lingkungan, terdapat pula masalah sosial budaya yang membutuhkan perhatian secara serius, antara lain: kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, individualisme, materialisme, hedonisme, nilai-nilai budaya yang semakin luntur, kasus-kasus sosial (togel, narkoba, seks bebas, HIV/AIDS, konflik tanah, pencurian sayur/bawang/ternak), krisis identitas (jatidiri habatakon), dan krisis kreativitas. Untuk itu, keseriusan dan peran Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat dalam memperbaiki kerusakan di Kawasan Danau Toba serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya menjadi harapan bagi semua pihak.
Kondisi dan permasalahan di Kawasan Danau Toba menggugah Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT). Karena itu, sejak 2015 lalu, YPDT memelopori sebuah gerakan massif berjejaring dan sinergis yang melibatkan semua pihak berpartisipasi aktif, mulai dari Pemda, aparat negara, tokoh agama, tokoh masyarakat, pengusaha, dan masyarakat lokal. Gerakan yang dipelopori YPDT tersebut diberi nama Gerakan Cinta Danau Toba (GCDT). Gerakan Cinta Danau Toba merupakan gerakan yang dilakukan dalam rangka membangun kesadaran dan semangat kebersamaan yaitu semangat mencintai Danau Toba. Cinta merupakan simbol pengorbanan, pemuliaan pada kemanusiaan sekaligus pengharapan. Dengan adanya kecintaan terhadap Kawasan Danau Toba, maka akan memunculkan semangat rela berkorban dan memiliki pengharapan dengan melakukan aksi kepedulian dan tindakan nyata bagi Kawasan Danau Toba. Kepedulian bersama dan tindakan nyata masyarakat terhadap kawasan Danau Toba akan mengarahkan seluruh stakeholder untuk mengembalikan Danau Toba sebagai “Tao na Uli, Aek na Tio, Mual Hangoluan” mewujudkan visi YPDT “Kawasan Danau Toba adalah Kota Berkat di Atas Bukit”.
YPDT telah mendeklarasikan semangat Gerakan Cinta Danau Toba secara serentak pada 27 Desember 2015 lalu di tujuh Kabupaten Kawasan Danau Toba yang dipandu dari Kota Parapat. Masyarakat di kawasan Danau Toba sangat gembira dan antusias serta mengharapkan acara GCDT dapat dilaksanakan setiap tahunnya. Menyambut respons positif masyarakat yang ada di Kawasan Danau Toba, maka YPDT memutuskan untuk melaksanakan kembali GCDT yang kedua pada 27-30 Desember 2016.
GCDT kedua 2016 ini akan lebih menukik tajam menjawab persoalan di Kawasan Danau Toba, mengangkat kembali potensi masyarakat baik potensi seni, budaya, kuliner, lingkungan, sosial, dalam hal ini gotong royong maupun objek pariwisata dengan memfokuskan pada generasi muda Batak (anak-anak, remaja, dan pemuda). YPDT menyadari bahwa generasi muda merupakan calon pengganti generasi tua yang diharapkan dapat memulihkan dan melestarikan lingkungan hidup di Kawasan Danau Toba. Karena itu, YPDT akan mempersiapkan generasi muda menjadi pemimpin dan pelopor pencinta Danau Toba demi masa depan mereka. GCDT II 2016 akan melibatkan berbagai pihak mewujudkan Kawasan Danau Toba yang lebih baik dengan menggemakan semangat Gerakan Cinta Danau Toba dan kemandirian masyarakat serta terciptanya kerjasama antara masyarakat yang tinggal di dalam maupun di luar Kawasan Danau Toba.